Tulisan ini merupakan artikel yang disampaikan pada acara Pabligbagan Bale Banjar Tri Hita Karana dan Tantangan Bali Kini yang diadakan oleh Komunitas Teman Parta pada hari Sabtu, 31 Juli 2021. Bertempat di Rumah Aspirasi Nyoman, Desa Guwang Gianyar. Turut hadir adalah Anggota DPR RI dari Bali, Bapak I Nyoman Parta S.H sekaligus tuan rumah, serta dua puluhan tamu undangan yang berasal dari elemen partai politik, pegiat media sosial, pemerhati seni, dan aktivis kemanusiaan dan lingkungan.
Apa masalah Bali hari ini ? Di luar konteks pandemi Covid 19 yang telah berlangsung hampir dua tahun, saya pikir akan sulit menjawab pertanyaan tersebut dalam hubungannya dengan ideologi Tri Hita Karana. Meski demikian, perlu kiranya menemukenali masalah Bali hari ini dengan harapan dapat membayangkan wajah Bali di masa depan. Oleh sebab itu, pertama-tama, sebagai pengantar, paling tidak kita bisa mencari deskripsi negosiatif tentang apa itu Bali.
Sebelum sampai pada deskripsi negosiatif tentang apa itu Bali, akan muncul berbagai pertanyaan ; Bali yang akan kita bicarakan apakah yang realitas ataukah angan-angan?, yang seharusnya ataukah yang sebaiknya?. Perlukah ditentukan format tentang Bali ?, jika perlu, lalu apakah bisa ? Dan kalau perlu dan bisa, akan masihkah Bali itu tetap Bali ?, atau jangan-jangan malah menjadi semacam definisi yang tidak jelas struktur dan kerangka teorinya.
Bermodal keterangan di atas, saya menyimpulkan bahwa deskripsi negosiatif tentang Bali terlalu kompleks dan sulit ditangkap ke dalam sebuah kebulatan pengertian. Ia berada di luar definisi. Lebih-lebih untuk mereka yang hati dan pikirannya telah secara baku dan kaku terikat dengan pola keseragaman (uniformitas) dalam memandang setiap persoalan dan terbiasa memonopoli atau dimonopoli oleh setiap interpretasi. Akibatnya, sangat sulit menentukan dasar pijakan di alam mana sesungguhya Bali sedang dibicarakan.
Jean Francois Guermonprez, penulis Prancis dalam karyanya “les pande de Bali la formation d’une “caste” et la veleur titre” mengatakan bahwa masyarakat Bali memiliki karakter akumulatif dan museum imajiner yang membingungkan, membiarkannya menggosok benda dari segala usia dalam kesemrawautan nyata. Citra museum tersebut juga harus menambahkan kehidupan, artinya ada gerakan dan temuan, kinetika yang berlimpah bentuk dan simbol yang terus menerus mempesona dan membutakan pengamat Barat.
Boon J.A dalam “The Antropological Romance in Bali” menyebut Bali sebagai oase yang unik di mana orang-orang asing berdatangan selama lebih dari seabad, dipotong-potong sesuai motivasi dan tujuan pribadi mereka, seiris mimpi atau kajian yang berakumulasi dalam pembuatan kleidoskop roman antropologi pulau Bali.
Michel Picard mengatakan kesulitan menangkap realitas masyarakat Bali bukan ilusi dan kesulitan tersebut bukan hanya hasil dari keberadaan suatu kesemrawutan citra dan klise, terutama pada masyarakat era pariwisata dan datang kembali menginformasikan wacana tertentu tentang masyarakat Bali. Ia melihat turisfikasi telah mengubah struktur dan wajah Bali dari dalam.
Henk Scholte Nordholt membaca perubahan itu dari kacamata identitas dan mengatakan bahwa Bali adalah sebuah benteng terbuka bagi kekuatan-kekuatan luar yang beroperasi di dalamnya sehingga akan sangat sulit mencari benang merah tentang Bali yang “asli”. Oleh karenanya, perdebatan tentang Bali yang asli harus ditiadakan dan memberikan ruang negosiasi kebudayaan untuk Bali menentukan nasibnya sendiri.
Dari kerumitan-kerumitan di atas, saya memutuskan untuk melihat deskripsi negosiatif tentang Bali dari perspektif kelas menengah. Selain karena saya adalah bagian dari kelas menengah, beberapa alasan menimpali. Pertama, dalam kacamata Weber, kelas menengah ini adalah pelopor revolusi-revolusi besar dunia. Kajian Weber tentang kelas menengah sekaligus menjadi kuburan bagi pemuja Marx dan turunan-turunannya. Dalam konteks Bali dengan industri pariwisatanya, kelas menengah adalah kelompok sosial yang dengan gigih menangkap peluang turisme pariwisata melalui kemampuan intelektual yang diorganisasikan secara massal dan didiseminasikan melalui kekuatan media informasi. Mereka adalah potret social urban yang terdiri dari kaum intelektual, pebisnis media, agamawan, politisi, birokrat dan elit-elit lokal di desa.
Kepemilikan identitas yang cair dan heterogen menjadikannya kelas elit dengan beragam kepentingan dan kekuasaan. Hal tersebut didapatkan melalui persekutuannya dengan negara dan modal untuk berkolaborasi menguasai jaringan ekonomi makro yang meringsek ekonomi rakyat. Kefasihan dan sikap oportunis yang dimiliki ketika mengartikulasikan identitasnya dibandingkan orang Bali pedesaan mengakibatkan permainan kesadaran pengetahuan.
Masalah Bali kontemporer dalam kacamata kelas menengah pada konteks ideologi Tri Hita Karana akan saya bagi menjadi tiga hal pokok. Pertama parahyangan, yakni hubungan manusia dengan Tuhan, kedua pawongan yakni hubungan manusia dengan manusia dan ketiga adalah palemahan, yakni hubungan manusia dengan lingkungan. Secara khusus saya ingin memberikan kredit poin pada dimensi pawongan dan palemahan, atau isu kemanusiaan dan lingkungan, yang pada konteks nasional belum atau tidak digarap dengan maksimal.
Kita mulai dari masalah parahyangan yang dihadapi oleh manusia Bali dewasa ini. Sebagai sejarawan, saya melihat adanya pergeseran orientasi pada bagaimana manusia Bali memperlakukan sakralitas agama mereka di tengah infiltrasi nilai-nilai neoliberalisme dan kapitalisme yang ikut tersemai melalui industri pariwisata. Neoliberalisme yang menyatu dengan globalisasi mengakibatkan masyarakat Bali berubah dari masyarakat tradisional (pramodern) ke masyarakat modern (posmodern). Neoliberalisme memiliki ciri berupa status ontologi manusia adalah homo economicus, epistimologinya adalah consumenicus, seluruh bidang kehidupan adalah komoditas, relasi manusia adalah transaksi untung rugi, efektivitas dan efisiensi diukur berdasarkan kinerja ekonomi pasar sehingga manusia dikuasai oleh etika konsumsi.
Persinggungan neoliberalisme dengan spiritualitas masyarakat Bali melahirkan fenomena pergeseran karakteristik masyarakat Bali yang teosofistik ke masyarakat yang teknosofistik dan berlanjut pada masyarakat yang libidosofistik. Penempatan libido sebagai pusat dunia, bukan roh atau agama sebagaimana yang berlaku pada masyarakat pramodern, melahirkan sekulerisme spiritualitas. Akibatnya, manusia Bali tidak lagi menganggap Tuhan atau mansifestasi-mansifestasinya sebagai yang ultima, melainkan ada lagi ultima lainnya, yakni uang dan benda-benda konsumsi. Kondisi tersebut merupakan cermin di mana uang dan materi tidak lagi sebagai alat pemenuhan hastrat, melainkan subjek yang menguasai akal budi dan roh.
Dilematika kedua tentang pawongan merupakan dampak dari praktik hipokrit masyarakat Bali yang telah terkooptasi nilai-nilai neoliberalisme, yang secara tidak langsung mempengaruhi pandangan mereka tentang hubungan sosial di masyarakat. Saya meminjam gagasan ilmuan alam dan memetaforkannya ke dalam konteks sosial dengan istilah darwinisme sosial. Charles Darwin yang dikenal dengan teori seleksi alam yang berintikan pada gagasan bahwa alam akan menyeleksi hanya bagi mereka yang cocok dan mampu beradaptasi paling baik dengan keadaan-keadaan lingkungannya sehingga bisa bertahan hidup dan melanjutkan keturunannya.
Gagasan ini juga berlaku pada sistem sosial yang libidosofistik tadi, sehingga melahirkan asumsi bahwa manusia dalam masyarakat memerlukan kemampuan beradaptasi. Kompetisi pada masyarakat libidosifistik mengakibatkan adanya pihak yang kalah dan ada pihak yang menang. Pemenang dalam sebuah persaingan adalah orang yang kuat secara finansial, ekonomi, politik, budaya dan intelektual disertai dengan kemampuan beradaptasi secara sosiobudaya. Sebaliknya, yang kalah adalah orang yang lermah karena miskin modal dan tidak mampu beradaptasi dalam lingkungan sosial budayanya sehingga sudah sewajarnya tersingkir dan tidak perlu diperdebatkan secara serius.
Gagasan darwinisme sosial ini dianut oleh para pemilik modal. Masyarakat menjual tanahnya karena ingin unggul secara ekonomi, sosial budaya dan politk. Dengan perantara para calo tanah yang perannya tidak bisa dikesampingkan, para pemilik modal berhasil untuk menguasai tanah-tanah incarannya. Pemodal dan calo tanah bersatu untuk mengalahkan pesaingnya dan menundukkan pemilik tanah dengan kekuatan uang. Uang dijadikan sebagai alat tukar dengan cara memperdagangkan kewenangan dan kekuasaan. Karena itu, uang adalah wujud cindera mata yang telah ditranspolitisasi.
Desakralisasi terhadap spiritualitas orang Bali pada akhirnya berdampak pada cara mereka memperlakukan alam, atau palemahan. Aneka kasus perusakan lingkungan atas nama pariwisata sering kita dengar. Misalnya saja fenomena pembangunan vila yang berdekatan dengan kawasan suci, pembangunan lapangan golf yang melanggar radius zona suci Pura Besakih di Karangasem. Dan terakhir adalah kasus reklamasi Teluk Benoa.
Contoh-contoh kasus seperti itu nampaknya terus mengalami peningkatan sebab pengembangan pariwisata Bali mengarah kepada pariwisata spiritual, agrowisata atau wisata alam. Hal ini memerlukan kawasan bernilai ekologis atau spiritual tinggi yang pada umumnya terkait dengan keberadaan suatu pura atau kepercayaan lokal tentang kawasan angker. Begitu pula pembangunan vila yang menuntut areal yang sepi sehingga memberikan jaminan privacy yang tinggi kepada penghuninya. Maka peluang adanya pembangunan vila di kawasan yang sakral, angker dan sepi, baik di masa kini maupun di masa yang akan datang akan terus bertambah.
Diskusi di dalam acara pabligbagan ini ditutup dengan epilog dari tuan rumah, Bapak I Nyoman Parta, bahwa Tri Hita Karana merupakan teks ideal yang selalu menjadi rujukan manusia Bali dalam bertindak. Masalah adanya penyimpangan di dalam tindakan yang tidak mengindahkan teks ideal itu disebabkan karena pemahaman terhadap konsep Tri Hita Karana yang terfragmentasi. Artinya, baik parahyangan, pawongan dan palemahan dipahami bukan sebagai kesatuan yang utuh, melainkan sepihak.
Misalnya, orang dengan tingkat spiritualitas yang tinggi seharusnya berkorelasi dengan respon yang memadai terhadap dimensi kemanusiaan. Begitu juga kecintaannya terhadap alam. Namun yang terjadi di lapangan justru sebaliknya, orang yang memperlihatkan spiritualisme di dalam citra dirinya justru melakukan tindakan-tindakan non etis yang sesungguhnya sangat jauh dari nilai-nilai kemanusiaan yang beradab. Misalnya suka marah-marah, mencaci maki, berkata kasar, bahkan terlibat ke dalam tindakan-tindakan asusila cum pidana. [T]