Minggu, 1 Agustus 2021, saya bermain ke gudang sampah Rumah Plastik di Desa Banyuning, Buleleng. Memang hampir setiap hari saya ke tempat itu untuk urusan sampah plastik.
Tapi, pada Minggu itu, ada sesuatu yang berbeda. Di gudang itu saya bertemu tiga sosok anak muda yang tampak asing. Ketiga anak muda itu; dua orang laki-laki dan seorang gadis, terlihat begitu seksama mendengarkan penjelasan dari founder Rumah Plastik, Eka Darmawan.
Saat itu Eka Darmawan sedang menjelaskan tentang sampah yang dikelola di Rumah Plastik, mulai dari jenisnya, mekanisme pengelolaannya, hingga potensi ekonominya.
Setelah saya tanya Eka, ternyata tiga anak muda itu memang baru pertama kali datang ke Rumah Plastik. Mereka bahkan bukan dari Buleleng, melainkan datang dari Kabupaten Tabanan.
Yang Pertama Dewa Made Adi Darma Rucita yang biasa dipanggil Dewa, asalnya dari Desa Jadi Babakan, Kecamatan Kediri. Pemuda kelahiran 1994 ini ternyata sudah setahun mengelola sampah di desanya.
Sarjana ekonomi ini melihat ada banyak potensi ekonomi dari usaha sampah sehingga punya niat segera membangun bank sampah. Nama bank sampahnya sendiri sudah ditentukan yaitu Rubbish Bank.
Yang kedua seorang wanita lulusan Undiksha jurusan manajemen, namanya Ni Made Ratna Dewi. Ia berasal dari Desa Belumbang Kecamatan Kerambitan. Meskipun sudah empat tahun lebih tinggal dan belajar di Buleleng, Ratna ternyata tidak pernah tahu keberadaan Rumah Plastik.
Setelah lulus tahun 2020, Ratna sempat bekerja sebagai akunting di salah satu rumah makan di Tabanan, sampai akhirnya bertemu dengan Perbekel Belumbang lalu ditawari untuk ikut menjadi tim manajemen pengelolaan sampah yang akan di bangun di Desa Belumbang.
Gadis berparas manis kelahiran Oktober 1998, kemudian diberi tugas untuk belajar pengelolaan sampah di Rumah Plastik selama 3 hari sedari Jumat hingga Minggu, 1/08/2021.
Yang ketiga, yang termuda, pria kelahiran Mei 2003 ini baru saja lulus dari Sekolah Menengah Kejuruan di Tabanan. Namanya I Kadek Rahma Diantara Putra. Sama seperti Ratna, Rahma berasal dari Desa Belumbang, juga mendapat tugas dari Perbekel Desa Belumbang untuk belajar pengelolaan sampah di Rumah Plastik.
Dewa, Ratna Dan Rahma, hadir di Rumah Plastik untuk belajar pengelolaan sampah. Kedatangan tiga anak muda itu ternyata bukan tiba-tiba begitu saja. Kedatangan mereka merupakan tindak lanjut dari program kerjasama Rumah Plastik dengan Badan Kerja Sama Antar Desa (BKAD) Kecamatan Kerambitan dan Yayasan Bali Rare Paduraksa.
“Kami di rumah plastik sudah menjalin kerjasama dengan BKAD Kerambitan untuk membangun tempat pengelolaan sampah non organik yang diberi nama Kedas (Kerambitan Daur Ulang Sampah) lokasinya di desa Belumbang,” kata Eka.
Ditambahkan Eka, nantinya Kedas ini akan mengelola sampah non organik yang dihasilkan oleh 15 desa Di Kecamatan Kerambitan.
“Rumah Plastik akan membantu manajemen pengelolaannya selama 2 tahun ke depan di Kedas, tetapi untuk pengelolaan di sana akan di kerjakan oleh Ratna dan Rahma,” jelas Eka.
Ratna dan Rahma sebagai orang Belumbang akan menjadi manager operasinal di Kedas, meskipun usianya cukup muda tapi sepertinya mereka sangat dipercaya oleh Pemerintah Desa Belumbang dan BKAD Kerambitan untuk memegang operasional di Kedas.
Sementara Dewa mendapat tugas dari Bali Rare Paduraksa untuk mendalami pengelolaan sampah, sehingga diharapkan akan menjadi pendorong manajemen pengelolaan sampah yang baik di Kecamatan Kediri Tabanan.
Ketika ditanya kenapa mau belajar mengelola sampah sampai ke Buleleng, Dewa menuturkan bahwa dirinya memang sudah sangat tertarik berbisnis sampah setelah lulus kuliah.
“Saya memang senang berbisnis, awalnya ingin mengelola sampah organik dengan mengambil ke rumah-rumah warga, karena sepertinya untungnya lumayan, lalu nyari-nyari info tentang pengelolaan sampah, sampai bertemu dengan pengelola bank sampah, dari sana awalnya memulai tahun lalu,” ujarnya.
Di awal mengelola sampah, proses dan hasil dirasa belum maksimal, mungkin karena ilmu masih kurang. Untunglah ia bertemu dengan Eka, pemilik Rumah Plastik. Ia jadi tertarik untuk lebih mendalami bagaimana pengelolaan sampah yang optimal sehingga selain potensi ekonominya jadi lebih tinggi, jenis sampah yang bisa dikelola bisa lebih banyak.
Meskipun sempat ditentang oleh orang tua, setelah mampu menjelaskan hasil dari pengelolaan sampahnya, Dewa sendiri sudah mendapat dukungan dari keluarga. “Segera setelah selesai pelatihan di Buleleng saya akan membangun bank sampah sendiri,” tekadnya.
Berbeda dengan Dewa yang sudah memiliki pengalaman pengelolaan sampah, Ratna dan Rahma baru pertama kali terlibat pengelolaan sampah.
Ratna mengatakan, dirinya tidak ada sedikit keraguan meskipun mengelola sampah, karena di awal dikatakan bahwa ini merupakan program dari kecamatan untuk menangani permasalahan sampah, jadi dirinya tidak mempermalahkan kerjaannya ngurusin sampah.
“Saya gak ada masalah, Bli, untuk ngurusin sampah. Tak ada gengsi, keluarga juga mendukung,” ujar Ratna.
Ratna bercerita soal pengalamannya ketika bekerja di rumah makan. Memang sudah diberlakukan kebijakan pengurangan plastik sekali pakai, tapi dalam pelaksanaannya belumlah efektif.
“Kasian juga jika ada pembeli yang lupa membawa totebag atau tas kantong makanan, ketika belanja jadi terlihat kerepotan. Artinya kantong kresek masih diperlukan, saya pikir gak bisa kalau hanya dengan kebijakan tersebut, tetapi harus ada solusi lain juga seperti pengelolaan daur ulang sampah,” kata gadis yang hobi olahraga ini.
Yang membuat Ratna agak tegang adalah waktu untuk belajar pengelolaannya sampah sangat terbatas hanya 3 hari dan harus sudah bisa.
Memang Kedas ditargetkan oleh Eka dan BKAD Kerambitan Sudah mulai beroperasional sebelum Hari Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 2021, sehingga mau tidak mau Ratna dan Rahma harus sudah memahami SOP pengelolaan sampah untuk di Kedas.
Lalu bagaiamana dengan Rahma, pemuda 18 tahun ini memang yang paling pendiam, lebih banyak menyimak saja. Rahma menyampaikan bahwa tidak ada rasa malu mengelola sampah, karena tujuannya bekerja dan juga bisa berbuat untuk menjaga lingkungan di desa.
“Setelah lulus saya niatnya memang bisa langsung mencari pekerjaan, Bli, jadi tidak masalah ngurus sampah dan terlihat kotor, apalagi bisa bekerja di desa sendiri,” kata Rahma,
Rahma tampak begitu menikmati hari-harinya di Buleleng, karena baru pertama kali ke Buleleng.
“Ini pertama kali ke Buleleng, Bli, terus ketemu temen-temen pengelola sampah dari Buleleng, Logat bicara orang Buleleng menurut saya menarik,” jelasnya.
Berbeda dengan Dewa yang memang sudah punya pengalaman berkecimpung terlihat memang seperti sudah terbiasa. Dia terlihat begitu antusias ketika tahu semua harga-harga dari sampah plastik yang ada setelah proses pemilahan.
Lalu Ratna dan Rahma meski baru pertama kali berada di tempat pengelolaan sampah, tampak tidak begitu canggung juga berada di tempat sampah di gudang unit Rumah Plastik. Mereka begitu cepat bergaul dengan para pemilah sampah dan ikut belajar memilah sampah dengan sepenuh hati. [T]