31 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Seni Tradisi, Terseok di Jagat Digital

Aris SetiawanbyAris Setiawan
July 26, 2021
inEsai
Seni Tradisi, Terseok di Jagat Digital

Ilustrasi tatkala.co | Nana Partha

Dua tahun pandemi menjadi catatan suram bagi perkembangan seni tradisi. Upaya terakhir agar seni tradisi mampu lentur dan cair masuk gerbong baru bernama “panggung virtual” boleh dikata belum menemukan titik terang. Kodrat panggung virtual seolah bertolak belakang dengan gaya dan karakter seni tradisi kita.

Dunia virtual, anggaplah YouTube misalnya, selama ini mendamba pada sesuatu yang filmis, mengandalkan sisi visual yang glamour, bising, gaduh, konfliktual, bahkan tidak jarang banal. Sementara kodrat seni tradisi menuju keintiman yang kontemplatif, di mana cara menikmatinya justru bukan sekadar dilihat, tapi juga didengar, dirasakan, dan dibatin. Perbedaan inilah yang menyebabkan seni tradisi terseok-seok kala harus “hijrah” menjadi ujud anyar atas nama konten.

Berlawanan

Masuknya seni tradisi dalam dunia virtual tidak cukup dibaca; hanya sekadar “memindah” tubuh pertunjukan, tetapi juga mengalami lapis-lapis pemaknaan yang tidak tunggal. Dunia virtual memang sebuah keniscayaan, dan harus diakui bahwa, pelaku kesenian tradisi gagap dalam menyikapi hal itu. Baru tersadarkan saat pandemi datang, kala intimitas kerumunan menjadi hal tabu dan ditakuti.

Jauh sebelum pandemi mengoyak, kajian-kajian ilmiah tentang seni (tradisi) virtual jarang dilakukan, tidak menarik minat para peneliti dan akademisi. Kita masih beranggapan bahwa kesenian tradisi mampu tumbuh dan hidup dalam dunianya yang khas, di mana keramaian, persentuhan tubuh, bahkan tatapan mata para penonton secara langsung menjadi tolok ukur keberhasilan.

Oleh karena itu, di saat keharusan tampil di jagat virtual, kita tidak memiliki acuan dan peta jalan yang jelas, tentang bagaimana mekanisme ideal saat seni tradisi harus bermetamorfosis menjadi “tagar” dan “trending”.

Segala hal yang awalnya diagung-agungkan sebagai daya tarik kesenian tradisi, terutama atas nama “adi luhung”, di mana segala penikmatan terhadapnya tidak semata mengandalkan perangkat fisik (mata dan telinga), tetapi juga “rasa”, kini layak dipertanyakan kembali, karena episentrum jagat digital hanya mensyaratkan satu hal; bahasa sinema.

Sebagus dan seindah apapun kesenian tradisi jika tidak masuk dalam kategori itu maka dianggap gagal. Dan kegagalan itulah yang kini jamak kita lihat dan ratapi. Banyak persoalan yang belum tuntas untuk diulas, bahkan dicarikan jalan keluarnya.

Sebagai contoh, pertunjukan gamelan Jawa yang selama ini mengandalkan kesayuan bunyi, kelembutan suara, dan keheningan gending harus terdepak paling jauh dari jagat virtual. Pemain gamelan tabu untuk banyak tingkah, sebisa mungkin mereka tidak bergerak bebas, penuh konsentrasi pada pencapaian kualitas estetik musik yang dimainkan. Pemain-pemain itu laksana patung membisu.

Lalu, apa yang bisa dinikmati dari YouTube pada pertunjukan demikian. Apa yang bisa ditonton? Jangankan untuk menjadi viral, sekadar “diklik” saja sudah beruntung.

Tentu kita masih bisa mendebatnya lebih jauh bahwa, seharusnya menikmati gending gamelan di YouTube itu didengarkan, bukan dilihat, karena kodrat music itu untuk telinga, tidak untuk mata. Baiklah!

Namun pertanyaan yang tak kalah mendesak, bagaimana meramu sisi auditif (suara-bunyi) gamelan di jagat digital agar kualitasnya sama (atau paling tidak mendekati) dengan gending di pendopo yang agung itu?

Di pendopo, penataan gamelan dilakukan dengan memenuhi kaidah estetik, berdasar pertimbangan capaian gumpalan bunyi yang utuh, kata lain dari sempurna. Karena itu, gong-kempul selalu berada di tengah dan paling belakang bersanding dengan kenong, di depannya ada instrument balungan, berturut-turut semakin ke depan ada instrumen kendang, bonang yang sejajar dengan rebab, gender, dan sindhen.

Penataan itu sengaja dilakukan demi membentuk ambience atau gaung bunyi yang puncak. Apa yang terjadi saat bunyi-bunyi instrumen itu campur-aduk menjadi satu berupa getaran elektron, diambil lewat  perangkat bernama “microphone”, lalu diolah pada alat yang bernama “audio mixer”. Dan hasilnya bisa kita dengarkan di laman digital. Apakah masalah selesai? Belum!

Jagat virtual mensyaratkan hal lain yakni: perangkat (device, tools)! Dalam mendengarkan gamelan secara daring, perbedaan perangkat (handphone, headset, jaringan, kuota) akan menentukan capaian estetiknya. Keagungan gending gamelan itupun semakin terdistorsi. Kesenian tradisi lain tentu juga memiliki persoalan yang tak kalah pelik.

Tari misalnya, pada pertunjukan langsung penonton dapat menikmati “gerak tubuh” penari secara bebas, tapi di laman digital sepenuhnya ditentukan oleh “mata kamera”. Dengan kata lain, penonton tidak lagi memiliki kuasa atas pertunjukan tari yang dinikmatinya.

Layar Pintar

Masuknya tradisi dalam budaya layar berdalih konten tidak sepenuhnya menjadikan kesenian itu merdeka, namun sangat mungkin terintervensi dengan keharusan mengubah sajian, isi, bentuk, karakter, dan gaya. Budaya digital kini memang dirayakan secara masif, menjadikan semua sebagai artis (kata lain youtuber, vloger) namun miskin penikmat. Terlebih untuk kasus-kasus seni tradisi.

Keberhasilan sajian yang ditentukan oleh kalkulasi jumlah penonton (viewer) agar mampu mendatangkan iklan terhitung sangat rendah. Mayoritas penontonnya adalah seniman sealiran, teman, sahabat, dan keluarga, alih-alih menikmati sajian pertunjukan digital yang ada justru empati, rasa prihatin, memberi semangat, dan saling salam.

Rendahnya jumlah penonton itu berakibat pada semakin tak berdayanya tradisi di musim pandemi. Seniman-seniman mulai berpikir untuk terus bertahan hidup dengan menjual peralatan seni yang dimiliki seperti gamelan, wayang, dan lain sebagainya.

Tak terbacanya seni tradisi juga disebabkan karena pengaruh algoritma digital. Seni tradisi di panggung baru itu ibarat setetes air tawar di luasnya samudera virtual. Dunia virtual adalah dunia yang tak terbatas. Di YouTube misalnya, ada jutaan konten yang diproduksi setiap hari. Satu konten bersaing dengan konten lainnya, dan tradisi adalah salah satunya. Hanya konten-konten viral yang diburu oleh penonton. Hal itu akan menentukan mekanisme kerja algoritma.

Setidaknya, algoritma digital akan memberikan sugesti pada penonton, terkait konten apa yang bisa dinikmati setelah tontonan pertama usai diputar. Dan bisa ditebak, tontonan selanjutnya adalah serupa dengan tontonan sebelumnya, begitu seterusnya. Akibatnya, kesenian tradisi tak mendapat tempat, tak mampu  terbaca secara lebih terbuka, karena algoritma digital tak pernah merekomendasikannya pada publik.

Kekhusyukan dalam menikmati seni tradisi tidak didapatkan dalam panggung virtual, yang sekali lagi, menekankan kegaduhan dan kebisingan isu. Seniman-seniman tradisi memang mulai banyak beradu keuntungan di jagat digital, tapi ekstase yang didapat adalah berupa katarsis berpentas, bukan keuntungan finansial.

Artinya, pentas itu semata mengobati kerinduan untuk tampil, yang selama ini tubuh mereka terpenjara karena pandemi. Berpentas digital sebagai sarana detoksinasi dari jemunya menjalani hidup sebagai seniman tradisi yang tak lagi bisa merengkuh panggungnya.

Oleh karena itu, jangan terlalu banyak berharap bahwa jagat virtual mampu memberi akses berpentas yang lebih manusiawi di kala benturan-benturan kepentingan, karakter, dan formulasi bentuk sajian terjadi. Jika terus dibiarkan, tidak menutup kemungkinan seni tradisi akan berpendar menjadi narasi purbawi megalitik, tidak lagi dijumpai di kehidupan manusia kini dan nanti. Aduh!! [T]

  • Artikel ini adalah makalah yang disajikan dalam Seminar Nasional bertajuk “Seni Virtual dan Masa Depan Seni Tradisi” yang diselenggarakan oleh Pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Minggu, 25 Juli 2021.
Tags: digitalISI DenpasarSeniseni tradisional
Previous Post

Lontar Mpu Kuturan | Sosok Historis atau Mitos?

Next Post

Jegeg Bagus Karangasem Berbagi di Tianyar Barat | Bertambah Jegegnya, Bertambah Bagusnya

Aris Setiawan

Aris Setiawan

Seorang jurnalis yang rajin melakukan pencatatan peristiwa musik untuk dipublikasikan di media massa. Beberapa karya tulisnya rutin terbit di Harian Kompas, Koran Tempo, Majalah Tempo, Jawa Pos, Detik.com, Kedaulatan Rakyat, Suara Merdeka, Solopos, Majalah Basis, Republika, Basa-basi.co, Koran Jakarta, Koran Kontan, Etnis.id. Ia juga aktif menulis di jurnal ilmiah seperti Dewa Ruci, Sorai, Gelar, Terob, Resital, Music Scholarship, Pelataran Seni, Harmonia, Abdi Seni. Aris Setiawan menjadi dosen di Jurusan Etnomusikologi dan Pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta.

Next Post
Jegeg Bagus Karangasem Berbagi di Tianyar Barat | Bertambah Jegegnya, Bertambah Bagusnya

Jegeg Bagus Karangasem Berbagi di Tianyar Barat | Bertambah Jegegnya, Bertambah Bagusnya

ADVERTISEMENT

POPULER

  • “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sang Hyang Eta-Eto: Memahami Kalender Hindu Bali & Baik-Buruk Hari dengan Rumusan ‘Lanus’

    23 shares
    Share 23 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Film “Mungkin Kita Perlu Waktu” Tayang 15 Mei 2025 di Bioskop

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Tembakau, Kian Dilarang Kian Memukau

by Petrus Imam Prawoto Jati
May 31, 2025
0
Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

PARA pembaca yang budiman, tanggal 31 Mei adalah Hari Tanpa Tembakau Sedunia. Tujuan utama dari peringatan ini adalah untuk meningkatkan...

Read more

Melahirkan Guru, Melahirkan Peradaban: Catatan di Masa Kolonial

by Pandu Adithama Wisnuputra
May 30, 2025
0
Mengemas Masa Silam: Tantangan Pembelajaran Sejarah bagi Generasi Muda

Prolog Melalui pendidikan, seseorang berkesempatan untuk mengembangkan kompetensi dirinya. Pendidikan menjadi sarana untuk mendapatkan pengetahuan sekaligus mengasah keterampilan bahkan sikap...

Read more

Menjawab Stigmatisasi Masa Aksi Kurang Baca

by Mansurni Abadi
May 30, 2025
0
Bersama dalam Fitri dan Nyepi: Romansa Toleransi di Tengah Problematika Bangsa

SEBELUM memulai pembahasan lebih jauh, marilah kita sejenak mencurahkan doa sembari mengenang kembali rangkaian kebiadaban yang terjadi pada masa-masa Reformasi,...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

May 29, 2025
 Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

May 27, 2025
911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

May 21, 2025
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

May 16, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Perayaan Penuh Kelezatan di Ubud Food Festival 2025
Panggung

Perayaan Penuh Kelezatan di Ubud Food Festival 2025

MEMASUKI tahun ke-10 penyelenggaraannya, Ubud Food Festival (UFF) 2025 kembali hadir dengan semarak yang lebih kaya dari sebelumnya. Perayaan kuliner...

by Dede Putra Wiguna
May 31, 2025
ft. moreNarra di Acara “ASMARALOKA”—Album Launch Showcase dari Arkana: “Ya, Biarkan”
Panggung

ft. moreNarra di Acara “ASMARALOKA”—Album Launch Showcase dari Arkana: “Ya, Biarkan”

MENYOAL asmara atau soal kehidupan. Ada banyak manusia tidak tertolong jiwanya-sakit akibat berharap pada sesuatu berujung kekecewaan. Tentu. Tidak sedikit...

by Sonhaji Abdullah
May 29, 2025
Sulaman Sejarah dan Alam dalam Peed Aya Duta Buleleng untuk PKB 2025
Panggung

Sulaman Sejarah dan Alam dalam Peed Aya Duta Buleleng untuk PKB 2025

LANGIT Singaraja masih menitikkan gerimis, Selasa 27 Mei 2025, ketika seniman-seniman muda itu mempersiapkan garapan seni untuk ditampilkan pada pembukaan...

by Komang Puja Savitri
May 28, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

May 31, 2025
Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

May 31, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [17]: Wanita Tua dari Jalur Kereta

May 29, 2025
Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

May 25, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [16]: Genderuwo di Pohon Besar Kampus

May 22, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co