SELAIN sebagai nama satu metrum kakawin [puisi berbahasa Jawa Kuna], Bhadrawada atau Bhadrapada juga menunjuk nama bulan kedua dalam sistem kalender Nusantara, bulan Karwa yang di Bali diucapkan Karo, Juli-Agustus. Kata bhadra dalam tradisi Jawa Kuno—yang kemudian berpengaruh kuat di Bali—kerap dimaknakan ‘selamat, untung, mulia, ramah, cantik’, juga ‘bagus’.
Mereka yang berwatak baik, mulia, gagah berani, atau cantik, bagus, indah, kerap diistilahkan dengan sebutan bhadrika. Bahkan Dewa Siwa yang memiliki beribu nama sebutan pun digelari Bhadra-Iswara (Bhadreswara), Mahadewa Maha Penganugerah Yang Penuh Kemuliaan.
Bhadrawada atau Bhadrapada sejatinya divisikan sebagai bulan penuh anugerah kemuliaan (bhadranugraha), sekaligus pembebasan, kemerdekaan.
Mpu Yogiswara manakala mengakhiri mahakaryanya, kakawin Ramayana, bertepatan dengan bulan Bhadrawada, menyuratkan doa dan pengharapan begini: “… semoga nilai-nilai mulia Ramayana tetap harum dan meresap ke dalam hati. Dengan begitu, mahayogi suci mulia sekalipun akan kian bahagia, dan orang-orang sujana arif-bijaksana kian suci hati dan pikirnya usai membaca karya sastra ini. Tentu pula kian awas waspada tajam pandangannya dalam memilah memilih baik dan buruk, sebagai jalan menuju kelepasan, kemerdekaan. Dan, jika tepat benarlah caramu menjelaskan, walaupun kepada orang awam sekalipun, akan dapat menyebabkan dia mencapai alam pembebasan, alam kemerdekaan.”
TRADISI kewaktuan Bali agraris biasanya memvisikan sasih Karo (Karwa, bulan kedua), sebagai momentum memuliakan hidup dalam kehidupan. Sebagai penanda waktunya: langit berawan-gemawan di subuh hingga pagi hari, diiringi udara sejuk bahkan cenderung dingin. Adapula jenis pohon tertentu yang mulai rontok daun hingga gundul, untuk kemudian tumbuh lagi tunas-tunas baru bersamaan dengan dimulai sasih Katiga (bulan ketiga, Agustus-September) saat puncak kemarau di wilayah Khatulistiwa, lalu disertai mekar bingar bunga-bunga saat sasih Kapat (bulan keempat) September-Oktober.
Dalam momentum kewaktuan seperti itulah tetua-tetua Bali agraris mulai merespons memaknai bentangan pertanda perubahan alam dengan gelaran upacara, terutama bagi pemuliaan harkat kemanusiaan serta bakti tunduk pengabdian untuk pemuliaan orangtua dan atman leluhur. Pada pura jagat dengan siklus ritus ketat bulan per bulan, seperti di Pura Besakih dan Pura Batur, pertanda kesemestaan ini direspons dengan ritus bermakna pengharapan bagi kestabilan jagat. Di Pura Gelap Besakih, pada Purnama Karo, digelar aci Pangenteg Jagat, agar jagat enteg, dalam arti tegteg, degdeg, kukuh stabil, harmonis, tetap, abadi, tiada berguncang menggang-menggung gonjang-ganjing.
“Pembacaan” dari titik Bumi Nusantara Raya—yang pas tepat dibentangi garis Khatulistiwa—memahami: Matahari saat Bhadrawada ini tampak mulai mendekati titik tengah Khatulistiwa dari Kutub Utara. Tidak berlebihan bila momentum Purnama Karo atau Purnama Bhadrawada kerap dipahami sebagai bulan purnama paling terang dalam siklus setahun kalender Bali. Ini karena Matahari beranjak dari Kutub Utara mendekati garis Khatulistiwa yang menjadikan Bumi di Garis Khatulistiwa mendapat sinar Matahari penuh dan menyeluruh. Jarak waktu siang dengan malam pun sama: 12 jam.
Momentum kewaktuan dalam ruang berkemuliaan seperti itulah mengesan kuat manakala teks-teks Bali maupun Jawa Kuno melukiskan alam saat sasih Karo yang juga dinamakan Bhadrapada atau Bhadrawada ini.
Pada momentum kesemestaan keruangan dan kewaktuan seperti itulah para pejalan kesadaran kerap memilih Agustus sebagai peluang emas buat melakukan pembebasan final sang Jiwa dari kurungan badan. Tapi, putra-putri utama Nusantara Raya generasi Dwitunggal Soekarno-Hatta memilih Bhadrawada Masa sebagai momentum emas buat memproklamasikan Kemerdekaan Tanah-Air Nusantara Raya Indonesia dari penjajahan bangsa lain. Dan, Bali pun secara resmi menjadi Provinsi bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia pada momentum Bhadrawada Masa. Kedua momentum ini seakan memvisikan dan mengimplementasikan terang benderang perihal Bhadrawada sebagai bulan yang berlimpah anugerah buat memuliakan hidup dalam kehidupan.
Semoga Kita, Para Sahabat, mampu menjadikan bulan Bhadrawada ini sebagaimana harapan Mpu Yogiswara: //pinaka nimitta ning lepas//, sebagai jalan menuju pembebasan, pelepasan, pemerdekaan paripurna utuh-total-menyeluruh: dari yang tak-nyata menjadi Nyata; dari kegelapan menuju Terang; dari ketidakabadian menuju Keabadian.
Rahayu selalu, Sahabat.
- Saniscara Umanis, Bala, Purnama Karo/Bhadrawada, Ishaka Warsa 1943
- 24.07.2021