Tak dapat dipungkiri, ada kalangan yang memandang metode akting realis yang punya sekian varian itu sudah ketinggalan zaman. Apalagi dengan gempuran sejumlah aliran teater yang kini sering jadi perbincangan yang secara simpel dapat diringkas dalam bingkai teater kontemporer.
Tapi tetap saja, metode akting realis dibutuhkan. Seliar-gila apa pun aliran teater itu, sejauh masih berkaitan dengan aktor, metode ini masih relevan sebab ia adalah metode, cara, bukan gaya atau bentuk. Soal gaya, bentuk, dan aplikasinya, tentu bisa sangat kaya dan bermacam-macam sesuai dengan konsep pertunjukan yang disepakati.
Di tulisan sebelumnya, saya berbagi pengalaman tentang apa yang guru-guru saya ajarkan kepada saya tentang akting realis. Saya bukan anak kuliahan. Jadi, besar kemungkinan ada, atau bahkan banyak, perbedaan istilah atau apa pun dengan yang biasa digunakan oleh teman-teman kampus. Tapi itu tidak harus jadi soal. Teater jangan dikerangkeng di kampus melulu. Biarkan ia kawin dengan berbagai dunia mungkin yang ada yang barang tentu melahirkan terminologi yang boleh jadi berbeda satu sama lain.
Kembali ke soal akting. Di tulisan lalu, saya sampaikan bahwa sebelum aktor melakoni sebuah peran, pertama-tama ia harus tahu, kenal, sadar, paham, dan menerima tubuhnya. Setelah seorang aktor tuntas, atau setidaknya dianggap tuntas, barulah ia berkenalan dengan tubuh tokoh.
Sebetulnya, prosesnya tidak sekaku itu. Bisa sambil menyelam minum air. Sambil menganali tubuhku, kenali pula tubuh “aku yang lain”. Tapi, idealnya, ya, tuntas dulu dengan tubuh sendiri sebelum kenalan dengan tubuh tokoh.
Cara mengenalinya, pertama-tama, dari teks. Yang tidak tertera dalam teks, itulah ruang tafsir. Tapi jangan sampai tidak nyambung dengan teks. Misalnya, di teks tertulis ada seorang tokoh bernama Cecep Dadan Sobarna. Dikisahkan ia adalah seorang perantau. Sementara seting lakon berlangsung adalah di sebuah perdukuhan di Jepara, Jawa Timur, tahun 1980-an.
Aktor yang memerankan Cecep musti paham bahwa nama Cecep bukan nama yang nama yang umum bagi laki-laki di Jepara di tahun 80-an. Hal ini nyambung dengan keterangan dalam teks bahwa ia seorang perantau. Hanya saja, tidak ada informasi dari mana Cecep berasal. Lantas, dari mana Cecep berasal?
Cecep adalah nama yang umum digunakan oleh laki-laki di Jawa Barat (Sunda). Terlebih dengan kepanjangan Dadan Sobarna, hal ini lebih menguatkan lagi sebab baik Dadan maupun Sobarna juga adalah nama yang umum digunakan laki-laki di Jawa Barat.
Meski teks tidak menyuratkan daerah asal tokoh ini, namun, dari namanya besar kemungkinan Cecep berasal dari Jawa Barat. Hal ini penting diketahui sebab merupakan bagian dari biografi tokoh. Saya diajarkan oleh guru saya, Gusjur Mahesa, untuk menulis biografi tokoh selengkap mungkin. Jadi semacam cerpen atau autobiografi. Jadi, saya dan kawan-kawan aktor yang lain mengembangkan sejumlah keterangan yang tertulis di teks untuk kami jadikan biografi yang utuh. Lengkap dari mulai tokoh lahir sampai masa ketika peristiwa lakon berlangsung.
Kami juga menuliskan pandangan tokoh terhadap tokoh lain. Hal ini sangat penting karena akan menjadi dasar bagi aktor untuk eksplorasi dan mengembangkan karakter serta sikap luar-dalamnya kepada tokoh lain.
Setelah semua informasi prihal tubuh dan biografi tokoh didapat, selanjutnya tinggal menginternalisasikan ke dalam tubuh luar-dalam sang aktor. Proses internalisasi ini sebetulnya tidak kaku dalam arti tidak musti dilakukan setelah semua informasi ketokohan diperoleh.
Seperti yang pernah saya sampaikan di bagian awal, jawaban atas berbagai pertanyaan untuk menguak karakter tokoh kadang kala tidak ketemu dalam waktu singkat. Jadi, proses internalisasi itu ibarat memaham biak: dikunyah, ditelan, dikunyah lagi, ditelan lagi, dan seterusnya sampai pada titik pas. Akting dan teater secara umum adalah soal takaran. Ukurannya adalah pas.
Proses internalisasi meliputi segala hal ihwal tubuh luar-dalam, termasuk pikiran. Kalau untuk menjiwai emosi tokoh, biasanya aktor sudah punya metode untuk itu. Misalnya, dengan cara sang aktor mengingat momen tertentu dalam hidupnya yang mengandung muatan emosi yang mirip dengan emosi tokoh dalam suatu adegan.
Yang biasanya sukar—atau tepatnya sering dilupakan—adalah soal menginternalisasikan pikiran, atau lebih tepatnya, pola pikir tokoh. Tiap orang kan punya pikiran yang terbentuk dari suatu pola pikir atau paradigma tertentu. Pola pikir ini dibentuk dan ditentukan oleh banyak faktor. Agama, ideologi, bacaan, teman pergaulan, akar budaya, sejarah hidup, dan lain sebagianya adalah sejumlah faktor yang mempengaruhi terbentuknya pola pikir seseorang.
Seorang aktor, sebagai manusia beradab dan berbudaya, barang tentu punya pola pikir sendiri. Demikian pula seorang tokoh. Meski, katakanlah, fiksi, namun ia harus hadir di panggung sebagai manusia utuh, punya tubuh luar-dalam yang utuh, termasuk pikiran dan pola pikir.
Ada kalanya pola pikir seorang aktor tabrakan dengan pola pikir tokoh. Umpamanya, dalam kehidupan sehari-hari aktor A adalah seseorang yang sangat religius. Suatu ketika, ia mendapat peran sebagai seorang atheis. Pola pikir orang religius tentu sangat berbeda dengan orang atheis. Nah, yang jadi tantangan sekaligus keasyikan buat aktor adalah bagaimana cara menyerap pola pikir tokoh secara utuh tanpa kemudian “kebawa-bawa” ke kehidupan pribadi.
Yang harus elastis dari aktor bukan cuma tubuh luarnya, tapi juga emosi dan pikirannya. Aktor harus mampu mengikuti arus namun jangan sampai terbawa arus. Apalagi terseret-seret. Kalau sampai terseret-seret jadinya bukan akting, tapi kesurupan. Repot.
Kira-kira, butuh waktu berapa lama menginternalisasikan tubuh luar-dalam (termasuk emosi, pikiran, dan pola pikir) tokoh ke dalam tubuh aktor? Sebentar atau lama? [T]
___
BACA JUGA: