“Seorang juru masak yang buruk berusaha menyembunyikan rasa asli dari bahan masakan dan bukannya membangkitkannya.” – Guillaume Musso
Ada benarnya juga, setiap kita memasak, tanpa sadar, sebagian besar bahan utama dalam sebuah masakan yang kita hadapi selalu membawa rasa masing-masing, tinggal bagaimana kita mengeluarkannya agar menjadi masakan yang sempurna. Apakah kita akan membuat daging itu lembut atau lebih mengeras, apakah dimasak setengah matang atau matang, apakah menambah bahan tertentu atau bagaimana. Semua itu adalah pilihan yang sanggup kita jelaskan setelah kita memahami karakter setiap bahannya.
Tapi dalam dalam satu hal, saya kira Musso keliru. Juru masak yang baik sekali waktu harus mampu menyembunyikan rasa asli bahan makanannya. Begitu setidaknya bila ia mengenal batang pisang. Bagaimana mungkin batang pisang memiliki rasa yang harus dibangkitkan? Ia hambar dan berair. Jenis bahan masakan yang seperti ini selalu membuka peluang untuk membuka improvisasi rasa yang baru.
Saat seperti itulah saya pikir seorang juru masak dituntut bertangan hangat (Sebutan untuk pujian bagi juru masak yang selalu memasak dengan enak). Ia harus memodifikasi rasa hambar untuk membahagiakan lidah. Barangkali saya memang harus bersepakat, bila kita mengolahnya menjadi ares tanpa daging, batang pisang hanya sanggup kita gali teksturnya dengan mengulat bersama minyak goreng dan garam halus untuk memisahkan inti dan seratnya. Perihal rasa yang kemudian muncul pada ares, yang kita nikmati adalah rasa dari komposisi bumbu.
Di Bali Barat, orang yang sanggup memasak ares dengan enak, ia adalah orang yang sanggup memasak apa saja dan barulah ia diakui sebagai juru masak. Sebab pada dasarnya, mamasak ares adalah mengenal segala jenis bumbu rempah. Ares begitu menuntut banyak keterampilan; mengumpulkan bahan yang kompleks dan meramunya. Semuanya harus mendapat tempat dan semuanya memberi rasa (maksudnya, setiap rempah memiliki rasa yang khas, menonjol, sekaligus saling menguatkan).
Ares tak pernah dinikmati sendiri. ia selalu mendapat penghakiman banyak orang. Sebelum menu ini akhirnya berkembang menjadi masakan rumahan, ares hanya muncul pada acara hajatan atau upacara adat. Sebab itulah, bila dikatakan ares itu berhasil, maka 90% penyantapnya merasa puas. Bila setengah saja orang mengakatan ares itu jelek, besoknya, jangan harap kita diundang memasak ares untuk orang banyak. Bagi beberapa juru masak, kejadian-kejadian memasak ares yang lumrah memunculkan sebab-akibat seperti itu menjadikannya salah satu menu masakan yang paling dihindari.
Perihal memasak ares sebenarnya adalah soal perkiraan. Apakah sebelum memasak kita kita selalu menimbang bahan masakan agar takaran bumbunya pas? Saya pikir tidak. Utamanya orang Bali tak pernah punya kebiasaan itu. Setiap kali memasak, bumbu yang ditakar jumlahnya selalu berubah. Itulah sebabnya, memasak adalah sesuatu yang rumit.
Sekali lagi, memasak adalah perihal mengingat dan meramu. Apakah dua sendok garam mampu memberikan rasa asin pada setengah kuah panci? Apakah setugal kunyit akan membuat warna kuah begitu kuning? Seberapa sanggup jahe dan bunga cengkeh memberikan rasa hangat pada masakan?
Seorang juru masak telah paham betul bahwa segalanya adalah perkiraan. Setiap juru masak tak pernah memiliki resep utuh secara itung-itungan. Setiap resepnya hanyalah perkiraan. Setelah masakan itu dihidangkan, barulah si juru masak sanggup membeberkan resepnya. [T]