Zaman boleh terus berkembang, makin modern hingga postmodern. Tenganan Pegringsingan di Kecamatan Manggis, Karangasem, sebagai representasi dari Desa Bali Aga hingga kini masih memegang teguh adat, budaya dan tradisi. Ini dikuatkan karena sistem aturan (awig) yang juga tetap dijunjung tinggi dan sebagai hukum mutlak yang wajib dipatuhi.
Tenganan Pegringsingan bukan hanya memiliki hasil budaya yang melambungkan namanya berupa kain gringsing dengan tehnik dobel ikat, tapi juga memiliki ikonik yang menjadi amat khas, yakni kerbau hitam yang berkeliaran bebas di desa.
Terkait asal usul dari kerbau ini, belum bisa dipastikan secara jelas karena sumber literasinya belum ditemukan. Mungkin karena ahun 1841 (Masehi) atau tahun 1763 (Isaka) terjadi kebakaran hebat di Desa Tenganan Pegringsingan sehingga semua sumber-sumber literasi desa serta prasasti yang dapat mengungkapkan tentang asal-usul sejarah desa ikut hangus tanpa sisa.
Jadi terkait asal usul kerbau tersebut hanya menjadi wacana lisan yang melegenda. Ada yang mengatakan kerbau ini memang sudah ada seperti itu di desa, juga ada yang mengatakan asli kerbau ini dari Desa Ngis. Terlepas asal usul, sampai saat ini kerbau ini dijadikan warisan suci bagi warga Desa Adat Tenganan Pegringsingan.
Kerbau ini dikenal dengan nama Jro Gede Ombo atau Ombo Sang Hyang. Jro Gde Ombo, kerbau hitam jantan, gagah nan perkasa berkulit hitam legam kebanggaan wong Bali Aga Tenganan Pegringsingan.
Nah, pada 22 Mei 2021, digelar tradisi bernama Mati Ombo Sanghyang. Ini merupakan salah satu rangkaian upacara Ngusabha Sambah di Desa Adat Tenganan Pegringsingan, yang secara sistem penanggalan Desa Adat Tenganan Pegringsingan jatuh pada Tanggal 9 Sasih Kalima.
Begini urutan upacaranya.
Krama desa adat muani (laki-laki) mulai berkumpul sedari pagi untuk mencari keberadaan Jro Gde Ombo sebagai persembahan. Setelah ditemukan, Jro Gde Ombo diantar melalui sistem nedehang(menggiring).
Krama desa berpencar memberikan jarak dan jalan Jro Gde Ombo menuju Bale Agung. Di Bale Agung sebelumnya sudah disediakan umpan untuk menarik perhatian Jro Gde Ombo.
Jika proses nedehang mengalami kendala, baik itu karena Jro Gde Ombo enggan berpindah dari tempatnya atau faktor lainnya, maka para krama desa muani, mengikatnya (di bagian kepala) lalu dituntun menuju Bale Agung, secara perlahan.
Tanpa dipungkiri Jro Gde Ombo tampak gusar karena tidak pernah diikat, mengingat kesehariaannya hidup secara liar (bebas).
Sebelum Jro Gde Ombo dipersembahkan, Jro Gde Ombo diajak keliling desa dan keliling Pura Raja Purana yang diyakini sebagai stana atau tempat menghormati Ombo Sanghyang.
Dan ketika waktu menunjukkan tepat pukul 12 siang, saat matahari tepat berada di atas kepala, tibalah saat upacara Mati Ombo Sanghyang. Bagian prosesi ini dilaksanakan dengan iringan gambelan selonding,
Jro Gde Ombo ditusuk tepat pada bagian vital (jantung) oleh Teruna (Pemuda) Patemu Kelod mempergunakan keris pusaka. Yang menusuk Jro Gde Ombo wajib dan hanya oleh Teruna Patemu Kelod. Karena Teruna Petemu Kelod dianggap “kelihan” atau sebagai kakak dari Teruna Petemu Tengah dan Teruna Petemu Kaja.
Penempatan teruna berdasarkan patemu (asal) mengikuti garis keturunan ayah, jika sebelumnya ayahnya menjadi teruna patemu kelod, maka secara lahiriah putranya juga akan menjadi teruna patemu kelod, begitu sudah terjadi seperti dahulu, dan teruna yang menusuk Jro Gde Ombo tetap dalam pengawasan serta didampingi oleh krama desa muani lainnya.
Setelah Jro Gde Ombo ebah (jatuh) dengan sendirinya dan mati, krama desa muani bergegas menghampiri untuk memotong bagian demi bagian sebagai sarana persembahan.
Pukul 17.00 WITA prosesi dilanjutkan dengan tarian Abwang Ngis diiringi gambelan Selonding.
Setelah acara Mati Ombo Sanghyang, selama tiga hari berturut-turut diadakan upacara persembahan di Pura Raja Purana dengan tujuan memberikan penghormatan terhadap Ombo Sanghyang karena diyakini janggama (atma pada binatang) Ombo Sanghyang bersemayam di Pura Raja Purana. Sebagai pelaksana upacara ini adalah krama desa luh dan kliang gumi yang dipimpin oleh mangku desa.
Warga berdoa, memohon kepada Ida Sang Hyang Raja Purana hadir ke Bale Agung dan memohon keselamatan dalam upacara Ngusaba Sambah agar berjalan sesuai dengan rangkaiannya tanpa adanya penghalang dengan prosesi ngelodang dewa ke Bale gung.
Yang bertugas mundut Raja Purana adalah seorang Kapih dari Desa Adat Tenganan Pegringsingan diiringi Jro Mangku dan krama desa luh yang mengenakan busana adat moleng, untuk nuur Ida Sang Raja Purana hadir atau nyejer selama tiga hari di Bale Agung.
Sebelum ngelodang dewa ke Bale Agung, krama desa luh telah membuat pengangge untuk Sang Hyang Raja Purana yang dikenal dengan istilah nyikat. [T]