“Disamping terapi, seorang pasien perlu menjadi pasien yang baik agar cepat sembuh.”
Dokter bukanlah dewa, yang tak luput dari kekurangan. Namun berkat keahliannya, sebagian besar pasien sembuh melalui upaya dokter, tentu saja berkat restu Tuhan sang maha pengasih. Satu hal menarik yang jarang diketahui khalayak umum adalah persepsi lain tentang kesembuhan. Selama ini secara harfiah, sembuh umumnya hanya dikaitkan dengan satu keadaan seseorang yang terbebas dari penyakit.
Sesungguhnya secara filosofis, “sembuh” pun dapat dimaknai bila seseorang dapat menerima penyakit yang diidapnya, lalu dengan ikhlas hidup bersamanya. Ini terutama jika kita bicara soal penyakit yang bersifat kronis dan permanen seperti gagal ginjal stadium akhir, Aids, atau penyakit yang meninggalkan kecacatan.
Tentu saja bukan perkara mudah dan sederhana saat kita hendak mengusung keikhlasan. Tak semudah membicarakannya yang terasa ringan dan enteng saja. Namun harus disadari, inilah salah satu syarat paling mendasar menjadi seorang pasien yang baik. Entah kemudian ia akan terbebas dari penyakitnya atau tidak, sesungguhnya ia akan telah sembuh.
Ketika seorang penderita gagal ginjal fase terminal yang dengan penuh semangat dan tekun menjalani terapi cuci darah maka ia telah sembuh. Bahkan seorang penderita kanker yang dengan ikhlas menjalani kemoterapi yang disarankan, ia telah menjadi seorang penyintas. Meski dalam beberapa hari sisa hidupnya.
Lagi-lagi, dalam hal ini, pikiran menjadi sang maha penentu. Mungkin itu bukan hal aneh karena pikiranlah wakil Tuhan dalam setiap mahluk insani. Sebaliknya, tak sedikit orang yang raganya sehat bugar telah diselimuti pikiran penuh rasa takut dan kecemasan. Maka ia selalu terbenam dalam penderitaan sakit yang tak berujung.
Dalam dunia medis, keadaan ini disebut sebagai psikosomatis, keluhan fikis (soma) yang bersumber dari pikiran (psikis). Bukan hal jarang, jenis kasus seperti ini lebih sulit disembuhkan ketimbang penyakit fisik biasa. Sekali lagi, pastilah karena pikiran adalah sang maha penentu itu.
Disamping sikap ikhlas tadi, hal lain yang diperlukan untuk menjadi pasien yang baik adalah rasa rendah hati. Meskipun tidak banyak, ada pasien atau keluarganya yang merasa lebih pintar dari tenaga kesehatan (nakes) yang merawat mereka. Tidak hanya suka mengatur hal-hal teknis medis yang bukan bidangnya, mereka pun tak segan-segan mengadu kepada tokoh-tokoh berpengaruh dengan maksud agar nakes lebih hormat atau mungkin agar takut dengan mereka. Sikap dan tindakan seperti ini jelas merupakan kekeliruan besar.
Bagaimana mungkin bisa dicerna dengan logika jika mereka yang sakit, lemah tak berdaya hendak menakut-nakuti nakes yang justru semestinya mengobati dan melindungi mereka dengan penuh kehangatan? Tak perlu disangsikan lagi, yang timbul justru situasi yang sebaliknya. Nakes secara psikologis akan kehilangan respek dan rasa memiliki yang dalam kepada pasien yang dirawatnya. Maka, saran dan masukan bisa disampaikan dengan baik dan beretika kepada nakes yang memang tentu saja tak luput dari kekurangan.
Satu hal lagi yang kerap memberi dampak kurang baik pada pasien adalah saat mereka terlalu mudah meyakini informasi alternatif soal medis. Informasi ini bisa bersumber dari internet, media sosial, public figur atau kerabat dan teman. Tidak sedikit misalnya, pasien terlambat menjalani terapi cuci darah (hemodialisis) gara-gara meyakini nasihat kerabatnya yang mengatakan, cuci darah dapat menyebabkan ketergantungan bahkan kematian.
Sebetulnya dengan sangat mudah kita bisa pahami, tindakan cuci darah atau tindakan medis lain maupun pengobatan itu disarankan tentu karena berdasarkan riset disimpulkan akan dapat memberi manfaat yang signifikan untuk pasien. Tentu saja kita tidak dapat bicara 100% dalam hal ini. Sebaiknya, pasien dan keluarganya mengikuti saran dokter yang merawat terkait penyakit yang dideritanya.
Kalau toh ada keragu-raguan, maka pasien dapat mencari second opinion ke dokter yang lain. Apakah informasi medis yang berasal dari sumber lain sudah pasti salah? Tidak juga selalu. Cukup banyak informasi tersebut yang valid dan bisa dipercaya. Untuk itu kita harus teliti melihat reputasi media yang membagikan informasi tersebut atau ahli kompeten yang dijadikan rujukan. Saat ada konten informasi yang kontradiktif, maka jangan ragu-ragu untuk bertanya kepada dokter, paling tidak ke dokter keluarga.
Relasi dokter/nakes dan pasien akan memberi value pada kesembuhan pasien jika relasi tersebut terjalin hangat dan penuh empati serta saling percaya. Rasa kurang percaya pasien kepada dokter dapat terjadi karena beberapa hal seperti performance dokter yang dinilai kurang cakap atau efek informasi alternatif yang berlawanan dengan edukasi dokter.
Maka kedua pihak harus menyikapi hal ini dengan baik agar relasi yang efektif tersebut dapat dibangun. Sesungguhnya bukan hal sulit untuk menerapkan hal ini jika keduanya fokus pada peran dan posisi masing-masing. Maka kesembuhan pasien bukan hanya ditentukan oleh peran dokter semata, juga sekali lagi oleh seorang pasien yang baik.[T]
____
BACA KOLOM DOKTER ARYA YANG LAIN