22 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

“Ekologi Rumah Puisi” | Ulasan Puisi Karya IAO Suwati Sideman

Kiki SulistyobyKiki Sulistyo
May 15, 2021
inUlasan
“Ekologi Rumah Puisi” | Ulasan Puisi Karya IAO Suwati Sideman

Foto ilustrasi oleh Jayen Photography

Ekologi mempelajari interaksi antara organisme dengan lingkungannya. Dalam ekologi, makhluk hidup dipelajari sebagai kesatuan-sistem dengan lingkungannya. Apa yang diperhatikan oleh ekologi antara lain perpindahan energi dan materi dari makhluk hidup yang satu ke makhluk hidup yang lain ke dalam lingkungannya serta faktor-faktor yang menyebabkannya. Konsep ekologi bertumpu pada kondisi homeostatis, yaitu kecenderungan sistem biologi untuk menahan perubahan dan selalu berada dalam keseimbangan. Kehadiran manusia sebagai pusat, memunculkan aspek antropologis dalam ekologi, sehingga dari perspektif ini ekologi berbicara tentang bagaimana tubuh dan pikiran kita memengaruhi lingkungan.

Dari perspektif ini saya mencoba membaca dua puisi IAO Suwati Sideman, penyair kelahiran Denpasar, 11 Oktober 1969, dan kini bermukim di Lombok.

Puisi “Rumah Kami” berangkat dari aktivitas antropologis; membangun rumah dan rumah tangga.


Rumah Kami


rumah kami

dibangun dari bata bersusun

tanpa perekat    tanpa penguat

tak punya pagar

cuma beluntas liar


di biliknya

aku melahirkan anak-anak kami

mereka tumbuh

dan besar

oleh umbi

dan daun

lelakiku bukan gunung

                             bukan pula ladang

cuma selembar tanah lumut berlapis


tak ada mata air

                                      di dadanya

cuma setitik noktah di pelipis

tanda hidupnya belum lagi habis


di atap rumah

kami menyemai biji anggur

kemuliaan altar

dan kubur


suatu hari

kami mengundang burung

dan binatang langit

agar kemurahan sekadar menoleh

apa yang membuat burung malam

mengundang matahari menjemput umurnya

Dua baris pertama (rumah kami/dibangun dari bata bersusun) masih menunjukkan tanda yang umum dari aktivitas itu. Tiga baris selanjutnya di bait pertama mulai menunjukkan tanda yang lain (tanpa perekat tanpa penguat/tak punya pagar/cuma beluntas liar). Bagaimana sebuah rumah dibangun dari bata yang cuma disusun tanpa direkatkan dan dikuatkan? Saya melihat bahwa aku-lirik berangkat dari prinsip homeostatis tadi. Ketiadaan ‘pagar’ membuat rumah jadi kehilangan teritori eksklusifnya, sehingga posisinya bisa dipindai sebagai bagian dari suatu wilayah yang lebih luas, bagian dari lingkungan. Rumah tidak mengintervensi lingkungan, tetapi (di)tumbuh(kan) bersama lingkungan.

Jika di bait pertama berlangsung hubungan antara biotik (beluntas liar) dengan abiotik (rumah), maka di bait kedua mulai terjadi hubungan antar-biotik, hubungan antar spesies yang menjadi prasyarat terbentuknya kondisi homeostatis, tempat aku-lirik melahirkan anak-anaknya yang kemudian tumbuh ‘oleh umbi dan daun’. Kata “oleh” di sini menunjukkan, bahwa pertumbuhan anak-anak tidak cuma tergantung atau diprakarsai oleh sang ibu, tetapi juga oleh lingkungan di sekitarnya. Pada titik ini puisi menolak pandangan antroposentris bahwa manusia adalah pusat segalanya dan karenanya lebih besar dari alam. Pikiran ini semakin ditegaskan pada bait berikutnya (lelakiku bukan gunung/bukan pula ladang/cuma selembar tanah lumut berlapis). Pembesaran posisi manusia (gunung/ladang) ditolak, diganti dengan ‘selembar tanah lumut berlapis’, ini suatu permainan zoom out ke zoom in untuk melakukan amplifikasi terhadap anatomi manusia sebagai anatomi alam. Hal ini ditunjukan pada bait berikutnya; tak ada mata air/di dadanya/cuma setitik noktah di pelipis/tanda hidupnya belum lagi habis. Fungsi tulang pelipis yang paling vital adalah untuk melindungi otak manusia. Di dalam otak manusia ada syaraf-syaraf yang menjaga kesadaran. Tubuh boleh habis (tak ada mata air/di dadanya), tetapi kesadaran harus tetap ada meski hanya setitik noktah.

Kesadaran yang terintegrasi dengan alam adalah bagian dari prinsip ekologi, dan karena ia melibatkan manusia maka melibatkan pula dimensi khas manusia, yakni spiritualitas. Di sini, spiritualitas tidak terjebak dalam eksklusifitas religi. Saya melihat pandangan itu beroperasi melalui penggunaan fitur-fitur ‘tanah’ (bahan penciptaan manusia dalam Islam), ‘noktah di pelipis’ (bija dalam ritual Hindu) serta ‘anggur’dan‘altar’ (komponen dalam ibadah Nasrani). Kesadaran spiritual ini ditempatkan sebagai kesadaran tertinggi, yang melaluinya kehidupan bisa bergerak, di mana kematian menjadi bagian darinya. Itu tampak pada bait-bait selanjutnya, (di atap rumah/kami menyemai biji anggur/ kemuliaan altar/dan kubur// suatu hari/ kami mengundang burung/dan binatang langit/agar kemurahan sekadar menoleh). Penggunaan frasa ‘suatu hari’ menunjukkan bahwa kesadaran itu memang telah tiba, dan melalui kesadaran itu, manusia (melalui aku-lirik) tak lagi menjadi sentral, ‘kemurahan (yang) sekadar menoleh’ sudah cukup untuk membangun keseimbangan. Keseimbangan menyebabkan manusia hadir dan turut berada dalam sistem yang membentuk situasi yang seimbang, situasi homeostatis.

Dalam puisi Perjanjian di Gili Air, aku-lirik menuturkan bagaimana dia menerima pinangan, meski juga menyadari risiko dari pinangan itu.


Perjanjian di Gili Air


tentu,

kupenuhi pinanganmu

untuk menjadi ibu dari segala pemburu

kaum karnivora pencemburu

yang memamah batang belulang bahkan bulu


jadilah aku

seperti penyu hijau

                telentang membakarkan bola mata

                               pada tungku matahari

atau penyu belimbing

              mengapung dengan kerak tempurung kapurnya

                             molusca purba

                             yang dibayar harga sebelum peradaban dicatat


aku terlalu tua untuk mengingkari pinanganmu

menikahlah kita dengan upacara peri laut

tiara bintang laut dan kesepakatan tawar air garam

hidroksigen beku dari kulminasi kutub leleh


atau

memang demikianlah pelunasan piutang kelahiran

biarlah dengan segala sisa tanda baca

kusekat batas bilik gerak ruh perempuanku

di sini

             di mana air begitu manis

             seperti ikatan kimiawi mata air

                             dan lumut gambut tanah liat

panggung pengantin kita nanti tak punya nama

108 derajat dari arah matahari terbit

terus saja berjalan

bawa aku,

pengantin airmu


Ada kesan ketidakberdayaan aku-lirik atas nasibnya, seperti tampak dalam bait kedua (aku terlalu tua untuk mengingkari pinanganmu) dan bait ketiga (memang demikianlah pelunasan piutang kelahiran), sehingga kata ‘tentu’ yang menjadi kata pembuka puisi ini, yang konotasinya merujuk pada perasaan yakin, seperti berada di bawah bayang-bayang ketidakberdayaan. Singkatnya, aku-lirik menerima pinangan itu-komplit dengan risiko-risikonya-sebagai bagian dari takdir. Dengan menerima pinangan itu, aku-lirik berpotensi menjadi ibu bagi ‘kaum karnivora pencemburu’ yang rakus (memamah batang belulang bahkan bulu), dengan menerima pinangan itu pula nasib aku-lirik digambarkannya sendiri mirip dengan ‘penyu hijau yang terlentang’ atau penyu belimbing yang ‘dibayar harga sebelum peradaban dicatat’. Situasi yang semakin diamplifikasi lewat kondisi yang bertolak belakang melalui penggambaran pernikahan sebagai ‘kesepakatan tawar air garam’ dan ‘hidrooksigen beku dari kulminasi kutub leleh’. Situasi yang kemudian membuat aku-lirik berupaya menyikapinya dengan men-‘sekat batas bilik ruh perempuan’-nya sebab dalam pernikahan itu sesuatu telah berubah; air begitu manis/seperti ikatan kimiawi mata air/dan lumut gambut tanah liat.

Sebagaimana puisi pertama, puisi kedua ini juga memperlihatkan kesadaran akan posisi dan peran manusia dalam membangun keseimbangan. Bedanya di puisi kedua, manusianya lebih spesifik, yakni perempuan.

Hubungan perempuan dengan alam menjadi pokok dalam ekofeminisme. Bumi dalam pandangan kosmologi timur dipahami berdasarkan prinsip feminin melalui hubungan dialektis, ko-eksisten, dan saling melengkapi antar unsur-unsurnya. Bumi sendiri sering disebut sebagai ‘ibu pertiwi’, suatu simbol dari kemuliaan rahim, di mana kelahiran bersumber darinya dan kematian berarti kembali kepadanya. Dalam Perjanjian di Gili Air, pandangan ekofeminisme itu menguat karena puisi ini memancarkan pula ketaksaan (ambiguitas) lewat sikap aku-lirik yang bergerak antara menerima dan terpaksa menerima. Melalui kehadiran ritual pernikahan, determinasi budaya menunjukkan sistem kekuasaan yang membuat posisi perempuan berada dalam sub-ordinat. Aku-lirik menolak sistem budaya itu dengan mengatakan ‘panggung pengantin kita tak punya nama’. Pernikahan dikembalikan sebagai bagian dari kosmologi yang ‘terus saja berjalan’ tanpa embel-embel, sebagaimana air yang terus mengalir, membuat siklusnya sendiri.

Secara umum kedua puisi IAO Suwati Sideman berangkat dari pemikiran ekologis, dengan membuat interior dari jaring-jaring quasi-ilmiah yang melibatkan pelbagai unsur, seperti zoologi, kimia, mitologi, teologi, kosmologi, dan antropologi. Pada jaring-jaring ini, kerentanan puisi bisa terlihat, sebab meskipun sekadar quasi (seolah-olah), data primer yang dipakai mesti sesuai dengan referensi ilmiahnya, hal yang menunjukkan seorang penyair harus menguasai benar materi puisinya. Dalam hal ini, dua puisi IAO Suwati Sideman bisa diperiksa kembali.

Tags: PuisiUlasan Puisi
Previous Post

Puisi-puisi I Made Kridalaksana | Air Mata Borneo Tepi Selatan

Next Post

“Trashveling By Artists” | Berjalan Bersama, Mengolah Sampah, Mencipta Keindahan

Kiki Sulistyo

Kiki Sulistyo

Lahir di Kota Ampenan, Lombok. Buku puisi terbarunya berjudul Dinding Diwani (Diva Press, 2020). Ia mengelola Komunitas Akarpohon, Mataram, Nusa Tenggara Barat.

Next Post
“Trashveling By Artists” | Berjalan Bersama, Mengolah Sampah, Mencipta Keindahan

“Trashveling By Artists” | Berjalan Bersama, Mengolah Sampah, Mencipta Keindahan

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

    Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Galungan di Desa Tembok: Ketika Taksi Parkir di Rumah-rumah Warga

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

HP Android dan Antisipasi Malapetaka Moral di Suku Baduy

by Asep Kurnia
May 21, 2025
0
Tugas Etnis Baduy: “Ngasuh Ratu Ngayak Menak”

DALAM beberapa tulisan yang pernah saya publikasikan, kurang lebih sepuluh tahun lalu saya sudah memperkirakan bahwa seketat dan setegas apa...

Read more

Mari Kita Jaga Nusantara Tenteram Kerta Raharja

by Ahmad Sihabudin
May 20, 2025
0
Syair Pilu Berbalut Nada, Dari Ernest Hemingway Hingga Bob Dylan

Lestari alamku, lestari desaku, Di mana Tuhanku menitipkan aku. Nyanyi bocah-bocah di kala purnama. Nyanyikan pujaan untuk nusa, Damai saudaraku,...

Read more

PACALANG: Antara Jenis Pajak, Kewaspadaan, dan Pertaruhan Jiwa

by Putu Eka Guna Yasa
May 20, 2025
0
PACALANG: Antara Jenis Pajak, Kewaspadaan, dan Pertaruhan Jiwa

MERESPON meluasnya cabang ormas nasional yang lekat dengan citra premanisme di Bali, ribuan pacalang (sering ditulis pecalang) berkumpul di kawasan...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

May 21, 2025
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

May 16, 2025
Anniversary Puri Gangga Resort ke-11, Pertahankan Konsep Tri Hita Karana

Anniversary Puri Gangga Resort ke-11, Pertahankan Konsep Tri Hita Karana

May 13, 2025
“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

May 8, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Menyalakan Kembali Api “Young Artist Style”: Pameran Murid-murid Arie Smit di Neka Art Museum
Pameran

Menyalakan Kembali Api “Young Artist Style”: Pameran Murid-murid Arie Smit di Neka Art Museum

DALAM rangka memperingati 109 tahun hari kelahiran almarhum perupa Arie Smit, digelar pameran murid-muridnya yang tergabung dalam penggayaan Young Artist....

by Nyoman Budarsana
May 21, 2025
I Made Adnyana, Dagang Godoh Itu Kini Bergelar Doktor
Persona

I Made Adnyana, Dagang Godoh Itu Kini Bergelar Doktor

“Nu medagang godoh?” KETIKA awal-awal pindah ke Denpasar, setiap pulang kampung, pertanyaan bernada mengejek itu kerap dilontarkan orang-orang kepada I...

by Dede Putra Wiguna
May 21, 2025
Ubud Food Festival 2025 Merayakan Potensi Lokal: Made Masak dan Bili Wirawan Siapkan Kejutan
Panggung

Ubud Food Festival 2025 Merayakan Potensi Lokal: Made Masak dan Bili Wirawan Siapkan Kejutan

CHEF lokal Bali Made Masak dan ahli koktail Indonesia Bili Wirawan akan membuat kejutan di ajang Ubud Food Festival 2025....

by Nyoman Budarsana
May 20, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [16]: Genderuwo di Pohon Besar Kampus

May 22, 2025
Puisi-puisi Sonhaji Abdullah | Adiós

Puisi-puisi Sonhaji Abdullah | Adiós

May 17, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [15]: Memeluk Mayat di Kamar Jenazah

May 15, 2025
Puisi-puisi Hidayatul Ulum | Selasar Sebelum Selasa

Puisi-puisi Hidayatul Ulum | Selasar Sebelum Selasa

May 11, 2025
Ambulan dan Obor Api | Cerpen Sonhaji Abdullah

Ambulan dan Obor Api | Cerpen Sonhaji Abdullah

May 11, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co