Ekologi mempelajari interaksi antara organisme dengan lingkungannya. Dalam ekologi, makhluk hidup dipelajari sebagai kesatuan-sistem dengan lingkungannya. Apa yang diperhatikan oleh ekologi antara lain perpindahan energi dan materi dari makhluk hidup yang satu ke makhluk hidup yang lain ke dalam lingkungannya serta faktor-faktor yang menyebabkannya. Konsep ekologi bertumpu pada kondisi homeostatis, yaitu kecenderungan sistem biologi untuk menahan perubahan dan selalu berada dalam keseimbangan. Kehadiran manusia sebagai pusat, memunculkan aspek antropologis dalam ekologi, sehingga dari perspektif ini ekologi berbicara tentang bagaimana tubuh dan pikiran kita memengaruhi lingkungan.
Dari perspektif ini saya mencoba membaca dua puisi IAO Suwati Sideman, penyair kelahiran Denpasar, 11 Oktober 1969, dan kini bermukim di Lombok.
Puisi “Rumah Kami” berangkat dari aktivitas antropologis; membangun rumah dan rumah tangga.
Rumah Kami
rumah kami
dibangun dari bata bersusun
tanpa perekat tanpa penguat
tak punya pagar
cuma beluntas liar
di biliknya
aku melahirkan anak-anak kami
mereka tumbuh
dan besar
oleh umbi
dan daun
lelakiku bukan gunung
bukan pula ladang
cuma selembar tanah lumut berlapis
tak ada mata air
di dadanya
cuma setitik noktah di pelipis
tanda hidupnya belum lagi habis
di atap rumah
kami menyemai biji anggur
kemuliaan altar
dan kubur
suatu hari
kami mengundang burung
dan binatang langit
agar kemurahan sekadar menoleh
apa yang membuat burung malam
mengundang matahari menjemput umurnya
Dua baris pertama (rumah kami/dibangun dari bata bersusun) masih menunjukkan tanda yang umum dari aktivitas itu. Tiga baris selanjutnya di bait pertama mulai menunjukkan tanda yang lain (tanpa perekat tanpa penguat/tak punya pagar/cuma beluntas liar). Bagaimana sebuah rumah dibangun dari bata yang cuma disusun tanpa direkatkan dan dikuatkan? Saya melihat bahwa aku-lirik berangkat dari prinsip homeostatis tadi. Ketiadaan ‘pagar’ membuat rumah jadi kehilangan teritori eksklusifnya, sehingga posisinya bisa dipindai sebagai bagian dari suatu wilayah yang lebih luas, bagian dari lingkungan. Rumah tidak mengintervensi lingkungan, tetapi (di)tumbuh(kan) bersama lingkungan.
Jika di bait pertama berlangsung hubungan antara biotik (beluntas liar) dengan abiotik (rumah), maka di bait kedua mulai terjadi hubungan antar-biotik, hubungan antar spesies yang menjadi prasyarat terbentuknya kondisi homeostatis, tempat aku-lirik melahirkan anak-anaknya yang kemudian tumbuh ‘oleh umbi dan daun’. Kata “oleh” di sini menunjukkan, bahwa pertumbuhan anak-anak tidak cuma tergantung atau diprakarsai oleh sang ibu, tetapi juga oleh lingkungan di sekitarnya. Pada titik ini puisi menolak pandangan antroposentris bahwa manusia adalah pusat segalanya dan karenanya lebih besar dari alam. Pikiran ini semakin ditegaskan pada bait berikutnya (lelakiku bukan gunung/bukan pula ladang/cuma selembar tanah lumut berlapis). Pembesaran posisi manusia (gunung/ladang) ditolak, diganti dengan ‘selembar tanah lumut berlapis’, ini suatu permainan zoom out ke zoom in untuk melakukan amplifikasi terhadap anatomi manusia sebagai anatomi alam. Hal ini ditunjukan pada bait berikutnya; tak ada mata air/di dadanya/cuma setitik noktah di pelipis/tanda hidupnya belum lagi habis. Fungsi tulang pelipis yang paling vital adalah untuk melindungi otak manusia. Di dalam otak manusia ada syaraf-syaraf yang menjaga kesadaran. Tubuh boleh habis (tak ada mata air/di dadanya), tetapi kesadaran harus tetap ada meski hanya setitik noktah.
Kesadaran yang terintegrasi dengan alam adalah bagian dari prinsip ekologi, dan karena ia melibatkan manusia maka melibatkan pula dimensi khas manusia, yakni spiritualitas. Di sini, spiritualitas tidak terjebak dalam eksklusifitas religi. Saya melihat pandangan itu beroperasi melalui penggunaan fitur-fitur ‘tanah’ (bahan penciptaan manusia dalam Islam), ‘noktah di pelipis’ (bija dalam ritual Hindu) serta ‘anggur’dan‘altar’ (komponen dalam ibadah Nasrani). Kesadaran spiritual ini ditempatkan sebagai kesadaran tertinggi, yang melaluinya kehidupan bisa bergerak, di mana kematian menjadi bagian darinya. Itu tampak pada bait-bait selanjutnya, (di atap rumah/kami menyemai biji anggur/ kemuliaan altar/dan kubur// suatu hari/ kami mengundang burung/dan binatang langit/agar kemurahan sekadar menoleh). Penggunaan frasa ‘suatu hari’ menunjukkan bahwa kesadaran itu memang telah tiba, dan melalui kesadaran itu, manusia (melalui aku-lirik) tak lagi menjadi sentral, ‘kemurahan (yang) sekadar menoleh’ sudah cukup untuk membangun keseimbangan. Keseimbangan menyebabkan manusia hadir dan turut berada dalam sistem yang membentuk situasi yang seimbang, situasi homeostatis.
Dalam puisi Perjanjian di Gili Air, aku-lirik menuturkan bagaimana dia menerima pinangan, meski juga menyadari risiko dari pinangan itu.
Perjanjian di Gili Air
tentu,
kupenuhi pinanganmu
untuk menjadi ibu dari segala pemburu
kaum karnivora pencemburu
yang memamah batang belulang bahkan bulu
jadilah aku
seperti penyu hijau
telentang membakarkan bola mata
pada tungku matahari
atau penyu belimbing
mengapung dengan kerak tempurung kapurnya
molusca purba
yang dibayar harga sebelum peradaban dicatat
aku terlalu tua untuk mengingkari pinanganmu
menikahlah kita dengan upacara peri laut
tiara bintang laut dan kesepakatan tawar air garam
hidroksigen beku dari kulminasi kutub leleh
atau
memang demikianlah pelunasan piutang kelahiran
biarlah dengan segala sisa tanda baca
kusekat batas bilik gerak ruh perempuanku
di sini
di mana air begitu manis
seperti ikatan kimiawi mata air
dan lumut gambut tanah liat
panggung pengantin kita nanti tak punya nama
108 derajat dari arah matahari terbit
terus saja berjalan
bawa aku,
pengantin airmu
Ada kesan ketidakberdayaan aku-lirik atas nasibnya, seperti tampak dalam bait kedua (aku terlalu tua untuk mengingkari pinanganmu) dan bait ketiga (memang demikianlah pelunasan piutang kelahiran), sehingga kata ‘tentu’ yang menjadi kata pembuka puisi ini, yang konotasinya merujuk pada perasaan yakin, seperti berada di bawah bayang-bayang ketidakberdayaan. Singkatnya, aku-lirik menerima pinangan itu-komplit dengan risiko-risikonya-sebagai bagian dari takdir. Dengan menerima pinangan itu, aku-lirik berpotensi menjadi ibu bagi ‘kaum karnivora pencemburu’ yang rakus (memamah batang belulang bahkan bulu), dengan menerima pinangan itu pula nasib aku-lirik digambarkannya sendiri mirip dengan ‘penyu hijau yang terlentang’ atau penyu belimbing yang ‘dibayar harga sebelum peradaban dicatat’. Situasi yang semakin diamplifikasi lewat kondisi yang bertolak belakang melalui penggambaran pernikahan sebagai ‘kesepakatan tawar air garam’ dan ‘hidrooksigen beku dari kulminasi kutub leleh’. Situasi yang kemudian membuat aku-lirik berupaya menyikapinya dengan men-‘sekat batas bilik ruh perempuan’-nya sebab dalam pernikahan itu sesuatu telah berubah; air begitu manis/seperti ikatan kimiawi mata air/dan lumut gambut tanah liat.
Sebagaimana puisi pertama, puisi kedua ini juga memperlihatkan kesadaran akan posisi dan peran manusia dalam membangun keseimbangan. Bedanya di puisi kedua, manusianya lebih spesifik, yakni perempuan.
Hubungan perempuan dengan alam menjadi pokok dalam ekofeminisme. Bumi dalam pandangan kosmologi timur dipahami berdasarkan prinsip feminin melalui hubungan dialektis, ko-eksisten, dan saling melengkapi antar unsur-unsurnya. Bumi sendiri sering disebut sebagai ‘ibu pertiwi’, suatu simbol dari kemuliaan rahim, di mana kelahiran bersumber darinya dan kematian berarti kembali kepadanya. Dalam Perjanjian di Gili Air, pandangan ekofeminisme itu menguat karena puisi ini memancarkan pula ketaksaan (ambiguitas) lewat sikap aku-lirik yang bergerak antara menerima dan terpaksa menerima. Melalui kehadiran ritual pernikahan, determinasi budaya menunjukkan sistem kekuasaan yang membuat posisi perempuan berada dalam sub-ordinat. Aku-lirik menolak sistem budaya itu dengan mengatakan ‘panggung pengantin kita tak punya nama’. Pernikahan dikembalikan sebagai bagian dari kosmologi yang ‘terus saja berjalan’ tanpa embel-embel, sebagaimana air yang terus mengalir, membuat siklusnya sendiri.
Secara umum kedua puisi IAO Suwati Sideman berangkat dari pemikiran ekologis, dengan membuat interior dari jaring-jaring quasi-ilmiah yang melibatkan pelbagai unsur, seperti zoologi, kimia, mitologi, teologi, kosmologi, dan antropologi. Pada jaring-jaring ini, kerentanan puisi bisa terlihat, sebab meskipun sekadar quasi (seolah-olah), data primer yang dipakai mesti sesuai dengan referensi ilmiahnya, hal yang menunjukkan seorang penyair harus menguasai benar materi puisinya. Dalam hal ini, dua puisi IAO Suwati Sideman bisa diperiksa kembali.