Joko Pinurbo lebih dikenal sebagai seorang penyair daripada seorang penulis prosa. Sebagian besar karyanya di bidang sastra lebih dominan menghasilkan karya berupa puisi. Beberapa buku Joko Pinurbo yang sudah terbit, seperti: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi (2016), Malam Ini Aku Akan Tidur di Matamu (2016), Buku Latihan Tidur (2017), dll. Cerpen “Ayat Kopi” ini saya temukan dalam web lakonhidup.com. Cerpen tersebut dimuat dalam Kompas pada tahun 2018.
Karya-karya Joko Pinurbo lebih sering mengandung unsur komedi. Beliau sendiri memilih genre komedi agar jiwanya sebagai penulis tertolong. Beliau tidak ingin gila karena harus memikirkan ide-ide untuk menulis, maka dalam tulisan beliau ia memilih genre komedi sebagai sarana menghibur dirinya sendiri. Joko Pinurbo ini sudah benar-benar mempertaruhkan hidupnya untuk sastra. Dulu semasa awal ia memulai karier sebagai penulis, beliau pernah membakar karya-karyanya. Hal tersebut yang membuat dirinya kini bisa menemukan genre yang sesuai dengan dirinya dan membawa namanya dikenal masyarakat luas, yaitu genre komedi.
Joko Pinurbo berani keluar dari zona nyaman dengan berani menerbitkan sebuah novel yang berjudul “Sri Menanti” (2019). Novel tersebut merupakan novel pertama karya Joko Pinurbo. Tapi, jika menulis cerita pendek Joko Pinurbo ini memang sering, terbukti beberapa cerpennya yang dimuat di Kompas pada tahun 2013, 2014, dan 2015. Beberapa prosa karya Joko Pinurbo tak jauh-jauh dari genre komedi, dalam novel dan cerita pendek karangannya lebih sering mengusung genre komedi. Mungkin, Joko Pinurbo memang seorang sastrawan yang terlahir untuk menghibur masyarakat dengan karyanya yang bergenre komedi.
Saya sangat tertarik saat menemukan cerpen “Ayat Kopi”, terhitung sudah kurang lebih 5 kali saya mengulangi membaca cerpen tersebut. Saya ingin mendalami cerpen tersebut hingga mengetahui seluruh isi yang dimaksud oleh Joko Pinurbo. Jiwa saya merasa terhibur ketika membaca cerpen tersebut. Ada beberapa peristiwa yang membuat saya sungguh tercengang ketika membaca cerita tersebut pertama kali, tapi setelah selesai membaca cerita tersebut yang kedua kali hingga sekarang sudah lima kali, saya menemukan banyak hal dalam cerita tersebut.
Kopi sendiri selalu dikaitkan dengan hubungan dengan seorang penulis. Kopi digadang-gadang sebagai sebuah wacana untuk memunculkan ide untuk seorang penulis. Pemilihan judul “Ayat Kopi” ini memang sungguh luar biasa, “Ayat” identik dengan ayat-ayat suci Al-Qur’an, sedangkan “Kopi” sebuah minuman yang identik dengan keliaran yang sering membawa seseorang ngelantur jam tidurnya. Cerpen ini diawali dengan premis yang sudah sangat menarik dan membuat pembaca penasaran untuk duduk lebih lama membaca cerpen tersebut.
“Marbangun bercerita, saat ini dia sedang menata hidupnya. Sudah bertahun-tahun dia mencari peruntungan di dunia politik, tetapi belum juga membuahkan hasil. Dia pernah dua kali nekat ikut mencalonkan diri sebagai anggota badan legislatif di kotanya dan keduanya gagal.” – (Paragraf kedua dalam cerpen “Ayat Kopi”)
Di kepala saya yang pertama kali membaca paragraf tersebut adalah, wah, ini mau bicara tentang politik pasti. Tapi, jangan salah sangka, bagi kebanyakan orang politik adalah sebuah tema yang membosankan. Namun, Joko Pinurbo mampu membungkus tema politik di sini dengan gaya andalannya, komedi. Menurut saya, Joko Pinurbo berhasil membawa tema politik di dalam cerpen tersebut.
“Semoga sampean tidak terjerumus ke dalam kancah politik. Politik itu keras, penuh muslihat. Orang lugu seperti sampean akan celaka,” kata Marbangun.
Saya sebenarnya dibuat aneh dengan kalimat seorang Marbangun di atas, ‘Kenapa mengingatkan orang lain, tapi tidak bisa mengingatkan diri sendiri?’ sungguh hal yang sangat lazim dilakukan oleh orang-orang hal semacam itu. Orang-orang bisa memberikan nasehat kepada orang lain, tapi tak bisa menasehati dirinya sendiri. Joko Pinurbo mampu memainkan dialog antartokoh yang sangat nyentrik.
Narasi yang disampaikan oleh Joko Pinurbo juga sangat istimewa jika menurut saya, mudah dipahami, menarik, beda dari yang lain. Dalam cerpen tersebut, Joko Pinurbo juga menampilkan puisinya dalam narasi. “Mereka jadi hafal baris puisi saya: Kurang atau lebih, setiap rezeki perlu dirayakan dengan secangkir kopi.” Menurut saya, puisi Joko Pinurbo tersebutlah yang dianggap sebagai “Ayat Kopi”.
Pada narasi saat beberapa pemuda mendatangi perayaan rezeki yang diadakan Paman Yusi juga sungguh luar biasa. Tokoh “Aku” dalam cerpen tersebut dianggap sebagai seorang yang mengajarkan sesat. Karena “Ayat Kopi” yang ia buat, kini beberapa kehidupan orang-orang menjadi terpengaruh oleh kopi. “Pokoknya, gara-gara ayat yang Anda sebarkan ini, anak-anak di sini jadi rusak kerohaniannya,” ucap pemimpin rombongan pemuda yang mendatangi perayaan Paman Yusi. Dengan tenang, tokoh “Aku” dalam cerpen tersebut menjawab, “Puisi itu menghaluskan jiwa, Kak, bukan merusak.” Menurut saya, tokoh “Aku” dalam cerpen Joko Pinurbo ini adalah dirinya sendiri. Terlihat dari tutur kata, psikologi, dan cara menyampaikan maksud.
Bagian ini yang membuat saya sangat suka mengulangi membaca cerpen “Ayat Kopi”, bagian saat munculnya Eltece. Eltece adalah seorang hantu laki-laki yang tidak memakai celana, kelaminnya berdarah, dan selalu merintih “Sakit, Jenderal! Sakit, Jenderal!”. Dibuka dengan obrolan tokoh “Aku” dengan seorang pemilik warung bernama Bu Trinil yang mengatakan bahwa beberapa hari yang lalu Eltece muncul di gardu ronda.
Joko Pinurbo juga menggunakan sebuah surealis dalam cerpen ini, terlihat dalam, “Saat mau ditangkap, hantu itu lari ke gang, dikejar, dikepung, tapi lolos.” Hantu kok lari? Hantu kok dikejar? Tidak habis pikir memang. Joko Pinurbo mampu membuat sebuah alur komedi dengan permainan tokoh-tokohnya dalam cerita ini.
Eltece ini menjadi sosok tokoh yang sangat meresahkan bagi tokoh-tokoh yang ada di dalam cerpen “Ayat Kopi”, tapi tidak meresahkan bagi tokoh “Aku”. Ada sebuah dialog yang membawa saya teringat peristiwa mencekam pada masa Orde Baru, ini, “Piye kabare? Ngeri zamanku to? Eltece kemudian mencubit-cubit pipinya sambil berseru beri aku kopi! Beri aku kopi!” Saya tercengang, ketika sudah ada “Ngeri zaman to?” karena kalimat tanya tersebut sangat identik dengan Pak Harto. Kalimat tersebut seringkali ditemukan di badan-badan truk.
Pada sebuah narasi Joko Pinurbo juga menceritakan bahwa ayah tokoh “Aku” juga menjadi korban kekejaman Orde Baru. Ayah tokoh “Aku” ditangkap oleh beberapa orang tak dikenal dan dibawa ke suatu tempat. Hal ini hampir sama dengan “Ronggeng Dukuh Paruk” karya Ahmad Tohari, beberapa orang yang tidak tahu apa-apa mendadak dijemput paksa oleh orang-orang tak dikenal tersebut. Yang dimaksud orang-orang tak dikenal tersebut adalah tentara.
Marbangun sangat ketakutan sekali karena selalu dikejar-kejar oleh Eltece. Padahal, Eltece hanya ingin mengembalikan dompet Marbangun yang jatuh. Wah, saya sungguh tak menyangka plot twist yang dibuat Joko Pinurbo dalam cerpen ini sungguh luar biasa. ‘Eltece, kamu mau kejar koruptor di Indonesia ngga?’ [T]
Yogyakarta, 7 Mei 2021.