Ketertarikan dan Perkenalan
Ketertarikan saya kepada sosok Sri Mpu berawal ketika salah seorang sahabat menyodorkan buku yang berjudul Selonding, Tinjauan Gambelan Bali Kuna abad X-XIV. Saat itu saya telah berhenti dari Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra, Universitas Udayana dan memulai kuliah di IHDN Denpasar. Kawan saya juga menyebut jika penulisnya telah malinggih (ditasbihkan sebagai pendeta). Buku itu lumayan tebal, setelah saya cermati lembar demi lembar ternyata tata penulisannya menggunakan sistematika ilmiah kadar tinggi. Sebagaimana yang lazim saya temukan pada penelitian-penelitian ilmiah. Pantaslah awalnya saya menduga jika sang penulis merupakan mantan akademisi (dosen, peneliti) yang memilih mengambil jalan kependetaan. Seperti yang mulai menjadi trend pada masa itu. Selepasnya, beberapa tokoh sempat saya tanyai tentang sosok Sri Mpu. Terutama ketika kebetulan berkunjung ke ruang Jurusan Arkeologi. Hampir semua yang saya tanyai mengaku pernah mendengar nama Sri Mpu, namun tidak mengetahui dengan persis latar belakang akademik Beliau. Kegamangan ini kemudian memantik ketertarikan yang semakin besar dalam diri saya.
Saya pertamakali nangkil ke gria sekitar tahun 2013 bersama rombongan yang dipimpin Guru Gede Wiratmaja Karang. Sebelumnya saya mendengar dari banyak sumber bahwa Sri Mpu adalah sosok peneliti jejak-jejak peradaban masa lampau yang tekun. Hal ini pulalah yang membuat saya menunggu-nunggu jadual untuk diajak nangkil. Sebab sebelumnya Guru Karang telah berjanji kepada saya. Jika saya memaksakan nangkil sendiri tentu tidak terlalu bagus karena saya belum mengenal sosok Sri Mpu. Akhirnya saat yang saya tunggu-tunggu tiba, pertamakali saya menginjakkan kaki di Gria Taman Saraswati, Tunggak, matahari jelang terbenam. Betapa pemandangan awan memerah sepanjang perjalanan menjadi hiburan tersendiri bagi saya. Saat itu turut serta pula Bli Gede Disi (sekarang Perbekel Desa Siakin, Kintamani) dan Bli Gede Agus Darma Putra (penulis dan akademisi). Ketika telah sampai di depan gria dengan perasaan was-was saya pelan-pelan melangkah-mencermati suasana gria yang perlahan menggelap, lampu-lampu penerang mulai dinyalakan. Saya demikian takut melewatkan banyak hal berharga dalam kunjungan pertama itu. Samar-samar saya lihat guratan-guratan huruf Bali terpahat pada sejumlah tempat: batu, pintu masuk, dan sebagainya. Barangkali menjadi penanda atas terjadinya suatu peristiwa penting. Saya semakin yakin bahwa sang empunya gria betul-betul sosok nyastra.
Manakala telah masuk ke halaman gria saya dan rombongan disambut oleh lelaki berwajah teduh yang tengah duduk bersama seorang wanita yang juga telah sepuh. Dari busana dan dandanan rambut wanita yang duduk di sebelah Beliau saya bisa memastikan jika wanita itu adalah Sang Patni.Berdasarkan dandanan rambut sang pendeta pula saya menduga-duga jika Sri Mpu mengambil jalan Kabodhan. Hal ini terlihat dari dandanan rambut angoré, cepak aking (terurai, tidak disanggul). Ketika telah dipersilahkan duduk mata saya tetiba tertaut pada sebuah foto yang terpajang di atas tempat kami duduk yang memperlihatkan Sri Mpu ketika tengah menggurat daun lontar. Dalam foto itu Sri Mpu masih tampak lebih muda. Saat itu pulalah saya mengenal wajah Sri Mpu untuk pertamakalinya karena sebelumnya hanya membaca hasil-hasil karya Beliau yang tidak satupun menampilkan foto Beliau secara jelas. Setelah sekian lama mengobrol, Sri Mpu menanyakan kepada Guru Gede Karang tentang saya dan darimana saya berasal. Dari semua yang nangkil saat itu hanya saya yang masih asing, sedangkan yang lainnya telah sering menghadap Beliau. Guru Gede Karang menjelaskan kepada Sri Mpu jika saya pernah kuliah di Jurusan Arkeologi.
Mendengar tuturan Guru Gede Karang, seketika itu juga wajah Beliau tampak berseri dan mencecar saya dengan berbagai pertanyaan seputar arkeologi. Saya hanya bisa menjawab dengan sangat terbatas, kemudian secara jujur mengakui bila tak sempat tamat di jurusan itu. Ketika mendengar keterangan tentang semester saat saya keluar dari jurusan Arkeologi Sri Mpu mengangguk dan berkata, “Nggih semester kalih janten durung banget uning” (Ya semester dua wajar jika belum terlalu tahu). Dari hal-hal yang ditanyakan kepada saya kemudian berkembang menjadi kuliah lengkap tentang Ikonografi Budha. Saya terkenang kembali saat-saat Bapak Dr. I Wayan Redig tengah menjelaskan di depan kelas beberapa tahun silam. Rupanya saya masih demikian tertarik dengan topik-topik itu. Bahkan Sri Mpu membabarkan perihal paham Budha di Bali. Seingat saya Beliau menyatakan jika berdasarkan tinggalan-tinggalan epigrafis dan artefaktual ada kemungkinan jika Budha lebih dahulu masuk ke Bali daripada paham Siwa. Ini sungguh pengetahuan baru bagi saya karena penyimpulan yang gamblang semacam itu belum pernah saya dapatkan di kampus.
Egalitarian Ilmu Pengetahuan, Totalitas pada Ilmu Pengetahuan, Pengorbanan, dan Kehati-Hatian
Salah satu pesan yang membuat saya selalu merasa nyaman menghadap Sri Mpu adalah, “Yén sampun iriki genahang dumun sorohé” (kalau sudah disini letakan dulu segala atrubut klen). Pertamakali saya mendengar pesan itu, saya demikian yakin bila Sri Mpu memahami sifat ilmu pengetahuan yang tidak membeda-bedakan (egaliter) dan siapapun berhak mempelajarinya. Mendengar pesan yang demikian pula para panangkilan tidak perlu khawatir lagi akan ada pengetahuan-pengetahuan yang sengaja tidak disampaikan karena perbedaan asal-usul keturunan. Asalkan sang murid telah siap menerimanya pastilah diturunkan oleh Sri Mpu. Tentunya seorang guru juga punya hak penuh untuk menyeleksi kadar pengetahuan murid-muridnya. Hasil seleksi itu kemudian dijadikan acuan untuk memberikan pelajaran yang tepat. Seperti suatu ketika Sri Mpu sempat bercerita kedatangan seorang panangkilan yang membawa buku Stuti dan Stava dan tiba-tiba minta ditasbihkan sebagai pendeta. Tentu saja Sri Mpu menolak dengan halus permintaan panangkilan itu, kendatipun telah mempelajari Stuti dan Stava. Meskipun menolak Sri Mpu juga menyemangatinya agar berproses terlebih dahulu sehingga kelak layak didudukkan sebagai pendeta. Keyakinan Sri Mpu akan keegaliteran ilmu pengetahuan terutama tampak pada sisya-sisya Beliau yang berasal dari lintas golongan (klan).
Sebenarnya semenjak awal kunjungan ke gria di dalam kepala saya telah tergambar metaduga bahwa pilihan Beliau pada jalan Kabodhan didasari oleh alur yang matang dan pasti. Kata kunci yang saya temukan terdapat pada salonding. Dalam teks Usana Bali pernah saya baca tentang keberadaan seorang raja mulia bernama Dalem Wira Kesari (Warmadewa) yang beristana di lereng Gunung Tohlangkir. Menurut keterangan yang diperoleh dari Prasasti Blanjong sang raja telah berkuasa pada tahun 835 Saka. Sementara dari prasasti-prasasti lainnya para ahli menduga sang raja berkuasa antara 882-914 M. Menariknya sang raja memiliki tempat pemujaan bernama Merajan Salonding. Nama tempat pemujaan tersebut tentu berasal dari alat musik kuno yang dipergunakan dalam ritual-ritual keagamaan. Selain itu, yang terpenting sang raja menganut paham Budha. Disamping pernyataan Lontar Usana Bali yang menjuluki sang raja sebagai Sanghyang Jina angawatara (penjelmaan Budha), petunjuk lainnya terlacak dari penggunaan huruf Pranegari pada prasasti yang dikeluarkan pada masa pemerintahannya. Para ahli menduga jika huruf Pranegari lazimnya digunakan oleh para penguanut aliran Budha.
Terbayang-bayang dalam pikiran saya jika Sri Mpu telah merencanakan demikian matang untuk mengambil jalan Kabodhan. Termasuk menyusun konsistensi dengan kegemaran masa muda Beliau. Barangkali sebagian orang hanya melihatnya secara parsial namun ketika dilakukan kajian interteks akan tergambar betapa luas wawasan Sri Mpu dalam bidang teks maupun artefak. Tentu saja keluasan wawasan tersebut melalui proses pematangan yang sangat panjang. Dalam imajinasi saya terbayang Sri Mpu telah berupaya menghubungkan unsur-unsur Budhisme tua di Tanah Bali (kira-kira telah eksis tahun 800an Saka) dengan kondisi mazhab itu di masa kini. Pada suatu kesempatan dengan perasaan yang masih sungkan, saya sampaikan hal tersebut kepada Sri Mpu dan Beliau menanggapinya dengan senyum meranum. Setelahnya Beliau menuturkan bila daya Tarik ilmu pengetahuan telah membuat dirinya melakukan hal-hal yang sulit dibayangkan. Seolah melupakan hal lain dan hanya memburu tanda-tanda yang ditemunya dalam setiap perjalanan. Sri Mpu menceritakan bila Beliau pernah mendengar pernyataan metafisika bahwa segala sesuatu yang selalu dipikirkan maka suatu saat akan ditemukan. Pernyataan tersebut menurut Sri Mpu sesungguhnya tidak hanya mengandalkan kekuatan pikiran namun juga usaha. Sesuatu yang selalu dipikirkan (diinginkan) pastilah kemudian dengan sekuat tenaga diusahakan untuk diraih. Sebagaimana Sri Mpu berhasil melakukan restorasi terhadap gamelan salonding yang hampir punah itu. Bagi sebagian orang usaha tersebut barangkali mustahil dilakukan mengingat tingkat kesulitannya yang sangat tinggi. Ternyata Sri Mpu telah membuktikannya. Setiap kali saya mendengarkan lantunan salonding yang semakin memasyarakat di Bali maka pikiran saya segera terbayang jerih payah Sri Mpu.
Ketertarikan Sri Mpu tidak melulu pada soal salonding namun juga unsur-unsur budaya arkaik lainnya. Beliau pernah menuturkan ketika masih demikian serius menyusuri sungai-sungai tua yang ada di wilayah Pegunungan Kintamani. Pernah pula beberapa kali menyeberangi Danau Batur bahkan dengan menyewa perahu tanpa pengemudi. Beliau mengayuhnya berdua bersama salah seorang sahabatnya dan tanpa alat pengaman yang memadai. Menjadi jelaslah pengabdian dan pengorbanan Sri Mpu kepada Dewi Saraswati. Dalam pandangan Sri Mpu, Dewi Saraswati juga memberikan perlindungan bagi orang-orang yang mengejar ilmu pengetahuan. Kelak setelah Beliau madiksa nama ista dewata inilah yang dijadikan sebagai nama gria. Pastinya nama tersebut mewakili bara semangat dalam mengejar ilmu pengetahuan, menjadikan gria sebagai ‘tungku lebur’ dari proses itu. Pengorbanan dan kerja keras yang selalu didengungkan oleh Sri Mpu terkandung dalam pernyataan, “Mangda polih ulam ageng. Baréné naler musti ageng”(biar dapat ikan besar maka umpannya juga mesti besar). Pesan ini secara berulang diucapkan Sri Mpu kepada sisya dan panangkilan yang datang ke gria. Terkhusus bagi mereka yang menyukai filsafat keagamaan. Ngiringang (menemani) Beliau berdiskusi dan menyerap berbagai hal membuat banyak sisya serta penangkilan yang datang merasa perlu untuk mencari ‘umpan-umpan’ yang lebih banyak lagi. Mereka tegerak untuk lebih banyak membaca dan meneliti sebelum kembali lagi menghadap ke gria. Begitulah siklus tarka wada yang terjadi di Gria Taman Saraswati. Setiap kali ada penangkilan, pastilah lahir pemahaman-pemahaman baru yang selalu segar.
Semangat pantang menyerah itu tentu bukan hanya kata-kata, namun dicontohkan langsung oleh Sri Mpu. Ketika daya penglihatan Beliau mulai menurun, Sri Mpu masih mengakrabkan diri dengan buku dan pena. Saat itu Beliau menggunakan spidol dan buku gambar untuk mencatat sesuatu dengan ukuran huruf besar sehingga mudah dibaca. Bahkan tatkala penglihatan Beliau benar-benar telah tidak berfungsi lagi karena serangan glukoma, Sri Mpu memanfaatkan alat rekam yang disimpan di dekat Beliau. Suatu hari saya dipanggil ke gria untuk mencari nama lain dari kumbang (tamulilingan). Saat itu Beliau baru menemukan enam sinonim. Ini tentu tidak memuaskan Sri Mpu karena harusnya ada sepuluh nama untuk masing-masing benda jika mengikuti kaidah dasanama. Setiap kali mendapatkan informasi yang dianggap penting Beliau segera meraih alat perekam dan melakukan perekaman sesuai keperluan. Menariknya ketika saya mengantarkan Jurnalis Jepang Chieko Maeda untuk tangkil ke gria, Beliau menanyakan nama tamulilingan dalam Bahasa Jepang. Sri Mpu juga menanyakan ciri-ciri fisik, makanan, cara reproduksi, lingkungan, dan sarangnya secara mendetail.
Pengejaran ilmu pengetahuan juga perlu didasari prinsip ketelitian dan kehati-hatian. Sebagaimana hasrat jejaka yang perlu distabilkan meski di hadapannya telah hadir sosok cantik sang dewi. Pemahaman ini disadari betul oleh Sri Mpu. Beliau tidak mudah menyimpulkan sesuatu, sangat takut bila kelak di kemudian hari menimbulkan salah tafsir. Suatu ketika saya dengan penuh percaya diri meminta pendapat kepada Sri Mpu bila teks Bodha Kacapi mengandung unsur Bodha. Saat itu saya masih kuliah dan banyak dipengaruhi oleh bacaan-bacaan konspiratif yang seringkali hanya cocoklogi. Bacaan-bacaan semacam ini rupanya membuat saya menyimpulkan sesuatu secara pragmatis. Termasuk dalam kasus Bodha Kacapi. Saat mendengar pertanyaan saya, Sri Mpu menyuruh saya untuk menelisik lagi unsur-unsur dari mazhab Bodha yang terdapat dalam teks Bodha Kacapi, tidak hanya mengandalkan pada judulnya yang memang mengandung kata Bodha. Seketika itu juga hasrat saya untuk menulis Bodha Kacapi sebagai teks pengobatan yang bersumber dari mazhab Bodha menjadi runtuh. Saya menyadari tidak mempunyai sokongan tekstual yang lengkap. Saat itu saya melihat betapa Sri Mpu merupakan sosok yang demikian teliti. Belum lagi pada beberapa kesempatan Sri Mpu saya dapati tengah memeriksa suatu naskah dan mencorat-coretnya dengan pena. Dalam posisi seperti itu mata tua Beliau tampak demikian awas memperhatikan kata demi kata bahkan tanda diakritis yang ada disana.
Kejadian lainnya adalah ketika saya nangkil bersama salah seorang sahabat dan secara kebetulan diskusi mengarah pada teks-teks tentang kanda/ kawisesan. Dalam diskusi itu Sri Mpu menyebut beberapa referensi teks dan menerangkannya dengan sangat terperinci. Sahabat yang saya antarkan ke gria pun tampak sangat puas dengan penjelasan Sri Mpu. Meskipun demikian ketika kami hendak mohon diri meninggalkan gria Beliau memanggil saya dan berkata, “Ampura sampuang nyen incepanga pisan sané iwawu. Aji nak ten ngamarginin sané kakénten” (maaf pembicaraan tadi jangan dianggap terlalu serius karena saya tidak membidangi yang demikian). Pernah pula Beliau memanggil saya ketika sebelumnya saya menanyakan tentang fungsi pohon kutat (tanaman yang biasanya dicampur dengan nira untuk menguatkan rasa). Beliau mengatakan, “Ampura sané takénang iwawu, Aji nak ten uning santukan ten ngamiletin indik masajeng-sajengan” (maaf yang ditanyakan tadi saya tidak paham karena tidak mengikuti perihal cara mencampur ramuan pada minuman keras). Saya menjadi kaget karena sesungguhnya telah melupakan pertanyaan itu, sebab diskusi telah beralih kepada topik lain. Disana saya menyadari betapa klarifikasi semacam itu sangat perlu dilakukan oleh seorang guru dalam proses pembelajaran untuk menghindari pembiasan-pembiasan yang tidak diperlukan. Pernah pula saya ditugaskan untuk memeriksa sebuah ketikan berjudul Purwaka Weda Buddha. Dengan penuh rasa penasaran Beliau ingin dibacakan tentang isi yang terdapat dalam ketikan itu, termasuk gambar mudra. Saya demikian kesulitan ketika menerangkan mudra karena sangat awam dengan bidang ini. Beliau menanyakan pula penulis ketikan itu dan hingga Beliau lebar saya belum mendapatkan informasi tentang penulisnya. Saat itu Beliau menanyakan nama penulisnya karena sangat khawatir kalau-kalau ketikan itu dibuat oleh orang-orang yang pernah belajar di gria. Akhirnya Beliau mengatakan, “Kasal nentén sakéng iriki manten, bengayang sampun” (kalau sumbernya bukan dari sini [garis perguruan Gria Taman Saraswati] biarkan saja). Sangat nyata kehati-hatian Sri Mpu mewujud pada tanggungjawab untuk mengawasi setiap tindak-tanduk murid-muridnya-orang-orang yang pernah berhubungan dengan gria. Pesan penting Beliau tentang bahaya kekaburan pengetahuan adalah, “Mangda nénten kadi jaka kabinginan” (biar tidak seperti pohon enau ditumbuhi pohon beringin). Dalam kondisi kabinginan pohon enau tidak tampak, yang tampak justru pohon yang menumpanginya. Pada kajian filsafat ilmu, fenomena semacam itu disebut sebagai pseudo science. Manakala sesuatu secara sengaja dihubung-hubungkan atau dibenar-benarkan sehingga mendapat legitimasi umum. Hal semacam inilah yang sangat diwaspadai oleh Sri Mpu di Gria Taman Saraswati.
Metode Mengajar yang Alami dan Cara Regenerasi
Semenjak pertamakali nangkil ke gria saya melihat Sri Mpu sebagai sosok guru yang ideal. Tokoh termashyur sekaliber Beliau tidak sekalipun pernah mendominasi pembicaraan. Bahkan cenderung diam bila tidak dipancing dengan suatu topik diskusi. Ketika dipancingpun Beliau memberikan jawaban secara sistematis dan mendetail. Kata khas yang terlontar dari bibir Beliau sebelum memaparkan sesuatu adalah sempura (maaf). Sangat jarang sekali Sri Mpu menjelaskan inti sesuatu pada permulaan pembicaraan. Seringkali Beliau malah membalikkan pertanyaan kepada si penanya dengan meminta pendapat. Jelas kebanyakan penangkilan menjadi agar ‘tergagap’ dengan cara belajar semacam itu. Meski para panangkilan memberikan jawaban dengan struktur yang kacau ataupun tidak nyambung samasekali dengan topik pembicaraan, Sri Mpu tetap mendengarkannya dengan seksama. Ketika Sri Mpu hendak menyebarluaskan Puja Nityakarma Jinakula Sadhana pada perayaan Waisak, 7 Meri 2020. Beberapa hari sebelumnya Beliau meminta pendapat saya dan Bli Endra Wirawan yang saat itu kebetulan menghadap bersama saya. Meskipun dengan jujur telah saya sampaikan bila tidak memiliki wawasan tentang bidang puja, Beliau tetap mendesak meminta pendapat saya. Beruntung saat itu Bli Endra bisa memberikan pandangan-pandangan tentang bidang puja karena wilayah bacaannya yang lebih luas dari saya. Disinilah telihat kerendahatian Sri Mpu sebagai sosok panadahan upadesa yang tidak hanya ‘melontarkan’ namun juga ‘menyerap’. Metode semacam ini pula membuat Sri Mpu dapat menyerap segala sesuatu secara aktual terutama dari segi kosakata. Beliau dapat berdiskusi sama baiknya dengan orang yang tidak mengenyam pendidikan formal yang tinggi hingga sekelas guru besar. Sungguh sangat langka sosok seperti ini. Sri Mpu tidak pernah ragu untuk membenarkan pandangan seseorang kendatipun tidak berpendidikan formal ketika sesuai dengan kaidah-kaidah yang Beliau pahami. Sebaliknya tidak segan-segan memberi masukan kepada para akademisi berpendidikan tinggi sekalipun manakala terhadap hal-hal yang tidak sesuai. Meskipun demikian, dengan nada bicara yang santun dan lentur membuat para panangkilan tidak merasa dipojokkan. Mengagumkannya orang-orang dengan sukarela bersedia diluruskan jalan pikirannya manakala terdapat kekeliruan tanpa menyisakan sedikitpun ruang ketersinggungan. Metode belajar seperti itu juga dapat menumbuhkan pemahaman yang integral atas suatu permasalahan dan para penangkilanpun tidak merasa didikte. Ucapan khas lainnya dari Sri Mpu untuk meneduhkan diskusi adalah, “Tiang nénten ja mamanah ngatik tunjungin” (saya bukannya bermaksud menguji pengetahuan Anda”
Cara mengajar lain yang khas dari Sri Mpu adalah dengan mengamati secara langsung (pratyaksa pramana) sehingga tidak terlalu mengawang-awang. Ketika Beliau masih bugar dan tengah membicarakan suatu topik terutama yang berkaitan dengan artefak seringkali Beliau harus keluar masuk ruang kerja untuk mengambil gambar atau benda tertentu. Kejadian yang paling saya ingat adalah Beliau menunjukkan kepada saya foto tercetak dari pedang milik Sayyidina Ali. Meskipun gambar itu hanya pendukung sekunder dari apa yang kami bicarakan sebelumnya, namun Beliau tetap merasa perlu untuk memperlihatkannya. Cara belajar yang demikian alami tampak pada kegemaran Beliau memelihara binatang-binatang bahkan yang bagi sebagian orang tampak berbahaya. Pada suatu kesempatan Sri Mpu menerangkan kebiasaan ular phyton, kura-kura, anjing, dan binatang lain yang menjadi kesayangan Beliau. Bahkan ketika telah kehilangan penglihatannya, Sri Mpu secara rutin meminta laporan tentang kondisi lebah trigona miliknya. Metode semacam itu membuat orang-orang di sekitarnya menjadi melakukan, mengalami langsung, serta mendapatkan pengetahuan yang lengkap tentang sesuatu.
Demikian variatifnya talenta yang terdapat dalam diri Sri Mpu membuat banyak orang datang untuk belajar-menekuni suatu bidang seperti karawitan, seni suara, sastra, arsitektur, antropologi, arkeologi, filsafat, dan yang lainnya. Tentu Sri Mpu menjadi demikian bersemangat untuk menurunkan kemahiran-kemahiran miliknya ketika ada panangkilan yang memohonnya. Seperti pada suatu kesempatan ketika Beliau dihadap oleh salah seorang seniman (pragina) topeng, seketika itu juga Beliau merapalkan ucapan-ucapan yang berkaitan dengan kesenian itu. Dalam kemampuan geraknya yang terbatas Beliau masih bersemangat menunjukkan gerak menari dengan wajah riang. Pernah pula Sri Mpu memerintahkan saya untuk mengumpulkan anak-anak berbakat yang siap melestarikan kebudayaan Bali. Sayang permintaan itu belum mampu saya penuhi hingga Beliau lebar. Cara Sri Mpu menyemangati orang-orang yang tangkil juga sangat khas dan berkesan. Seperti pada suatu kesempatan Beliau berpesan kepada salah seorang calon pendeta, “Riastu ja nénten Aji sané jagi ngembasang nanging sampunang wusan malajahang raga” (biarpun bukan saya yang akan melahirkan [sebagai pendeta], namun janganlah berhenti belajar). Sri Mpu dengan jeli melihat bakat yang ada dalam diri para panangkilan yang datang ke gria, kemudian menyemangatinya. Termasuk mempersiapkan hadiah-hadiah untuk membangkitkan semangat. Seperti ketika saya mengajak salah seorang sahabat nangkil dan tanpa sengaja menyebutkan tentang karya tulis Beliau yang menggunakan nama pena. Beliau tampak demikian gembira dan menyuruh Ida Patni untuk mengambilkan buku tersebut sebagai hadiah. Saya lihat buku itu lengkap dengan tandatangan Sri Mpu. Pastilah penandatanganan telah dilakukan ketika daya penglihatan Beliau masih sangat baik. Inilah etos kerja yang dipegang teguh Sri Mpu, “Nglaksanayang sané kantun prasida kalaksanayang” (mengerjakan apapun yang masih bisa dikerjakan). Termasuk hal yang tampak remeh seperti menandatangani buku perlu dilakukan ketika penglihatan masih berfungsi dengan baik. Efeknya ternyata sangat besar. Si penerima hadiah sangat girang dengan paica itu, menyimpan dan membacanya dengan hati-hati, dan tentu saja lebih bersemangat lagi untuk belajar. [T]