2 June 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Bali dalam Pigura Rudolf Bonnet

Wayan SumahardikabyWayan Sumahardika
March 30, 2021
inKhas
Bali dalam Pigura Rudolf Bonnet

Di Ubud, jauh sebelum pelukis remaja mengenal kertas, pensil, cat tempera dan aneka warna buatan lain sebagai alat lukis, benda-benda semacam lampu templek, tulang kepala babi, gincu dan kerang laut boleh dikata merupakan barang penting yang tiada duanya. Sebab pada benda-benda inilah, mereka menghabiskan waktu untuk mencampur arang yang melekat pada lampu templek dengan lem ancur buat memperoleh warna hitam; membakar tulang kepala babi untuk mendapatkan warna putih; berjalan jauh ke toko mencari gincu Cina sebagai warna merah; serta menggosok karang laut dengan campuran lem ancur untuk menghasilkan warna oker. Dengan warna-warna ini, sebagaimana yang biasa dilakukan pendahulunya, para pelukis menuangkan gagasan mereka di atas daun lontar, melukis rupa dewa-dewa untuk keperluan upacara.

Adalah Johan Rudolf Bonnet yang kemudian dengan sukarela menyumbangkan berbagai macam material bahan melukis, khususnya bagi remaja di Ubud dan sekitarnya pada akhir tahun 20-an. Pelukis Belanda kelahiran 30 Maret 1895 ini tak hanya mengenalkan material baru yang menantang untuk diekplorasi pada para pelukis Ubud, melainkan mempengaruhi gagasan-gagasan mereka terhadap seni lukis Bali kala itu. Catatan ini dapat ditemukan lebih rinci dalam beberapa penelitian seni rupa oleh I Wayan Kun Adnyana ‘Arena Seni Pita Maha: Ruang Sosial dan Estetika Seni Lukis Bali 1930-an’, ‘Tiga Tipe Praktik Sosial dan Gaya Visual Pelukis Barat di Bali’ serta penelitian I Wayan Seriyoga Parta ‘Perkembangan Seni Rupa Pita Maha dalam Konteks Konstruksi Kebudayaan Bali’.

Dari proses diskusi, latihan dan kerja lukis yang intens dilakukan bersama para pelukis Ubud ini kemudian melahirkan gerakan sosial seni bernama Pita Maha, yang kelak menjadi salah satu tonggak puncak keemasan seni lukis Bali di dunia. Pita Maha dideklarasikan secara resmi pada 29 Januari 1936 bertempat di Puri Kantor (Ubud). Bonnet, bersama Tjokorda Raka dan Tjokorda Agung Sukawati, Walter Spies, dan pelukis Gusti Nyoman Lempad, selain menjadi salah satu pencetus, juga berperan sebagai (komisi pengawas) dalam kelompok Pita Maha.

Ketertarikan Bonnet pada seni lukis Bali, bukan tanpa alasan. Awalnya, setelah menyelesaikan pendidikan di Rijksakademie van Beeldende Kunsten Amsterdam, Bonnet pergi ke Italia. Ia tinggal selama beberapa tahun di Anticoli Corrado, selatan Roma untuk mempelajari lukisan-lukisan renaisans. Di Italia, Bonnet sempat bertemu dengan Nieuwenkamp. Nieuwenkamp adalah seorang pelukis Belanda yang telah lebih dahulu singgah ke Bali. Dari Nieuwenkamplah, Bonnet terpesona dan tertarik untuk mengetahui Bali lebih dalam.

Pucuk dicinta, ulam tiba. pada 1928, Bonnet berkesempatan pergi ke Hindia Belanda. Dia tiba di Batavia dengan kapal uap Jan Pieterszoon Coen. Dia juga sempat singgah di kota Semarang dan Pulau Nias. Pada tahun 1929, Bonnet tiba di Bali. Beberapa daerah sempat ia singgahi seperti Kedaton, Denpasar, Tampaksiring, serta Peliatan. Setelahnya, ia berjumpa dengan Walter Spies di Ubud.  Bersama Spies, Bonnet diperkenankan tinggal di Puri Kantor (Ubud), sebelum akhirnya tinggal di daerah dekat Sanggingan.

Adapun salah satu ciri penting pada gaya seni lukis Ubud yang terlahir dari pergaulan bersama Bonnet adalah keterampilan melukiskan anatomi manusia yang digambarkan bergaya realis. Bagi para pelukis Pita Maha Ubud kala itu, Bonnet dikenal sebagai pengkritik yang tajam. Di sisi lain, Bonnet juga membuka ruang bagi para pelukis remaja untuk belajar bersama, dengan mengunjungi studio para pelukis lokal, pun sebaliknya. Meski banyak yang menganggap Bonnet sebagai guru, namun Bonnet lebih suka menyebut perannya sebagai kawan diskusi.  Melalui diskusi yang terjalin, ia membimbing sekaligus memberikan petunjuk untuk memperbaiki lukisan-lukisan yang dibawa para pelukis ketika berkunjung ke studionya.

Hal ini juga merupakan respon Bonnet terhadap pendidikan (seni) bergaya Barat yang dilakukan Belanda pada Bali pada era 30-an. Hal ini ditentang oleh Bonnet. Ia menyatakan, pengembangan model Barat tidak akan menghasilkan apapun, kecuali mengubah orang Bali yang lugu menjadi ‘karikatur’. Bonnet lebih percaya bahwa Bali harus tumbuh dalam logika kebudayaannya sendiri.

Dalam rangka menguatkan nilai penting kehadiran karya para pelukis Pita Maha Ubud, selain membuka ruang diskusi, Bonnet kerap menuliskan artikel tentang Pita Maha di beberapa media, terutama di majalah Djawa seputaran tahun 1936 sampai 1940-an. Bonnet juga berinisiatif untuk memamerkan karya-karya pelukis Pita Maha ke berbagai event pameran, terutama dengan mengadakan hubungan dengan Nyonya J. de LoosHaaxman, komisaris dari Bon van Kunstkring dan dengan Ver v. Vrienden van Aziatische Kunst (Perkumpulan Pencinta Seni Asia) di Negeri Belanda. Dengan terjalinnya hubungan ini, hasil karya anggota Pita Maha bisa dipamerkan di Museum Aziatische Kunst-Amsterdam, di Kunstzal van Lier-Amsterdam, di Pulchri Studio-Den Haag, dan di Calman Gallery London.

Setelah pasukan Jepang mendarat di Hindia Belanda, Bonnet ditangkap dan diasingkan ke Sulawesi pada 1943. Bonnet menghabiskan hari-hari tawanannya di perkemahan tawanan Makassar. Pasca kemerdekaan RI, Bonnet kembali ke Bali. Pada waktu itu, Pita Maha sudah tidak berfungsi lagi. Bonnet memulai perkumpulan baru kelompok pelukis ubud, bersama Tjokorda Gde Agung Sukawati, I Gusti Nyoman Lempad dan Anak Agung Gede Sobrat. Sayangnya, asosiasi ini tidak berhasil. Bersama Cokorda Gede Agung Sukawati, ia kemudian bersepakat membangun sebuah museum seni lukis dan patung untuk mendokumentasikan karya-karya maestro seniman Bali.

Untuk mendukung rencana pembangunan museum, pada tahun 1953, didirikanlah Yayasan Ratna Wartha. Bonnet bersama Gusti Nyoman Lempad berperan dalam merancang bangunan. Bonnet mendesain gedung pertama, merencanakan konstruksi, mengumpulkan karya seni untuk dipamerkan di museum, serta melakukan penelitian untuk katalog. Pada tahun 1954, Upacara peletakan batu pertama dilakukan oleh Perdana Menteri Ali Sastroamidjoyo. Museum itu sendiri diberi nama “Puri Lukisan”. Pada 1956, Museum Puri Lukisan secara resmi dibuka untuk umum oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu, Mohammad Yamin. Adapun Tjokorda Gde Agung Sukawati menjabat sebagai direktur museum dan Bonnet sebagai kurator museum.

Pada tahun 50-an juga, Bonnet tampaknya menjadi salah satu pelukis yang dilirik keberadaannya oleh Soekarno yang kala itu menjabat sebagai Presiden RI. Soekarno mulai menyukai lukisan Bonnet sejak melihat pameran lukisannya yang digelar di Jakarta tahun 1951. Soekarno kerap memesan lukisan pada Bonnet. Lukisan ‘de rijstoogst’ misalnya, merupakan lukisan karya Bonnet yang sempat dipajang di ruang makan istana Bogor (Buitenzorg). Hampir semua karya besar Bonnet di Bali pada 1950-an menjadi koleksi Sukarno. Namun sayangnya, di akhir tahun 50-an, Bonnet terpaksa meninggalkan Bali karena menolak menjual sebuah lukisan tertentu kepada Soekarno. Bonnet baru bisa kembali ke Bali pada awal tahun 70-an pada masa pemerintahan Soeharto. Tahun-tahun kedangannya di Bali, ia habiskan untuk menyusun koleksi Museum Puri Lukisan.

Pada tanggal 18 April 1978 di Laren, Belanda,  Bonnet meninggal di usia 83 tahun. Dalam buku ‘Daya Tarik Wisata Museum Sejarah dan Perkembangannya di Ubud Bali’ oleh Ida Bagus Kade Subhiksu tercatat, pada tahun kematian Bonnet, terjadi angin ribut yang membuat gedung utama museum Puri Lukisan roboh. Anehnya koleksi di gedung tak ada satu pun yang rusak, semuanya bisa diselamatkan. Pada tahun 1978 pula, adalah tahun dimana, Tjokorda Gede Agung Sukawati ‘mantuk’, pun demikian dengan Lempad yang juga meninggal di tahun yang sama. Bonnet yang telah meninggal di Belanda, setahun kemudian, pada 1979, jenazahnya dibawa ke Bali untuk dikremasi di Ubud bersamaan dengan upacara Palebon Tjokorda Gede Agung Sukawati. Sebuah upacara palebon termegah dan terbesar yang pernah ada di Bali, yang takkan pernah bisa disamakan dengan berat bade yang diusung atau besar jumlah biaya yang dikeluarkan. Tahun 1979 adalah ‘palebon terbesar’ di Bali sepanjang sejarah karena mengusung tokoh-tokoh besar seniman besar Bali sepanjang masa. Salah satunya Johan Rudolf Bonnet. [T]

Denpasar, 2021

Tags: baliRudolf BonnetSeni RupaUbud
Previous Post

HUT Singaraja | Mari Menengok Arsitektur Kota yang Bermaskot “Singa Ambara Raja”

Next Post

Bergerak dengan Luka ala “Nomadland”

Wayan Sumahardika

Wayan Sumahardika

Sutradara Teater Kalangan (dulu bernama Teater Tebu Tuh). Bergaul dan mengikuti proses menulis di Komunitas Mahima dan kini tercatat sebagai mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Pasca Sarjana Undiksha, Singaraja.

Next Post
Bergerak dengan Luka ala “Nomadland”

Bergerak dengan Luka ala “Nomadland”

ADVERTISEMENT

POPULER

  • “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sang Hyang Eta-Eto: Memahami Kalender Hindu Bali & Baik-Buruk Hari dengan Rumusan ‘Lanus’

    23 shares
    Share 23 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Film “Mungkin Kita Perlu Waktu” Tayang 15 Mei 2025 di Bioskop

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Lonte!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Screen Time vs Quality Time: Pilihan Berkata Iya atau Tidak dari Rayuan Dunia Digital

by dr. Putu Sukedana, S.Ked.
June 1, 2025
0
Screen Time vs Quality Time: Pilihan Berkata Iya atau Tidak dari Rayuan Dunia Digital

LELAH dan keringat di badan terasa hilang setelah mendengar suaranya memanggilku sepulang kerja. Itu suara anakku yang pertama dan kedua....

Read more

Google Launching Veo: Antropologi Trust Issue Manusia dalam Postmodernitas dan Sunyi dalam Jaringan

by Dr. Geofakta Razali
June 1, 2025
0
Tat Twam Asi: Pelajaran Empati untuk Memahami Fenomenologi Depresi Manusia

“Mungkin, yang paling menyakitkan dari kemajuan bukanlah kecepatan dunia yang berubah—tapi kesadaran bahwa kita mulai kehilangan kemampuan untuk saling percaya...

Read more

Study of Mechanical Reproduction: Melihat Kembali Peran Fotografi Sebagai Karya Seni yang Terbebas dari Konvensi Klasik

by Made Chandra
June 1, 2025
0
Study of Mechanical Reproduction: Melihat Kembali Peran Fotografi Sebagai Karya Seni yang Terbebas dari Konvensi Klasik

PERNAHKAH kita berpikir apa yang membuat sebuah foto begitu bermakna, jika hari ini kita bisa mereproduksi sebuah foto berulang kali...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

May 29, 2025
 Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

May 27, 2025
911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

May 21, 2025
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

May 16, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Pramana Experience Luncurkan Rasayatra Edisi Kedua: Manjakan Indera, Sentuh Kesadaran Historis — Koneksi Tamu, Tradisi, Waktu
Panggung

Pramana Experience Luncurkan Rasayatra Edisi Kedua: Manjakan Indera, Sentuh Kesadaran Historis — Koneksi Tamu, Tradisi, Waktu

HUJAN itu mulai reda. Meski ada gerimis kecil, acara tetap dimulai. Anak-anak muda lalu memainkan Gamelan Semar Pagulingan menyajikan Gending...

by Nyoman Budarsana
June 1, 2025
Perayaan Penuh Kelezatan di Ubud Food Festival 2025
Panggung

Perayaan Penuh Kelezatan di Ubud Food Festival 2025

MEMASUKI tahun ke-10 penyelenggaraannya, Ubud Food Festival (UFF) 2025 kembali hadir dengan semarak yang lebih kaya dari sebelumnya. Perayaan kuliner...

by Dede Putra Wiguna
May 31, 2025
ft. moreNarra di Acara “ASMARALOKA”—Album Launch Showcase dari Arkana: “Ya, Biarkan”
Panggung

ft. moreNarra di Acara “ASMARALOKA”—Album Launch Showcase dari Arkana: “Ya, Biarkan”

MENYOAL asmara atau soal kehidupan. Ada banyak manusia tidak tertolong jiwanya-sakit akibat berharap pada sesuatu berujung kekecewaan. Tentu. Tidak sedikit...

by Sonhaji Abdullah
May 29, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

May 31, 2025
Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

May 31, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [17]: Wanita Tua dari Jalur Kereta

May 29, 2025
Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

May 25, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [16]: Genderuwo di Pohon Besar Kampus

May 22, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co