Pagi itu saya terlambat pergi ke kantor. Saya meluangkan sedikit waktu saya untuk mendengarkan curhat sepasang suami istri yang baru saja kehilangan putranya, yang memilih mengakhiri hidup dengan bunuh diri. Sang ibu sesekali terisak menceritakan kehidupan putranya dari masih bayi, sang suami turut menimpali sambil menarik nafas panjang , berusaha terlihat tegar.
Kebetulan sekali, kami kalangan medis di Bali sempat dikejutkan dengan kejadian sama yang menimpa rekan sejawat kami , yang juga memilih jalan serupa meskipun dengan cara yang sedikit berbeda. Namun tak mengurangi keterkejutan kami yang pernah mengenalnya dulu semasa pendidikan.
Mengakhiri hidup dengan bunuh diri, karena sebab apa pun tak diterima oleh semua agama dan budaya. Kecuali bunuh diri saat situasi perang yang dilakukan para prajurit Jepang dahulu yang mungkin masih bisa dimaklumi, karena terkait dengan kehormatan diri yang diyakini oleh pelakunya. Masyarakat Hindu Bali menganggap mereka yang bunuh diri sebagai tindakan salah pati, yang membuat atma mereka lebih susah untuk bersatu dengan sang penciptanya (parama atma). Bahkan BPJS pun tak akan membayar klaim seseorang yang mengalami sakit akibat usaha bunuh diri yang dilakukannya. Pun begitu buruknya pandangan masyarakat tentang hal ini, tak mengurangi niat seseorang untuk bunuh diri, dan kejadiannya pun masih tetap ada di masyarakat.
Terasa sekali bedanya saat mereka yang melakukan bunuh diri itu adalah orang yang kita kenal, lama sekali bayangan mereka terlintas di pikiran kita. Dan ada kesempatan bagi saya untuk menyesuaikan teori yang saya pelajari waktu kuliah dengan situasi yang bisa saya tangkap dari informasi orang terdekat, keluarga maupun teman yang bersangkutan. Saya akan coba menuliskannya di sini, dengan mengutip apa yang saya pelajari dan coba saya sempurnakan berdasarkan penalaran sederhana saya.
Penyebab seseorang memilih jalan bunuh diri bisa kita sederhanakan menjadi dua. Penyebab yang bersifat kronis (menahun) dan yang bersifat akut (mendadak). Yang bersifat kronis biasanya adalah gangguan depresi yang dialami oleh pelaku, dan yang akut adalah faktor pencetus yang terjadi pada pelaku saat melakukannya.
Kondisi ekonomi yang menurun drastis selama pandemi Covid 19, kita takutkan menjadi penyebab akut dari mereka yang menderita depresi untuk melakukan bunuh diri. Situasi pandemi yang berkepanjangan saat ini memaksa kita untuk lebih peduli kepada tetangga maupun keluarga yang terlihat menunjukkan gejala-gejala depresi.
Gejala depresi yang khas adalah saat seseorang terlihat menarik diri dari lingkungan sosial bahkan mungkin yang paling dekat seperti keluarga. Dan saat kita merasa kehilangan minat pada kesenangan-kesenangan kita selama ini, waspadalah terhadap kejadian depresi ini. Misalnya untuk saya pribadi membuat sebuah indikator sederhana. Kapan pun saya mulai tak berminat lagi bermain tenis ataupun menonton pertandingan klub sepakbola kesayangan, maka saat ini saya mesti waspada pada kondisi kejiwaan saya.
Beberapa faktor yang dikatakan berpengaruh terhadap kemungkinan seseorang menderita depresi antara lain faktor kepribadian. Mereka dengan kepribadian introvert melankolis lebih cenderung gampang depresi. Anak yang dibesarkan oleh ibu tiri dan diberlakukan berbeda oleh orang tua maupun saudaranya juga demikian. Faktor keturunan juga berpengaruh, yang saya temukan kejadian bunuh diri pada dua orang yang masih bersaudara kandung. Mereka dengan kelainan fisik, maupun penampilan dan sering diejek oleh lingkungannya, juga berkesempatan besar menderita depresi.
Yang menjadi perhatian saya, dari cerita beberapa pasien yang merasa salah memilih pekerjaan yang ditekuni. Mereka dengan corak kepribadian tertutup, dipaksa untuk menjalani pekerjaan yang mengharuskan mereka mesti berkomunikasi aktif dan sering berbicara di depan banyak orang. Walaupun ini tak ditunjukkan sebagai sesuatu yang mengganggu bagi mereka, namun akan dimanifestasikan dalam wujud keluhan-keluhan fisik tanpa penyebab yang jelas bagi kami dari kalangan medis.
Penanganan secara sosial budaya terkait kasus bunuh diri ini menurut saya kurang menyeluruh, dan menafikan kemungkinan upaya pencegahan agar tak terulang kembali pada keluarga atau anggota masyarakat yang lainnya. Tradisi metuunan saat ada orang yang meninggal, sudah lama mempesona dan menjadi perhatian guru saya, psikiater terkemuka Bali, LK Suryani. Begini isi kuliah beliau yang bisa saya ingat “ Mungkin hanya di Bali, seseorang atau keluarga bisa seketika hilang kesedihannya saat menerima kematian orang terdekat, hanya dengan mendengarkan kata-kata baas pipis, yang dimediasi oleh orang pintar. Seharusnya kepercayaan ini juga bisa untuk menanggulangi kejadian gangguan jiwa lain yang mungkin terjadi di masyarakat kita”, begitu keyakinan beliau menutup kuliah hari itu.
Terkhusus kejadian bunuh diri ini, saya melihat pendekatan dengan tradisi metuun kurang pas untuk mencegah terulangnya kejadian tersebut. Saat metuunan ada jawaban singkat ”nak mule jalane amonto”, maka berakhir pula cerita dan latar belakang yang bersangkutan mengakhiri hidupnya. Saat kita menengok ke belakang, ke riwayat keluarga besar dulu, entah kakek, buyut ada yang sering inguh, kemudian mengingat dari kecil almarhum memang pendiam, tak banyak omong, tak banyak teman. Semestinya kita sadar ada yang perlu dipelajari agar tak terulang kejadian ini pada generasi mendatang. Saat seperti inilah kita perlu bantuan seorang profesional di bidangnya. Dalam hal ini seorang psikolog atau psikiater.
Untuk kasus mereka yang merasa salah memilih pekerjaan, mungkin kita mesti mengevaluasi sistem pendidikan kita. Dulu saat SMA kita dibimbing guru BP/BK memilih jurusan hanya dari kemampuan akademik saja. Kalau dari SMA kita melibatkan psikolog dalam hal ini dengan mempertimbangkan tipe kepribadian anak didik, mungkin dari awal bisa kita antisipasi situasi seperti ini biar tak terlambat. Pemilihan pekerjaan yang diawali dari pilihan jurusan sejak sekolah menengah dengan mempertimbangkan kepribadian anak didik saya rasa sebuah usaha yang patut dicoba.
Penanaman simpati pada mereka yang mempunyai kekurangan, entah fisik ataupun penampilan dan jangan sampai mengejek, mesti kita tanamkan sejak kecil kepada anak anak kita. Keberanian untuk berkata tidak pada sesuatu yang dirasakan tidak benar juga harus terus dipupuk, biar mereka tak mengikuti suara banyak orang yang jelas jelas bertentangan dengan norma agama maupun etika.
Permasalahan kesehatan jiwa ini sebenarnya telah lama menjadi prioritas pemerintah di bidang kesehatan. Di mana penanganan penderita gangguan jiwa menjadi target standar pelayanan minimal bidang kesehatan yang mesti dikerjakan oleh daerah. Tetapi yang saya lihat ini lebih ke aspek pengobatan/terapi orang yang sudah menderita gangguan jiwa, bukan ke pencegahan masyarakat yang terlihat sehat, padahal sesungguhnya sedang mengalami gangguan jiwa, entah derajat ringan, sedang maupun berat yang kadang tak terlihat kasat mata dari luar. Mungkin di sinilah peran psikolog untuk menerapkan ilmunya di tengah tengah masyarakat. Pelibatan psikolog dan psikiater secara masif dan terstruktur, bekerja sama dengan tenaga kesehatan yang lain, saya kira akan bisa memberikan hasil yang lebih optimal untuk tujuan kita menjaga kesehatan jiwa masyarakat.
Peran tokoh agama, tokoh adat dan tokoh masyarakat lain saya rasa juga tak kalah pentingnya. Di satu sisi kita sudah mempunyai tradisi yang terbukti ajeg dan bisa menjaga keharmonisan kita sebagai masyarakat Bali. Tetapi di sisi lain kita mesti kritis juga untuk menilai bagian mana tradisi itu yang mesti disesuaikan kembali dengan perkembangan zaman. Dan di sinilah kita bisa menilai kebijaksanaan seseorang, saat dia mampu memilah keduanya dengan benar tanpa menimbulkan resistensi dari masyarakat umum pemegang tradisi tersebut.
Kesehatan jiwa kadang memang terdengar sangat abstrak, kita tak ingin membicarakannya saat dia belum terlihat jelas. Kita baru kebingungan saat ada anak kita yang tiba-tiba mengurung diri di kamar, dan tersentak kaget saat mendengar ada tetangga kita mengakhiri hidupnya dengan menggantung diri.
Selalu aktual apa yang menjadi tujuan (goal ) dari WHO, tak ada kesehatan, tanpa kesehatan jiwa. [T]