Ketika melihat peti mati-peti mati yang diangkut mobil itu melintas, bertumpuk-tumpuk, di jalan raya yang lengang, di antara gerimis dan di bawah mendung langit, Si Cerpenis berpikir dia sudah menemukan ide yang sangat brilian untuk membuat sebuah cerita pendek. Cerita tentang pandemi dan Covid.
“Kau sedang membuat cerita pendek, bukan wartawan peliput berita! Jangan pansos lewat isu!!!” Itu bunyi pesan temannya, yang seorang redaktur sastra di salah satu koran. Disertai tanda seru, berkali- kali.
Si Cerpenis membaca pesan itu, di antara guyuran hujan yang tumpah ruah di halaman kontrakannya dan daun-daun samblung yang bergoyang-goyang tertimpa cipratan air hujan dalam botol-botol bekas Marjan dekat jendela.
Gagal sudah niatnya membuat sebuah cerpen yang awalnya diniatkannya brilian dan luar biasa. Si Cerpenis masih ingat, ketika menemukan ide itu, mulutnya berdesis tak karuan dan tangannya bergerak-gerak, tak kalah histeris sebagaimana Archimedes mengatakan Eureka!
Cerpen tentang tokoh utama seorang pembuat peti mati yang banjir pesanan di masa Covid itu ternyata dianggap sama sekali tak menarik. Basi. Biasa. Hanya bermodal isu dan penuh dramatisasi. Begitu Si Redaktur sekaligus temannya itu memaki-maki cerpennya.
Itu sudah cerpennya yang kesepuluh tentang pandemi, dan tak ada satu pun yang sesuai menurutnya. Kesepuluh? Si Cerpenis mengutuk dirinya sendiri. Semuanya ditolak!
Hujan kian deras saja. Dia berharap akan menemukan ide-ide baru yang bisa dituliskannya sesegera mungkin. Di antara suara hujan itu, dan otaknya yang mencari-cari ide, kilometer listriknya sudah berkali-kali memberi kode bunyi, sekaligus tanda lampu kecil merah berkedip-kedip. Amboi, dalam keadaan begini, Si Cerpenis jadi ingat Knut Hamsun.
***
Semula Si Cerpenis berpikir masa pandemi yang panjang dan banyaknya waktu luang akan membuatnya bisa menghasilkan banyak cerpen. Banyak tulisan. Membuatnya jadi kreatif. Nyatanya tidak sama sekali. Pandemi, waktu luang dan kreativitas nyatanya tidak ada hubungannya sama sekali.
“Hanya soal motivasi, tanggung jawab dan konsistensi, Bung!” Begitu Si Redaktur yang sekaligus temannya itu mengejek. Lalu dia akan menyebutkan nama-nama penulis besar yang lahir dari keadaan yang jauh lebih buruk dan berada dalam himpitan kondisi yang jauh lebih parah.
“Jangan cengeng!” Begitu bunyi pesannya di lain waktu. Dan di bawahnya tertulis:
Pandemi belum berakhir. Catatkan satu kali saja namamu dalam cerpen yang bercerita tentang pandemi. Ikutlah masuk dalam sejarah. Segeralah! Sebelum pandemi berakhir! Itupun kalau kau masih berminat jadi cerpenis musiman! Hahahahohohohahahahohoho.
PS: Knut Hamsun tak pamer ketidakberdayaan, Bung!
***
Si Cerpenis masih ingat, kesembilan cerpen lainnya yang ditulis sejak pandemi, yang kesemuanya bercerita tentang pandemi dan kesemuanya tak masuk selera Si Redaktur. Cerpen-cerpen itu dikirimnya satu-satu, sekali dalam sebulan, selama pandemi, yang kini sudah berjalan hampir satu tahun. Dari deretan cerpen-cerpen itu, Si Cerpenis selalu mendapat pesan-pesan yang bernada makian sekaligus menggelikan dari Si Redaktur.
“Apa kau mau khotbah? Macam FTV azab saja! Ueekkkkk.” Disertai emoticon wajah memuntahkan cairan berwarna hijau. Itu tentang cerpen pertamanya yang berkisah prihal kesabaran seorang pekerja pariwisata yang menjadi korban efek samping pandemi. Pulang dari kota sebagai karyawan yang dirumahkan, alih-alih bisa membangun usaha dagang dengan mulus di desa, dia justru harus bersaing terlebih dahulu dengan iri dengki sesama warga yang berebut kesempatan berusaha.
“Hhhhmmmmm. Sepertinya ini Dostoyevsky lagi salah kampung! Semacam kisah-kisah yang dipindahkan begitu saja.” Disertai wajah menjulurkan lidah, soal cerpennya yang berkisah tentang pemuda yang nekat mengamuk dan membunuh tanpa sebab di tengah desa yang lagi terserang paranoid akut akibat Covid.
“Endingnya, Bung! Endingnya! Haruskah endingmu selalu diakhiri dengan pertanyaan? Selesaikan dulu semuanya di otakmu. Jangan pamerkan keterbatasan otakmu itu!” komentar Si Redaktur soal cerpennya yang berisi seputar pertanyaan kepada pemerintah terkait kebijakan penanggulangan pandemi.
Lalu saat dia menulis tentang tonya-tonya yang bermunculan dari hotel-hotel yang sudah lama kosong, ada yang berkelonjotan, ada yang ngesot, ada yang pincang, lalu berkomunikasi seenaknya dengan manusia, seperti sebuah kelaziman biasa, sekali lagi temannya yang sekaligus redaktur itu berkata, kali ini lewat telpon.
“Kau sebut itu realisme magis? Hah? Gabo pasti terkekeh!”
Lalu disusul sebuah chat. PS: Apa realisme magis masih laku?
Baru empat cerpen, dan dia sudah mau menyerah. Tapi rekannya itu terus saja mengompor-ngompori. Sekali lagi dengan nada satirnya yang akut. “Cepatlah tulis tentang pandemi. Sebelum pandemi berakhir. Atau namamu tak akan tercatat dalam sejarah penulisan tentang pandemi! Cepatlah!”
Lalu begitulah. Dia kirimkan cerpen-cerpen berikutnya. Yang kelima, yang keenam, yang ketujuh, kedelapan, kesembilan, dan bertubi-tubi pesan-pesan itu datang. Cukup untuk membuatnya senyum-senyum sekaligus misuh-misuh sendiri. Tak adakah satu pun yang bisa menggugah seleranya?
“Biasa! Tak ada kejutan! Datar! Konfliknya mana? Mana?”
“Ngalol ngidul. Kau pikir dirimu Duras?”
“Humanis? Ini kau sebut humanis? Cueeehhh!”
“Oh, tidak! Tidak. Jangan pamer teknik lagi. Bisakah kau menulis yang konvensional? Kau seperti mengigau sendiri!”
“Apa kau mau melucu? Meniru Keret? Puiiihhhhh.”
PS: Jangan membuat cerita kalau kau tidak benar-benar punya ide yang baik. Tolong. Tolong. Apa kau tidak punya tabungan pengalaman puitik sedikit pun? Imun tubuhku sudah berkurang gara-gara membaca-baca cerpen-cerpenmu ini. Tolong. Disertai emoticon wajah dengan mata berkaca-kaca.
Begitulah. Sepuluh cerpen. Dan Si Cerpenis masih juga gagal menulis tentang pandemi. Dia sudah membayang-bayangkan banyak hal dan mencoba-coba melihat sekaligus merasa-rasakan hal-hal lainnya, dari masker yang terapung terbawa air hujan, anak tetangga yang hanya bersepeda keliling kompleks, ibu-ibu rumah tangga yang mengeluh biaya kuota terlalu mahal, status-status jualan rekan-rekannya di WA, fotografer yang ngotot numpang promo dengan selebgram berbikini, hingga bangkai kucing yang menyangkut di gorong-gorong, capung yang menggantung di daun kangkung, mobil-mobil mewah yang berjejer di jalanan sembari jualan tisu dan telur, mahasiwa dan dosen yang sibuk webinar, kilometer listriknya yang seringkali berkedip-kedip, persediaan gas elpijinya yang seringkali membuat was-was, anak gadis tetangga yang rajin berjemur dengan celana pendek mini dan kemben ketat, ibu hamil yang takut-takut keluar gang, pemuda dan orang tua yang nongkrong dekat sawah sembari menenggak tuak, hingga hal-hal lainnya, semacam upacara-upacara yang tidak bisa ditunda, orang-orang kaya yang jor-joran beli tanah mumpung mendapat harga corona, festival-festival seni daring, kos-kosan yang sepi ditinggal penghuni, kelas-kelas menulis online, lomba-lomba dengan ketentuan follow dan sharing, sepasang pemabuk yang tewas berkelahi, pemuda-pemuda yang geram karena pawai ogoh-ogoh ditiadakan lagi, surat edaran berpakaian endek, surat edaran jam malam, pedagang nasi jinggo yang bersitegang dengan petugas, warna tembok yang monoton, tiktok selebgram yang lagi eksis, guru spiritual yang terseret kasus, Luh Kikik dan logatnya yang khas, gerakan kembali mencintai hutan dan pohon-pohon, televisi yang membosankan, keyboard yang kelewat licin, layar laptop yang mulai buram, rumput di halaman yang mulai tumbuh, hotel yang promo staycation, iklan dan tips cara waras di youtube, metode yoga kesabaran, kanal review film-film yang tayang digital, influencer yang promo vaksin, pejabat yang keceplosan membuat pernyataan kontroversi, pengguna medsos yang misuh-misuh, netizen yang nyinyir dan maha benar, teman yang mengeluh tidak ada kerjaan, siswa yang sudah setahun belajar di rumah, kucing yang berbagi sisa tulang di halaman dengan kucing lainnya dan kucing lainnya mengintip bersama kucing lainnya, oh, belum juga dia menemukan sesuatu yang kiranya memuaskan dan menggugah selera Si Redaktur.
Si Cerpenis mengutuk-ngutuk sekaligus tertawa terkekek-kekek membayangkan wajah temannya.
***
Setelah cerpennya yang kesepuluh itu ditolak, Si Cerpenis sudah hampir membulatkan tekadnya untuk tidak akan pernah menulis cerpen tentang pandemi lagi, ketika kabar dari Si Redaktur sekaligus temannya itu masuk ke ponselnya. Setelah hampir sebulan tanpa menulis dan musim penghujan belum juga berlalu, temannya itu bilang: “Bro, ada kemungkinan aku Covid. Kalau aku lewat, maafkanlah. Dokter bilang kondisiku parah. Maafkanlah, aku belum meloloskan satu pun cerpenmu.” Disertai emoticon tangan menyembah-nyembah.
PS: Apakah kilometer listrikmu masih berbunyi? Oh, kau membuatku iba. Tapi tak mungkin kuloloskan cerpenmu hanya karena iba!
Cicing!
Setelah membalas kabar itu, dengan doa-doa kesembuhan ala kadarnya saja, entah kenapa Si Cerpenis akhirnya mencoba menulis lagi, kali ini tentang kematian seorang redaktur sastra menyebalkan akibat Covid. Dan entah kenapa, dia benar-benar mendoakan kematian temannya itu. Doa yang paling tulus dan sungguh-sungguh dari hatinya yang paling dalam. Dia bahkan membayangkan penderitaan yang paling menderita yang bisa dibayangkan oleh umat manusia. Dia tak peduli ceritanya akan merusak imun atau membuat orang depresi atau memamerkan iri dengki. Dia bayangkan, dia masuk ke ruang isolasi itu, lalu mencekek leher temannya, dan memutuskan segala peralatan perawatan dari tubuhnya yang lagi terbujur tak berdaya. Tubuh itu akan mengejang sesaat, tangannya meronta-ronta, tapi nafasnya keburu habis, kakinya bergerak-gerak sebentar. Lalu matanya mendelik, seolah-olah akan copot terlontar keluar dari cangkang kelopaknya. Selama-lamanya. Sebelum mata itu mendelik dan akhirnya terdiam, mata itu nanar dan masih sempat memandang-mandang wajahnya dengan penasaran.
Oh, lalu dari alam kematian sana, temannya yang sekaligus redaktur itu akan dengan congkak dan penuh kepuasan mengiriminya pesan.
“Kau pikir cerpenmu akan lolos kalau aku mati? Jangan mimpi! Hahahahohohohahahahohoho…”
***
Tiga minggu kemudian, sebuah pesan muncul lagi dari temannya itu. Mengabarkan kesembuhannya dari virus dan sudah bebas dari masa isolasi. Astaga! Si Cerpenis tidak tahu apakah harus senang atau sedih mendengarnya. Jarak dan keterbatasan barangkali juga telah mempengaruhi pola-pola rasa dan caranya bersimpati. Atau dia sudah ikut-ikutan sok satire seperti Si Redaktur.
“Bro. Aku tak jadi mati. Tapi aku tahu pasti, kau sama sekali bukan Rodion! Bukan Rodion. Jangan berlagak dengki begitu! Tetap tak kuloloskan! Kau masih menunggu pesan-pesanku kan? Kau mau rekomendasiku kan? Kau mau dapat legitimasi dari koranku kan?”
Kampret!
Begitulah, untuk seterusnya, Si Cerpenis masih saja berusaha menulis dan entah kenapa dia terus saja menunggu pesan-pesan dari temannya itu, setiap kali dia selesai menulis sesuatu. Dia menulis tentang pandemi, berkali kali, berpuluh-puluh cerita, berpuluh-puluh bulan kemudian. Barangkali akan ada yang cocok dan mencatatkan namanya dalam sejarah pandemi, mumpung pandemi belum berakhir, sebelum pandemi benar-benar berakhir, sebagaimana yang dikatakan temannya itu. Hahahahohohohahahahohoho. [T]
Banyuning, 2021
___