SETELAH tekun melakukan pembelajaran demi pembelajaran kepada pepohonan, sang siswa Universitas Kehidupan yang merasa telah tercerahkan itu pun berseru girang, ”Tubuhku pohon, jiwaku inti (les, unteng) kayu!”
Para pembelajar Universitas Kehidupan yang telah tersadarkan kerap, memang, tersentak oleh hal-hal kecil, sederhana—yang bagi kalangan umum justru tak terpikirkan, diabaikan, dianggap remeh. Sebaliknya, bagi guru-guru terlatih, menyadari yang kecil-kecil, sederhana, itulah justru pencerahan sempurna.
”Pencerahan itu menyadari penuh betapa tak ada yang salah dengan kepala kita: dia sempurna ada di atas bahu, ditopang leher,” ujar seorang guru yang telah tercerahkan.
Guru lain berujar, ”Pencerahan itu menyadari betapa setia napas yang tak pernah kau sadari!”
Begitu enteng kedengarannya. Lantas, apa yang aneh dari sang siswa universitas kehidupan yang berseru, ”Tubuhku pohon, jiwaku inti (les, unteng) kayu!” itu?
Tak ada aneh.
HIDUP ITU memang pohon hayat yang terus bertumbuh, meningkat, meninggi, maju, meluas, mendalam. Pohon itulah hayat atau sumber nutrisi hidup pertama dalam wujud fisik yang membentuk lapisan tubuh ragawi setiap anak-anak manusia, sebelum disusul hewan, dan lain-lain kemudian. Setiap sel dalam tubuh manusia mengandung jejak jasa mulia sang pohon. Tetua Bali berkesantunan hidup, bahkan begitu penuh hormat mengakui, menyadari, dan menerima pohon sebagai ”saudara tertua” dalam Keluarga Besar Kehidupan. Baru menyusul berikutnya: hewan sebagai ”saudara kedua”. Adapun manusia bahkan diposisikan sebagai ”si bungsu”: ketiga.
Dari kesadaran demikian, Tetua Bali lantas mewariskan lelakon hidup Wana Kerti dengan Tumpek Wariga/Tumpek Atag/Tumpek Bubuh sebagai momentum kesadaran kolektif untuk memuliakan Dia Yang Telah Senantiasa Menumbuhkan Hidup dan Kehidupan, Hyang Tumuwuh.
Sepanjang manusia menjalani kehidupannya tidak pernah dapat dilepaskan dari pelukan cinta kasih jasa pepohonan yang masuk ke dalam tubuh maupun yang setia menyangga di luar tubuh hingga berwujud rumah, dengan segala perlengkapannya. Tak terkecuali piranti-piranti sarana kehidupan lainnya.
Meskipun manusia kini hidup dengan teknologi maju nan canggih yang kian sedikit berbahan dasar kayu, toh tetap saja manusia tak bisa mengenyangkan samudra perut masing-masing dengan makan besi, misalnya. Bahkan tidak juga manusia bisa hidup dengan makan langsung uang yang dimiliki.
Saban hari perut tetap patut diisi dengan makanan yang berasal dari pepohonan kaya nutrisi, entah berupa biji-bijian, buah, daun, pucuk, bunga, batang, kulit, sampai akar. Pohon pula yang mengandung aneka keragaman hayati, bahan obat penyembuh.
Bahkan manakala manusia menghidupi tubuh ragawinya dengan binatang pun, sejatinyalah hewan itu juga hidup dari topangan cinta kasih sang pohon—sehingga manusia berarti secara tak langsung juga mengonsumsi pohon. Itu sebab para guru kehidupan yang telah tercerahkan sempurna menghargai dan memuliakan pohon sebagai Ibu Kehidupan. Dalam ”dialog ekologis” berupa saa, tradisi Bali menyapa pepohonan dengan lembut, hormat, nan puitis, ”Nini-Nini, Kaki-Kaki.”
Sebagaimana anak-anak manusia terlahir dari guagarba rahim sang Ibu Kandung, begitu pulalah manusia terlahir sempurna dari guagarba Ibu Kehidupan berwujud-rupa pepohonan. Sasmita apakah yang hendak dituturkan Semesta Raya Kehidupan manakala Siddharta Gautama dikisahkan menemukan Kesadaran Penuh inti-sari-pati-hakikat tujuan, makna, dan guna Hidup dalam Kehidupan—yang kelak orang-orang menamakan ”pencerahan”—setelah bertekun-tekun menyelami ruang-ruang dirinya sendiri di bawah Keheningan Pohon Boddhi, hingga menjadi Buddha dan mencapai Nibbhana?
SIMBOLIK APAKAH yang hendak diingatkan rakawi Mpu Tanakung dalam kakawin Siwaratrikalpa gubahannya manakala membabarkan kembali kisah si manusia pemburu bernama Lubdhaka yang pada suatu momentum kritis nan krusial di tengah hutan lantas memanjat Pohon Bilwa? Dalam gelap hutan dia memetik lembar demi lembar daun sebagai sadana diri menemui Lingga Siwa di telaga—dan karena itu kelak di ujung hayatnya atman-nya pun dibebaskan sempurna dari segala ke-papa-an hingga bertemu Siwa, sang Maha Cinta Kasih?
Teks dan tradisi-tradisi tua Kehidupan begitu berlimpah, bahkan nyaris tanpa lupa, memang, mengingatkan hal mendasar ini: penting bagi setiap pejalan kehidupan untuk sampai pada suatu tahapan rela belajar kepada sang Pepohonan, ngawanaprasta—untuk kembali menjadi hidup berwatak selayaknya pohon: polos, sederhana, jujur, apa adanya, berbagi sama bagi semua. Terus bertumbuh dengan cara-cara santun merawat ruang-ruang kehidupan bersama, urip-nguripi: akar-akar semakin kuat dan mendalam memeluk hening gelap Ibu Bumi Pertiwi; terus meluas bercecabang menyerap sinar, air, bahkan racun untuk selanjutnya mengolah dan menebarkannya menjadi oksigen nutrisi kehidupan; seraya senantiasa tetap fokus tulus lurus kukuh meninggi memeluk Terang Bapa Akasa Raya Tak Berbatas.
Selamat menyempurna dalam tebaran cinta kasih Pepohonan, Sahabat-Sahabat. [T]
Saniscara Kliwon, Wariga, 20.03.2021