Pada masa-masa seperti sekarang ini, produktifitas pasti dipertanyakan. Ditambah lagi bagaimana kita mengidentitaskan diri sebagai seorang “sok seniman”. Yang artinya sebagian kawan atau orang yang mengenal kita akan mempertanyakan suatu hal yang lumrah. Misal dengan pertanyaan, “ada projek apa sekarang?”, atau “eh, Guk gimana Teater Kalangan? Ada garapan apalagi sekarang?”. Pertanyaan-pertanyaan itu bakal lumrah ditanyakan oleh teman dekat kita ketika bertemu. Baik dari lintas disiplin manapun. Yang akhirnya mau tidak mau sebagai seorang yang bergerak dibidang kesenian selalu mencari jawaban yang benar-benar “nyeniman”.
Sebagai sebuah pertanggungjawaban atas diri sendiri dan juga atas kelompok. Saya akhirnya menjaga diri tetap awas jika suatu waktu bertemu teman dan pertanyaan itu keluar. Akhirnya haus produktifitas terjadi. Ditambah lagi dengan situasi seperti ini. Jarang ada konser musik, pentas teater dan kegiatan nyeni lainnya. Sebagai orang yang sering berkegiatan di arena kultural seperti ini keresahan pasti timbul. Mencari kemungkinan lain untuk menjaga ide-ide kreatif tetap ada.
Kemudian mulai menalaah lebih jauh lagi. Apa yang sekiranya bisa dilakukan di situasi seperti ini? Membaca diri pada hari ini. Apa saja kecendrungan kegiatan yang sering dilakukan saat masa-masa sulit seperti ini. Akhirnya saya menemukan jawaban. Belakangan ini saya sering mendengarkan musik, menonton arsip pertunjukan teater, dan lain sebagainya. Sebagai sebuah perasaan rindu terhadap kegiatan di hari-hari normal. Banyak ide yang kemudian muncul dan mengendap di kepala. Ingin buat ini itu di saat nanti pandemi sudah berakhir. Tapi adakah kemungkinan lain yang bisa direalisasikan dari ide-ide yang mengendap belakangan ini?
Kalaupun nekat sepertinya bisa saja saya membuat sesuatu dan mengadakan acara dengan memanfaatkan situasi seperti sekarang. Saat segala pertemuan dibatasi. Saat segala pertemuan memiliki kapasitas yang distandarisasi. Memaksakan diri untuk membuat sesuatu dan bertemu oleh publik yang banyak, memang mustahil terjadi belakangan ini. Ibarat menjemput kematian dengan sengaja. Ternyata banyak pula kemungkinan buruknya yang mesti ditawar.
Tapi jika kemudian dibaca ulang, ada cara bertemu dengan publik luas tanpa harus melakukan pertemuan dan mendatangkan massa yang banyak. Membaca seberapa jauh akhirnya media sosial mencapai ruang-ruang pribadi kawan sekitar. Bahkan lebih, dia bisa mengakses dan muncul pada beranda orang yang bahkan tidak kita kenal. Katakanlah misalnya Instagram, Youtube, Twitter dan aplikasi lainnya. Yang sangat membantu kita untuk bertukar kabar lewat dunia maya. Pada hari ini segala kegiatan dan waktu kita hampir habis berada di depan smartphone pribadi kita. Saya mulai membaca ulang bisakah pengendapan ide kreatif saya menyentuh ruang-ruang itu?
Apalagi di saat kelompok sendiri sedang menyiapkan sesuatu yang panjang, saya pribadi butuh sebuah tantangan tersendiri sebagai angin segar. Sembari menjalankan apa yang sedang disiapkan oleh kelompok pada waktu mendatang. Apa yang dapat saya lakukan dalam waktu dekat ini? Berkolaborasi. Kolaborasi yang melibatkan pertanggung jawaban individu tanpa melibatkan kelompok. Walaupun pada akhirnya orang akan tetap membaca saya sebagai bagian dari Teater Kalangan. Kebetulan waktu itu teman saya Hendra Harmanda atau yang akrab saya panggil Ginting, menghubungi untuk mengajak kolaborasi.
Ginting memiliki sebuah grup band bernama Benten+62, sebuah band bergendre rock alternative asal Denpasar. Yang beranggota 4 orang anak muda mahasiswa yaitu Ginting (Vocal/Gitar), Dona (Gitar), Edo (Bass), dan Acong (Drum). Ginting dan bandnya hendak merilis sebuah single yang ingin dijadikan bentuk film pendek, atau video clip. Ginting kemudian menguhubungi saya untuk mengisi peran dalam video clipnya. Saya mengiyakan. Ternyata, tidak hanya mengisi peran dalam video clip saja. Tapi saya juga ditugaskan untuk mengisi vokal utama dalam lagu tersebut.
Bertanya saya kepadanya, “liriknya mana, Ting?”. Dia menjawab dengan nada yang santai, “kau dah yang buat, Guk.” Saya kaget bukan kepalang, apa-apaan saya yang notabene tidak punya latar belakang menyanyi dan menulis lirik kemudian dimintai pertanggung jawaban atas hal ini. Tapi Ginting tidak melempar hal itu dengan begitu saja. Dia tetap mendirect seperti seorang sutradara dalam sebuah pementasan teater. Dia intens mengajak saya untuk bertemu. Membicarakan segala konsep yang hendak direalisasikan oleh ide-idenya. Sebagai orang yang diajaknya dalam penggarapan ini tentu menempatkan diri bak gawang yang menerima segala idenya.
Kemudian setelah beberapa pertemuan akhirnya kami merasa bahwa bentuk kasar dalam apa yang hendak dibuat sudah terbayang dalam pikiran. Kemudian pengembangan ide pasti terjadi. Bagaimana sudut pandang memandang ide awal itu pasti memiliki perkembangan antara saya dan Ginting. Ide memang harus terus berkembang sampai nanti penggarapan berlangsung. Kemudian selang beberapa hari Ginting kembali mengabarkan bahwa akan mengajak salah satu teman nongkrong kami untuk ikut dalam kolaborasi ini. Galih, seorang mahasiswa Sastra Indonesia teman kampus Ginting. Tergabung dalam penggarapan ini sebagai orang yang nanti mengatur pengambilan gambar dan video.
Artinya, kini ada tiga kepala dan satu ide. Yang kemudian menjadikan ide awal yang disepakati menjadi berhamburan kesana kemari. Segala macam reverensi masuk. Sagala macam bentuk diceritakan sesuai pengalaman antara kami memandang video clip sebuah band. Tapi dari segala percakapan soal ide awal yang kini sudah jauh berkembang, akhirnya kami harus menyadari bahwa ide tersebut tidak bisa kami biarkan begitu saja ejakulasi.
Kami harus dengan sadar mendisiplinkan diri untuk mengetahui batasan-batasan ide. Kami seolah harus memberi pagar dalam semua ide yang diutarakan. Akhirnya kami menyepakati konsep sederhana yang hendak kami garap. Kami menghabiskan waktu dua minggu untuk sekedar membicarakan ide tersebut. Intensitas pertemuan di antara kami terawat dijaga. Hampir setiap hari kami berusaha bertemu walau hanya 1-2 jam untuk membicarakan penggarapan mendatang.
Menyatukan sebuah gagasan dengan sudut pandang berbeda-beda memang sangat tegang sekaligus seru. Bagaimana menyampaikan suatu gagasan dari lintas disiplin yang biasa intens dilakukan. Seperti saya yang berlatar belakang sebagai aktor dalam sebuah kelompok teater. Ginting sebagai anak band yang berkutat pada musiknya. Dan Galih seorang mahasiswa Sastra yang tidak sastra-sastra banget, yang berusaha menampung ide antara kami untuk divisualkan.
Saya rasa letak kolaborasi itu berada pada titik ini. Bagaimana kami dengan latar belakang yang berbeda tidak saling tumpang tindih dalam mengambil keputusan. Menyusun segala persiapan dengan pertanggung jawaban yang pasti. Agar kemudian jika nantinya yang kami lakukan dipertanyakan oleh teman atau kalangan manapun, pertanggung jawaban atas karya itu ada.
Beberapa waktu mendatang kami akan merilis sebuah video clip untuk band Benten+62, berkolaborasi bersama saya dan Galih. Berjudul “Penguntit”, yang lirik kami tulis dengan kesepakatan bersama dan mengalami perombakan yang berulang. Penempatan dan pemilihan ruang yang kami jadikan set utama dalam video clip-pun telah kami sepakati bersama. Bagaimana kostum dan segala simbol lainnya sudah kami pikirkan dengan matang. Tapi pada catatan pra realese ini saya tidak akan mengintervensi para penonton. Kami biarkan apa yang kami godok bersama menjadi sebuah hidangan yang dinikmati publik. Kami tidak akan memberitahu resep yang ada dalam tiap detik lagu dan video clip nanti. Kami biarkan hal tersebut terjadi begitu saja pada pikiran penotnon. Tapi sebagai sebuah pertanggung jawaban, nantinya akan ada juga catatan paska realese. Itupun kami susun bukan untuk membunuh segala interpretasi penonton paska menonton video clip “Penguntit”. Tapi yang sudah kami sepakati, itu hanya sebuah pertanggung jawaban kami dari tiap kolaborator dalam merealisasikan maksud dan idenya.
Menceritakan ketegangan dalam ruang diskusi dalam penggarapan video clip tersebut. Video clip “Penguntit”, tidak seseram dan setegang bagaimana catatan pra realese ini ditulis. Kami menggarapnya dengan sebegitu sederhana. Alat yang apa adanya, ruang yang apa adanya. Segala yang apa adanya. Dan hasil yang apa adanya.
Setidaknya di antara kami sama-sama puas ketika ide itu menjadi berguna. Ya walaupun sekali lagi jika nanti hasilnya apa adanya, dinikmati saja. Karena memang begini adanya. Catatan inipun ditulis apa adanya. Tidak menggebu-gebu. Sebagai penutup, FYI nantikan video clip “Penguntit” dari Benten+62, berkolaborasi dengan Agus Noval Rivaldi salah satu anggota dari Teater Kalangan dan AA Gita Galih Gumalang seorang mahasiswa Sastra Indonesia yang tidak sastra-sastra banget.
Untuk info lebih lanjut, teman-teman bisa pantau media massa Benten+62. Di akun Instagramnya : bentenofficials, Twitter: @bentenofficials dan karya-karya dari Benten+62 dapat didengarkan di Spotify: Benten 62, Soundcloud: BENTEN+62, dan digital platform lain kesayangan kalian. Salam 😊 [T]