Seorang bayi yang baru lahir menangis, seorang anak dengan mata dan kulit berwarna coklat. Dia menangis dengan keras untuk menandakan bahwa dia ada di sana. Meskipun beberapa bagian dunia tidak peduli, setidaknya orang-orang di sekitarnya sangat peduli. Doa dibisikkan di telinga kiri dan kanannya oleh ibunya. Dokter dan keluarganya tersenyum bahagia.
“Aku akan memanggilmu Chandra, jadi kau akan menjadi tanda untuk berdoa,” bisik ibunya.
Kelahirannya diumumkan oleh keluarganya. Ada yang berpura-pura bahagia, ada yang tidak bahagia sama sekali, ada yang tidak peduli dan ada yang terlihat bahagia. Apa yang istimewa dari bayi yang baru lahir? Tidak ada yang benar-benar istimewa bagi orang lain, tetapi bagi keluarga yang memiliki bayi tersebut, tentulah sangat istimewa apalagi jika sudah bicara soal upacaranya. Di tempat kelahiran Chandra, biasanya diadakan upacara-upacara meriah. Tarian tradisional, musik tradisional, aksesoris emas untuk bayi tak luput ada di sana. Sudah sebuah kewajiban bagi keluarga untuk melakukan upacara meriah tersebut.
Untuk Chandra, dia hanya tahu menangis dengan banyak pikiran di benaknya. Dia sama sekali tidak peduli dengan upacara tersebut. Upacara ini tidak hanya untuk dia, tetapi juga untuk keluarga mereka. Upacara yang luar biasa. Entah apa yang dipikiran Chandra, tentulah dia harus mengikuti semua itu bahkan jika dia tidak mengerti.
“Kami harap kamu menjadi sebaik Chandra yang ada di atas,” orang menyentuhnya.
Chandra tersenyum, bukan karena doa mereka tapi karena sesuatu yang lain. Tentu saja Chandra belum memahaminya. Chandra melihat seorang wanita tua membuat wajah lucu untuknya. Suara gong berbunyi lagi setelah sekaa gong memakan makanan tradisional yang disajikan, penari mulai menari, tertawa, ribut, nenek tua itu lalu pergi.
Semuanya berjalan dengan baik. Ibunya sedang duduk di beranda sambil mengasuhnya. Saat bulan perlahan muncul di malam hari di balik awan, ibunya mulai menyanyikan satu-satunya lagu yang menurutnya paling cocok untuk saat ini.
**Putri cening ayu
Ngijeng cening jumah
Meme luas malu
Ke peken meblanje
Apang ade darang nasi”**
Bersama jangkrik, air menetes dari keran, dia bernyanyi. Bulan bersinar tapi di beranda rumah terasa gelap. Bola lampu tidak cukup maka dinyalakan tiga lilin. Lebih baik daripada menyalakan bola lampu, pikirnya. Satu, dua, tiga, oops, angin menyebabkan lilin ketiga padam. Entah bagaimana, Chandra tersenyum dan itu membuat ibunya ikut tersenyum. Mereka menghabiskan sepanjang malam dengan dua lilin, bola lampu, jangkrik, tetesan air, dan lagu.
Cuaca semakin dingin, ibu memutuskan untuk masuk ke dalam rumah. Anehnya, suara jangkrik berhenti dan bulan perlahan memudar menjadi awan. Ibu membiarkan lilin menyala sampai perlahan-lahan padam meninggalkan asap. Saat asap mengalir ke langit, Chandra menutup matanya.
*
Hujan deras, Chandra berusia tiga bulan sekarang. Dengan matanya dia melihat keluarganya memindahkan meja banten ke tempat yang kering. Ini adalah upacara untuknya lagi. Tradisi lain yang bagus untuk diikuti, musik yang sama, penari yang sama namun suasananya berbeda.
“Inilah yang kami sebut sebagai berkat dari Tuhan,” teriak ibunya
Upacara masih berlangsung. Wanita tua itu datang lagi dan bermain dengan Chandra. Tidak ada orang yang melihat wanita tua itu karena mereka sibuk. Chandra sebenarnya harus mengikuti upacara lagi tetapi karena hujan, keluarganya memutuskan untuk melakukan hal lain yang tidak melibatkan Chandra. Pukul sepuluh, hujan tidak deras seperti sebelumnya. Sekali lagi, setelah hujan lebat, Chandra mengikuti upacara yang sama sekali tidak dia mengerti.
Hari itu hari yang sibuk, tapi di malam hari seperti biasa, Chandra bersama ibunya. Saat hujan lebat datang di siang hari, langit cerah datang di malam hari. Dengan banyak bintang di atas kepala mereka, mereka beristirahat. Sayangnya, tidak ada suara jangkrik. Tapi ibu Chandra sama sekali tidak peduli. Baginya, yang terpenting adalah waktu untuknya dan Chandra. Seorang ibu terkadang aneh. Setelah hari yang sibuk, mereka masih punya banyak energi untuk dihabiskan. Sedang di kamar, ayahnya sudah tertidur.
“Lagu apa hari ini? ”
“Apakah kau ingin lagu yang sama seperti biasanya? ”
“Atau apakah kau ingin menghabiskannya dengan diam? ”
Ibunya berbicara dengannya atau mungkin pada dirinya sendiri. Chandra hanya menggenggam tangan ibunya. Tidak berkata apa-apa, hanya mata yang berkedip. Waktu berlalu sangat cepat. Saat Chandra tertidur, Ibunya termenung sendiri. Melihat sekeliling dan menghela nafas. Ibunya masih merasa hari kelahiran anaknya kemarin. Barangkali karena kehangatan dan keramaian saat upacaranya masih sama seperti saat anaknya baru lahir
Memang, di tempat mereka jarak antar rumah tak begitu jauh. Sehingga jika satu rumah memiliki kegiatan tentulah keluarga lain langsung tahu. Tidak lupa mereka membantu tanpa memikirkan banyak hal. Mereka datang, membantu, lalu pulang. Mungkin sebuah tradisi. Tak ada peraturan tertulis soal ini. Hanya saja bagi keluarga di tempat itu, rasa-rasanya akan sangat berdosa bil sampai tak menampakkan wajah ketika ada keluar lain memiliki sebuah kegiatan. Secara kebetulan pula tempat itu selalu ditempati secara turun-temurun. Jadi tak pernah ada orang asing ataupun keluarga asing yang tinggal di tempat itu.
*
Hal itulah yang terus diceritakan ayah-ibunya dan terus diingat Chandra bahkan saat ia telah beranjak dewasa. Terlebih lagi saat ini ia sedang dihadapkan pada sebuah pilihan yang baginya cukup berat. Sebuah tawaran masuk ke emailnya pagi tadi. Tawaran itu terus ia pikirkan hingga malam harinya. Ia merasa akan menjadi durhaka pada ayah-ibunya yang telah tiada jika mengiyakan tawaran itu. Namun di sisi lain, hatinya tahu bahwa ia sebenarnya perlu mengiyakan tawaran itu.
Terbayang di benaknya jika ia mengiyakan tawaran itu. Tentulah sebuah upacara tak akan lagi seramai dulu atau sehangat dulu. Terbayang pula di benaknya semisal ia akan dianggap tulah dan menjadi anak yang tidak berbakti. Sampai lucut oleh keringat baju kerjanya. Rasa-rasanya, ia lebih baik dimarahi atasan saja dibanding harus membuat sebuah keputusan yang mungkin bisa membuat hidupnya berubah seratus delapan puluh derajat.
Bayangan-bayangan itu semakin nyata saja di kepalanya. Kembali terngiang ucapan ibunya beberapa tahun lalu saat ia baru lulus kuliah.
“Jangan jauh-jauh cari kerja, supaya gampang bersilaturahmi di sini!”
Ia semakin kebingungan ketika ia duduk di beranda. Kenangan masa kecilnya saat bermain layangan menghampirinya. Ia ingat sekali ketika saat itu terjatuh karena tertabrak anak-anak sebayanya. Yang pertama menghampirinya adalah nenek di depan rumahnya. Nenek itu mengobatinya sudah seperti anaknya sendiri. Tentu nenek itu juga telah tiada. Terlalu banyak kenangan membuatnya makin tak karuan. Ia meninggalkan beranda.
Tapi tetap saja, kenangan masa kecil lainnya tetap menghampiri. Teringat dengan jelas olehnya saat sepeda dewasa yang ia naiki remnya blong dan menabrak pagar rumah milik teman ibunya. Pagar rumah itu tetap dibiarkan penyok, tetapi luka kakinya segera diobati oleh pemilik rumah. Seolah pagar itu tak apa-apa.
Chandra ingin menangis. Ia semakin tak karuan saja. Terlebih lagi saat handhphone-nya berbunyi. Sebuah email. Ia buka dengan cepat. Rupanya dari orang yang memberikan tawaran tadi. Ternyata Chandra belum membalas pesan email yang orang itu kirimkan pertama tadi. Chandra hanya membaca email tersebut. Belum ada siapa-siapa yang ia kabari soal ia menerima tawaran ini. Baginya ini adalah masalah paling personal dalam hidupnya.
Malam semakin sunyi saja. Suara keran di kamar mandinya terdengar menetes pelan-pelan. Suara jangkrik dan suara angin justru membuatnya ingat ibu. Rasanya ia lebih baik jadi anak kecil saja. Meskipun saat itu ia tak pernah tahu soal upacara apa yang diikutinya, doa apa yang diucapkannya, gerakan apa yang dilakukannya, siapa yang datang menjenguknya, ia masih bisa tetap tersenyum. Bulan perlahan muncul. Chandra melihatnya. Ia sadar tak selamanya dia bisa berdiam dan tak memberikan kepastian soal tawaran yang muncul tadi. Bayangan masa kecilnya soal keluarga, layangan, beranda, sepeda dan lain-lain ia masukan kedalam hatinya. Ia harus membuat keputusan.
Dengan pelan Chandra menuju kamarnya. Ia buka email melalui laptopnya secara perlahan-lahan. Beberapa menit ia termenung melihat tulisan di layar laptopnya. Setelah menghela napas ia mulai mengetik sesuatu. Lama ia mengetik. Mengulangnya beberapa kali sampai akhirnya ia berhenti. Suara keran di kamar mandi terasa mengganggunya. Ia beranjak dan mengeratkan keran tersebut. Ketika kembali ia melihat lilin yang tinggal setengah. Sebab kemarin mati listrik. Ia termenung merasa ada sesuatu. Kemudian ia duduk di depan laptopnya dan kembali mengetik. [T]
** Lagu Putri Cening Ayu, lagu tradisional Bali
___