Perayaan ulang tahun sebuah kota tak bisa dilepaskan dari sejarah yang hadir di baliknya. Demikian pula dengan perayaan ulang tahun kota Denpasar. Dalam Perda Kota Denpasar Nomor 10 Tahun 2012, disebutkan hari jadi kota Denpasar ditetapkan pada tanggal 27 Februari 1788. Itu berarti, pada 27 Februari 2021, Kota Denpasar berusia 233 tahun. Dalam rentang waktu dua abad lebih ini, apa saja perubahan yang terjadi pada Kota Denpasar? Bagaimana kelahirannya? Mengapa tanggal 27 Februari yang ditetapkan sebagai tanggal kelahirannya kota Denpasar? Apa sebenarnya yang terjadi pada tanggal tersebut?
Jika bisa pergi ke masa lalu, tepat pada 27 Februari 1788, tentu kita akan menemukan kebenaran di baliknya. Sayangnya, manusia tak bisa memutar waktu. Ia hanya bisa mengira-ngira lewat arsip dan catatan sejarah. Sementara jika merujuk pada arsip dan catatan sejarah tahun 1788, tak ada keterangan yang menyebutkan 27 Februari sebagai kelahiran Kota Denpasar. Logikanya, bagaimana Denpasar bisa disebut kota apabila pada tahun tersebut, Pulau Bali masih berbentuk kerajaan?
Dalam konteks ini, perlu kiranya memulai pembacaan Denpasar dari sejarah perang kerajaan Badung tahun 1779, yang mana pada tahun tersebut wilayah kekuasaan Puri Satria berhasil diambil alih oleh I Gusti Ngurah Made. Menurut tulisan ‘Menelusuri Sejarah Kota Denpasar’ oleh sejarawan A.A Bagus Wirawan, sejak tahun itu pula I Gusti Ngurah Made diakui oleh rakyat Badung sebagai seorang raja. Karena Puri Satria sebagai pusat pemerintahan telah rusak dan hancur akibat perang yang terjadi, I Gusti Ngurah Made sebagai Raja Badung kemudian memutuskan untuk mendirikan keraton baru. Adapun lokasi keraton baru ini, terletak di sebelah selatan Puri Satria. Di sana terdapat sebuah taman bernama Taman Denpasar karena berada di sebelah utara pasar (lerpasar; denpasar).
Keraton inilah yang kemudian diberi nama Puri Denpasar. Keraton yang selesai dibangun pada tahun 1788 ini terbentang kokoh menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Badung selama 118 tahun. Hingga pada 1906, terjadi perang Puputan Badung. Raja dan pengikut Puri Denpasar serta segenap puri lainnya bersatu melawan Belanda melakukan puputan. Pasca Puputan Badung, Belanda pun berhasil menguasai wilayah Kerajaan Badung. Denpasar yang semula sebagai keraton tradisional ibukota Kerajaan Badung, ditata ulang oleh Belanda, dijadikan sebagai sebuah ibukota modern. Ibukota Denpasar kala itu menjadi tempat pusat pemerintahan daerah afdeling (setingkat kabupaten pada masa itu) Bali Selatan. Adapun Afdeling Bali Selatan tercatat membawahi lima onderafdeling (setingkat kawedanan—di bawah kabupaten, di atas kecamatan), yakni Karangasem, Klungkung, Gianyar, Tabanan, dan Badung.
Setelah proklamasi kemerdekaan, Bali masuk dalam bagian Provinsi Sunda Kecil dengan wilayah meliputi, Pulau Bali, Pulau Lombok, Pulau Sumbawa, Pulau Flores, Pulau Alor, Pulau Sumba, dan Pulau Timor. Provinsi Sunda Kecil beribu kota di Singaraja. Sementara Denpasar menjadi pusat pemerintahan Wilayah Daerah Bali. Hal ini berlangsung sampai 1958. Pada tahun 1958 pemerintah kemudian memberlakukan Undang-undang Nomor 64 tahun 1958 yang membuat Nusa Tenggara terbagi jadi tiga daerah Swatantra Tingkat I, yaitu Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Singaraja secara resmi menjadi ibu kota Provinsi Daerah Tingkat I Bali. Provinsi Daerah Tingkat I Bali sendiri dibagi lagi menjadi delapan Daerah Swatantra Tingkat II, yaitu Jembrana, Tabanan, Badung, Gianyar, Bangli, Klungkung, Karangasem, dan Buleleng. Denpasar pada masa ini menjadi ibukota Daerah Swatantra II Badung.
Dalam tulisan IDG Palguna berjudul ‘Kapan Hari Jadi Kota Denpasar’, dapat dibaca kemudian perkembangan Denpasar berdasar pada Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah tanggal 23 Juni 1960, No. 52/2/36-B6, yang memutuskan bahwa Kota Denpasar sebagai ibukota Provinsi Daerah Tingkat I. Artinya, pada tahun inilah Denpasar resmi menjadi ibukota Provinsi Daerah Tingkat I (Provinsi Bali). Adapun alasan pusat pemerintahan dari Singaraja ke Denpasar sampai saat ini masih menjadi misteri. Dalam konteks ini, yang menarik untuk dicermati pula adalah selain menjadi Dati I Bali, Denpasar juga menjadi ibukota Daswati II Badung yang kemudian menjadi Daerah Tingkat II Badung.
Pada tanggal 27 Juni 1974, diterbitkan SK Gubernur Kepala Dati I Bali atas usul Pemerintah Kabupaten Dati II Badung untuk menjadikan Denpasar menjadi kota administratif. Kemudian pada tanggal 5 Maret 1977, Bupati Kepala Dati II Badung mengirim usulan kepada Gubernur Kepala Dati I Bali untuk diteruskan kepada Menteri Dalam Negeri RI di Jakarta. Atas dasar usulan itulah kemudian terbit Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1978 tentang pembentukan Kota Administratif Denpasar. Setelahnya, pada tanggal 28 Agustus 1978, Menteri Dalam Negeri RI meresmikan Denpasar menjadi Kota Administratif.
Pada tahun 1992, kota Administratif Denpasar kemudian “ditingkatkan statusnya” menjadi Kota Madya Daerah Tingkat II Denpasar berdasarkan UU No.1/1992 pada tanggal 27 Pebruari 1992. Dalam tulisannya, Palguna juga menjelaskan bahwa secara substansial-konseptual, hal ini merupakan bagian dari implementasi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pemerintahan Di Daerah yang menerapkan konsepsi otonomi menumbuhkan asas desensentraliasi (penyerahan wewenang pemerintah pusat kepada daerah) dengan dekonsentrasi (perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah).
Secara sederhananya hal ini dapat dilihat dari “status ganda” daerah otonom maupun yang memimpin daerah otonom Kota Madya Daerah Tingkat II Denpasar. Kota Madya adalah pengejawantahan asas desentralisasi, sedangkan Daerah Tingkat II adalah pengejawantahan asas dekonsentrasi. Lalu yang memimpin disebut Walikota Kepala Daerah Tingkat II Denpasar. Walikota mengejawantahkan kepala daerah otonom (wakil daerah), sedangkan Kepala Daerah Tingkat II mengejawantahkan wakil pemerintah pusat di daerah (dekonsentrasi).
Tak sampai disana, tujuh tahun setelah diresmikannya sebagai Kota Madya Daerah Tingkat II, Denpasar kembali mengalami perubahan. Pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, Kota Madya Daerah Tingkat II Denpasar berubah lagi statusnya menjadi (daerah otonom) Kota Denpasar. Hal ini membuat Denpasar menjadi daerah otonom yang hampir dalam keseluruhan pelaksanaan fungsi pemerintahannya didasarkan pada asas desentralisasi dan secara struktural tidak merupakan “bawahan” provinsi.
Kembali pada soal hari jadi Kota Denpasar pada tanggal 27 Februari 1788, menurut A.A Bagus Wirawan, berdasar pada fakta sejarah yang ditemukan, ada dua yang bisa dijadikan bahan pertimbangan menyusun hari kelahiran Denpasar. Pertama adalah tahun 1788 yang merupakan berdirinya Puri Denpasar sebagai ibukota Kerajaan Badung yang berdaulat dan otonom. Yang kedua adalah 27 Februari 1992 sebagai tanggal diresmikannya Kota Denpasar yang berdiri secara otonom dan modern. Artinya, 27 Februari 1788 ini merupakan gabungan dari kedua momen sejarah panjang pada Kota Denpasar yang berawal mula dari kota keraton tradisional Puri Denpasar sampai diresmikan menjadi kota otonom dan modern oleh Menteri Dalam Negeri RI.
Hal ini telah diuji dan diverifikasi yang dilakukan lewat seminar pada 19 September 2012 oleh tim peneliti yang dibentuk atas kerjasama Pemerintah Kota Denpasar dengan Universitas Udayana. Hari jadi inilah yang ditetapkan melalui Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 10 Tahun 2012 di Denpasar, 12 Desember 2012 oleh Walikota Denpasar Rai Dharmawijaya Mantra. [T]