MENJADI IBU
Seperti terlahir di kelopak bunga
ada semerbak mengelus rahimku
bersama merahnya darah
dan putihnya warna tulang
Di pelataran ini aku belajar gerak bintang
menganyam tutur anak-anak angin
menjadi dongeng-dongeng kecil
dalam lukisan musim yang baru bersemi
kualirkan susu madu dalam detak nadimu
bersama lelakiku
cintaku tak putus
sakitku telah pupus
( Agustus 2008)
MATAHARI TENGGELAM DI DANAU BATUR
Matahariku,
di tepi air ini aku menyuratkan doa
berikan ruang yang terang, waktu yang luas ,
tempat aura putih kita bersemayam panjang
dalam doa-doa biru
tempat kita menitipkan cinta
Senja ini, engkau kupanggil kembali matahari
saat hujan mulai menaburkan kabut
di sela-sela ilalang yang kita lewati
hari-hari sudah menunggu begitu lama,
jangan engkau tenggelamkan pagi
yang selalu kurindukan
Matahariku, dinginnya air tawar ini menggodaku sempurna
aku enggan menyandingkan malam tak berbulan diwajahmu,
nanti matamu tenggelam dalam pekatnya danau
yang mengheningkan cinta di jemarimu
kita pernah menghitung pelarian
dari musim-musim kelam di masa silam
lalu kita sepakati membangun cerita
diam-diam di ruang temaram
Engkau kupeluk lagi matahari,
mari tenggelam bersama disini,
tempatmu ada disini
meski rasanya tawar,
danau ini berwarna abadi
(Batur, Juni 2017)
PEMUJA API DI TANAH TIMUR
(1)
Di bulan kesembilan,
wajah –wajah batu menggeliat gelisah
ada aroma panas berhembus di utara
burung-burung sedikit murung
dedaunan melayu gugur tanpa iklas
udara dan kabut menjalin cerita muram
di lembah-lembah yang lengang
Saat penghujung bulan,
cerita berlomba menggiring kaki-kaki tua menuju selatan
meninggalkan batu-batu tempatnya memuja
kisah para api yang semula menjadi cerita
dipaksa tiba-tiba menjadi nyata
pemujaan itu belum selesai tuan!
dan kami pergi menjauh
(2)
Bulan kesepuluh berlalu sempurna
dari selatan kunantikan cerita dari timur dan utara
wajah batu tak bergeming,
setia dengan aroma panas, kabut dan udara warna warni
mengarang cerita, memabukkan kerinduan kampung batu,
pemuja api, istana pasir dan kerontang di tanah timur
kaki-kaki tua melangkah kembali pulang,
biarlah pemujaan itu kembali dekat wajahMu
api itu hidup didarahku,kupuja dan kuberikan sesaji wangi
entah Engkau akan membakar atau menjiwai tanah ini,
Apakah tuan ingin peduli?
(3)
Tiba di akhir bulan kesebelas,
pemuja api khusuk menikmati aroma lembah,
kampung dan halaman berpasir yang memanggil pulang
akhirnya wajah batu menangis tersedu,
mengirim air kelabu, udara abu-abu dan api yang memerah pelan
aku yakin pemujaan ini tidak sia-sia
Kau akan tersenyum memetik sesaji dan doa-doa
sesekali menggoda dengan aroma panas dan sedikit gelisah
dan pemuja apimu
mencintai wajah batumu dengan sempurna
(Erupsi GA, Sept-Nov 2017)
EDELWEIS YANG TAK ABADI
Senja ungu turun dan bermuram
berkabar sesaat di ujung daun-daun edelweiss
yang memutih, pucat dan memelas
ada sebait pesan biru kutangkap pilu
sepertinya cerita keabadian itu
mulai menepi pelan-pelan
Aroma gunung tiba-tiba memanis
membius senyum kemenangan sempurna
beranikah ingkar kepada keabadian yang kau agungkan?
Kelopak edelweis menggugurkan air mata satu demi satu
dan benar kau harus membawa keabadian ini
tak lagi lekang,
apalagi terkenang
kalimat itu terlukis abu-abu di langit yang kembali ungu
aku ingin ikhlas
edelweis ini tidak lagi abadi
#Besakih, Pebruari 2019
PURA LEMPUYANG
Ada pintu surga yang ditawarkan penuh doa
lalu kau betangkan tangan
mencakupkan jemari sempurna
di bawah lembayung yang perlahan menipis
direngut malam
Ada pintu surga yang menyambutmu dalam doa
hitunglah tangga-tangga waktu
sebelum pujamu menjadi mantra
kau tak akan bisa meghentikan bunyi genta
dan aroma dupa berbalut cendana
hingga khusukmu memutih bersama
Sekarang ketuklah pintu surga itu
dalam hening hatimu
Dia ada disana,
kembali berwarna lembayung
dan menyucikan dirimu sempurna
#Februari 2019
- Puisi-puisi ini terkumpul dalam buku antologi puisi “Ayahku Sebatang Roh” yang penerbitannya masih dalam proses