Belakangan, saya sering mendengar seorang kawan kusu-kusu membicarakan Jegog. Kusu-kusu tak setuju terhadap pengkapitalisasian Jegog dengan dugaan-dugaan kabur, tentu. Hal itu karena ia tak punya struktur diagnosa yang kuat. Meski tak bertumpu pada analisis yang rinci, secara kasat mata memang demikian adanya.
Jegog hampir 90% dipanggungkan pada beranda hotel dan luar negeri. Jika hal itu dipandang sebagai upaya untuk meningkatkan finansial pelakunya, saya pikir bukan begitu adanya. Banyak pelaku Jegog yang justru hidup dari bertani dan bekerja sebagai buruh bangunan.
Geliduh (yang konon pencipta Jegog), agaknya masih cukup kuat digunakan sebagai tumpuan untuk memandang Jegog masa kini. Kekuatan kapitalis dewasa ini memang masih menjadi kontrol perkembangan kesenian (saya kira telah merambah kesenian apa pun di Bali, tak hanya Jegog). Apabila hal ini disalahkan publik, agaknya keliru. Karena mereka melupakan pemegang kekuasaan sebenarnya adalah si pelaku.
Tapi, apakah berarti yang bersalah mutlak adalah si pelaku? Saya kira tidak juga. Banyak faktor memengaruhi Jegog itu sendiri yang (terpaksa) berkembang dalam artian dikuasai permintaan kapitalis, sehingga segala perangkatnya harus berubah. Bukan juga karena pemikiran yang memandang kesenian adalah persaingan antar kesenian dalam perebutan panggung, akan tetapi juga hal lain di luar itu masih bisa berhubungan.
Perubahan Jegog baik dari segi penonton dan panggung tak sejalan dengan ikatan kolektif yang dititipkan Geliduh, sehingga membuat perubahan zaman dengan leluasa menekan dan mengubah pakem Jegog yang telah ditetapkan secara kebiasaan. Atau, barangkali zaman telah mengubah pola pikir, bahwa lebih gampang mengikuti arus?
Kesimpulan-kesimpulan macam itu memang kedengaran agak ganjil dibanding kesimpulan kebudayaan hasil formulasi berbagai macam pendapat penelitian para budayawan. Budayawan kadangkala memang dianggap memegang otoritas atas kebudayaan itu sendiri. Tapi tidak pada Jegog. Kesulitan pemahaman akan struktur kehadiran kesenian Jegog itu sendiri tak terdefinisikan, sehingga membuat beberapa budayawan yang mencoba mendekat, perlahan dipukul mundur oleh kekacauan pemaknaannya sendiri.
Oleh sebab itu, kiranya para pegiat dan seluruh yang bisa disangkutpautkan harus menumbuhkan keberanian, bukan saja keberanian menolak perlakuan kapitalis, tapi juga keberanian untuk meragukan moderinisasi dan berani mengatakan bahwa kebutuhan Jegog yang sebenarnya adalah pencarian nilai dan kolektivitas. [T]