“Saya masih percaya, terlepas dari segalanya, bahwa setiap orang memiliki hati yang baik.” — (Anne Frank)
Aktivitas menulis, jika dicermati, tidaklah sekadar kegiatan untuk menuangkan gagasan dalam bentuk narasi. Secara meyakinkan, menulis telah menyediakan ruang kreatifitas yang sedemikan panjang, lebar dan tinggi. Menulis dapat memberikan sudut pandang spesifik dan parsial dari satu fakta atau sebaliknya dapat membawa fakta pada cara pandang umum. Darinya dapat tercipta perspektif benar-salah atau baik-buruk yang menggugah intelektualitas manusia dalam memandang sebuah persoalan.
Terkhusus dalam tulisan sastra, bahkan kita dapati lebih menakjubkan lagi. Ia dapat mewujudkan satu hal sederhana atau sepele dalam narasi yang kompleks menuntut perhatian kita atau sebaliknya menuliskan keruwetan persoalan dengan gaya bersahaja yang mengendurkan rasa beban kita. Sastra secara nyata telah memuliakan penderitaan, membuat indah kepedihan, mengampuni kekhilafan, mengaitkan perbedaan dan mengingatkan keangkuhan. Ia hadir untuk semuanya.
Mungkin karena itulah sastra letaknya dekat dengan agama. Tak sedikit filsafat agama dititpkan dalam berbagai karya sastra (epos). Taruhlah epos adiluhung Mahabrata atau Ramayana, yang di dalamnya termuat filsafat Hindu yang tak terkira jumlah dan kualitasnya. Karya-karya sastra penulis masyur Timur Tengah abad ke-12, Jalaludin Rumi, atau pujangga tiada duanya kelahiran Lebanon, Kahlil Gibran yang telah meleburkan berbagai kebaikan filasafat agama ke dalam ajaran sufi yang universal.
Penulis modern seperti Dan Brown pun cukup lugas menyematkan filsafat dan tradisi agama, terutama iman kristiani dalam novel-novelnya yang begitu menegangkan. Ia bahkan tak segan-segan melakukan otokritik yang lebih frontal jika tentu saja dibandingkan dengan sastrawan-sastrawan sufi yang melakukannya dengan sangat indah dan penuh kelembutan. Hal sangat menarik pun telah diciptakan oleh sastrawan tanah air yang juga seorang pastur, YB Mangunwijaya yang humanis. Sebagai seorang yang juga scientific, ia tak ragu-ragu menautkan spiritualitas dan seksualitas yang menurut pandangan umum selalu bertentangan lalu menjadi hangat bersetubuh dalam buku-buku sastra yang ditulisnya.
Akan sangat menarik jika kita, sedikit membahas penciptaan karya tulis yang tercatat sedemikian emosional oleh penulisnya dan memang kemudian dampaknya telah menggemparkan dunia. Annelies Marie Frank, sosok gadis Yahudi lugu kelahiran Frankfrut, telah menjadi bagian dari sejarah penting manusia berkat catatan hariannya. Ia, secara instingtual telah tergerak tangannya untuk menuliskan hari-harinya yang begitu suram dan menakutkan dalam kejaran pasukan Nazi yang bengis dan haus darah.
Ketekunan Anne Frank telah menciptakan jalinan antara gelombang berdebu sejarah paling kelam dunia dengan untaian kisah hari demi harinya yang sangat pribadi dan mengharukan. Ada jutaan anak-anak Yahudi yang telah mengalami kengerian kisah hidup yang tak terperikan, namun Anne lah yang telah “terpilih” untuk mencatatkannya dengan cara sangat pribadi. Catatan harian itu kemudian dicetak dalam 70 bahasa dan telah menginspirasi jutaan anak-anak di seluruh dunia akan nilai-nilai pantang menyerah dan ketekunan.
Penulis tanah air paling kontroversial dalam sejarah sastra Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, pun memiliki kisah penciptaan karyanya yang begitu emosional dan dramatis. Itu pula yang telah membawa bukunya diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di dunia kelak. Sebagai tahanan politik pemerintah orde baru di Pulau Buru, dengan diam-diam ia telah menulis sejumlah buku dalam gulag yang mengungkungnya. Mirip seperti kisah Anne, tepatlah untuk mereka ditujukan frase yang berbunyi, “Tubuhku boleh kau penjarakan, namun pikiranku kan tetap merdeka.” Maka menulis adalah kemerdekaan yang selalu abadi. Bahkan Pram, dalam satu wawancara mengatakan dengan penuh keyakinan, ia menulis di Pulau Buru, hanya demi anak-anaknya kelak paham, bahwa mereka pernah memiliki seorang ayah.
Bagi siapapun mendengar atau membaca ini, akan berusaha menahan air mata agar tak menetes. Ia menulis untuk satu alasan yang sangat sederhana namun sedemikian prinsip, monumen jalinan darah daging dengan anak-anaknya. Betul-betul sebuah kemerdekaan hakiki. Meski kemudian buku-bukunya telah melampaui maksudnya yang demikian sederhana menjadi karya tulis yang paling disegani tak hanya di negeri sendiri.
Menulis, telah mengingatkan kepada kita, segalanya yang ada dalam hidup ini adalah penting, atau sebaliknya, segalanya sederhana dan biasa saja. Ia menjaga sikap dan pikiran kita untuk dapat selalu berdiri di tengah-tengah tuas keseimbangan, karena di sanalah segalanya dapat dilihat selalu penting dan sekaligus sederhana. Menarik yang buruk dalam kehangatan ikhlas dan mengajak yang gilang gemilang untuk membagi berkas sinarnya. Menghargai setiap hal di dunia ini adalah sesuatu yang penting dan pada saat yang sama, perlu melihat segala yang penting adalah biasa saja, tanpa disadari, itu telah menjaga sel-sel otak kita akan lestari dalam kewarasan.[T]
___