“Ayo, dicobain dukunya, duku hasil kebun nih,” kata lelaki empunya rumah menawarkan duku dalam nampan yang disajikan di meja setelah kopi.
“Hasil panen, Bang?” Itu kalimat pengantar tangan menjuntai, mengambil buah duku dari nampan.
“Panen, hasil kebun orang, saya sih beli,” jawabnya.
Jawaban yang kemudian diikuti dengan tawa gelak tawa.
Barisan warung-warung kecil di pinggir jalan yang menjual duku menjadi pemandangan menarik ketika menyusuri ruas jalan menuju ke Kecamatan Merapi Barat, Kabupaten Lahat, Sumatra Selatan. Lokasi itu adalah kediaman lelaki dengan senyum ramah dan biasa kami panggil dengan sebutan Bang Wat.
Melihat deretan duku yang digantung dan ditawarkan bagi pengguna jalan lintas Sumatra, tentunya menjadi penanda bahwa sedang terjadi panen duku di kebun milik warga.
Namun sayang, panen duku tahun ini bukan milik dia. Di memang punya pohon duku, namun untuk musim duku tahun ini, Bang Wat harus rela merogoh kocek dari dompetnya sekadar untuk menghadirkan buah duku ke meja teras rumahnya. Apakah pohon dukunya tidah berbuah atau bagaimana? Tunggu dulu.
Tentang Duku
Berbeda dengan tanaman hias dengan trend musiman, duku merupakan pohon buah yang selama bertahun-tahun mengisi ladang warga. Umurnya bisa mencapai puluhan tahun. Tidak terkecuali bagi warga Desa Muara Maung, sebuah desa kecil di jalur lintas Sumatra. Hubungan mereka dengan tanaman duku seperti hubungan tak terpisahkan bertahun-tahun.
Umur duku yang bernama latin Lansium parasiticum (Bahasa Bali: Ceroring) ini memang panjang. Umur yang panjang ini tentu membuat hubungan tersendiri dengan mereka yang hidup di sekitarnya. Hubungan yang terjalin dari semenjak masa kanak-kanak.
Hubungan itu dialami jug aoleh Bang Wat. Sejak kanak-kanak, sosok murah senyum ini punya pengalaman dan perasaan tersendiri bagaimana rasanya memanjat dan memanen buah duku yang tumbuh di ladang keluarganya.
Di tengah dunia yang melaju liar, di mana pertumbuhan ekonomi menjadi masinis yang kalap, semua barang diukur dengan standar nilai ekonomis, nilai yang tentu saja juga dimiliki oleh sebiji buah duku. Namun ada hal yang jauh lebih sederhana dari sekedar nilai rupiah yang bisa dihasilkan dari buah duku yang berhasil dipanen; Nilai sosial.
“Bukan, bukan itu. Bagi saya yang utama bukan untuk dijual.” kata Nursahiba, perempuan tua yang sore itu ikut menikmati senja di teras Bang Wat.
Kalimat itu keluar ketika ada pertanyaan tentang berapa kerugian secara ekonomi yang dialaminya saat ini ketika ia tak lagi ikut panen duku.
“Ada dua pohon duku besar, yang sudah tumbuh dari jaman kakek-nenek saya.” katanya. “Pada bulan-bulan sekarang biasanya buahnya biasa dibagikan pada keluarga dan tetangga,” lanjutnya.
Nursahiba menceritakan tentang sebuah kebiasaan tahunan yang telah berlangsung secara turun-temurun. Menurut Nursahiba, siapa saja yang mau buah duku tinggal minta ke kerumahnya.
Itu menarik. Itu sebuah kebiasaan sederhana yang dihadirkan oleh sebuah pohon duku, kebiasaan yang kemudian nyaris hilang seiring dengan peristiwa naas yang menimpa pohon duku miliknya. Daun-daun berguguran, dan batang-batangnya mengering.
Kebiasaan membagi buah duku yang berlangsung turun menurun harus putus. Pohon duku yang diwariskan kepadanya harus mati.
“Saya ingat betul bagaimana dulu minta buah duku ke rumah Bu Nur!” Bang Wat menimpali.
Duku bukanlah tanaman yang sekarang ditanam dan setahun akan berbuah, butuh kesabaran beberapa tahun untuk merawat dan menunggu dia berbuah untuk pertama kali. Kesabaran yang akan terbayar dengan untaian buah kuning dan manis yang bisa dipetik setiap tahun. Kesabaran yang kemudian tidak hanya bisa dinikmati oleh generasi yang menanam, namun juga bisa diwariskan untuk dinikmati oleh generasi anak cucu. Warisan yang tidak hanya berupa sebuah pohon yang bisa dipanen, namun juga warisan nilai untuk berbagi pada sekitar yang terkandung dibalik rimbun daun dan ranum buah duku yang menguning.
“Kini saya tidak bisa lagi memberikan buah dari pohon-pohon duku di pekarangan.” ucap Nursahiba diikuti helaan napas yang berat.
Perasaan duka terdengar jelas keluar bersama cerita yang dituturkan. Perasaan duka akibat kehilangan pohon-pohon duku yang sebelumnya tumbuh subur di ladang yang letaknya tidak jauh dari rumahnya. Duka akibat kehilangan warisan yang dipercayakan padanya. Kehilangan pohon yang selama ini menjadi media perawat hubungan sosial dan menjadi sarana komunikasi dengan keluarga dan orang-orang terdekatnya.
Kisah Kematian Pohon Duku
Kematian pohon duku milik Nursahiba bukan terjadi secara wajar akibat umur yang tua. Kematian itu terjadi dalam waktu yang relatif cepat, dan tidak hanya menimpa duku yang berusia puluhan tahun, namun juga menimpa tanaman lain seperti pohon durian dengan usia yang tidak kalah tua dengan pohon yang masih aktif berbuah.
Berbicara tentang durian di desa itu tentu tidak lepas dari tempoyak, olahan warga sebagai sebuah usaha menyiasati produksi durian yang berlimpah. Olahan yang biasanya dibuat disetiap keluarga menggunakan hasil panen durian dari ladang yang tak kunjung habis dimakan.
Namun sayang, tanaman-tanaman buah warisan tersebut harus mati, kematian yang diakibatkan oleh luapan sungai. Sungai yang selama ini menghidupi mereka kini berubah menjadi ancaman pada warisan yang harus mereka rawat dan teruskan.
Desa Muara Maung dilalui oleh Sungai Kungkilan, sebuah sungai yang melintas di tengah kampung yang kemudian bermuara ke sungai yang lebih besar, Sungai Lematang. Sungai Lematang merupakan sungai besar dan panjang yang bertugas membawa aliran air ke Sungai Musi. Sungai yang menjadi ikon kota Palembang, ibu kota Sumatra Selatan.
Luapan Sungai Kungkilan bukan peristiwa baru. Setiap tahunnya pada bulan-bulan tertentu sungai ini akan meluap. Luapan sungai yang oleh warga berarti akan membawa kesuburan, karena setelah meluap maka akan banyak humus dari hulu yang akan sampai ke ladang-ladang mereka. Namun hal itu kini terbalik.
Luapan Sungai Kungkilan kini membawa lumpur halus. Lumpur-lumpur itu yang kemudian masuk menyelinap ke kebun-kebun warga, menutup akar dan pangkal pohon buah yang ada di kebun-kebun warga.
Apakah kemudian Sungai Kungkilan bisa dikambinghitamkan karena sekarang membawa lumpur ke kebun dan pekarangan rumah warga? Disalahkan karena mengkhianati warga dengan tidak lagi membawa humus yang menyuburkan namun membawa lumpur yang kemudian berakibat membinasakan tanaman buah warga?
Sungai hanya ruang yang bertugas mengalirkan air dari hulu ke hilir, dia tentu tidak memiliki kuasa untuk mengatur apa atau sekedar untuk memilih apa yang bisa melewatinya dan apa yang tidak boleh. Dia hanya ruang bagi air dan apa yang terkandung didalamnya untuk melintas menuju samudra lepas. Peran sederhana yang kemudian menjadikan sungai sebuah relief hidup dari bagaimana hubungan manusia dengan air. Dan Sungai Kungkilan menjadi salah satu relief yang begitu gamblang mengisahkan sebuah masa dengan perubahan prilaku yang terjadi.
Perubahan dari hulu yang dahulu rimbun dengan tutupan pepohonan rindang, kini riuh oleh mesin, alat berat yang menguliti lapisan tanah untuk mencari permata hitam, batu bara. Jejak tumbuhan yang telah membatu dan terpendam dalam tanah sedang laris, kristal ingatan dari bagaimana rindangnya hulu digali sebagai sumber energi. Pelakunya tentu saja mereka yang punya kekuatan modal, karena untuk bisa mengeluarkan batu bara dari perut bumi butuh biaya yang tidak bisa dipenuhi dengan hasil panen durian atau duku.
Aktivitas pertambangan di sekitar sisi hulu Sungai Kungkilan yang telah berlangsung sekitar 12 tahun terakhir, dan akibatnya kini harus ditanggung oleh warga Muara Maung yang ada di hilir sungai. Luapan humus yang bersaman dengan luapan air-air Sungai Kungkilan ketika hujan kini telah berganti dengan luapan lumpur yang bercampur dengan butiran halus sisa debu batu bara yang hanyut. Lumpur hasil penggalian tambang yang kemudian bersama dengan guyuran hujan, mengalir bersama air melalui Sungai Kungkilan. Volume aliran yang tak lagi sanggup ditampung oleh badan sungai terpaksa harus dimuntahkan, menjadi luapan yang menggenangi pekarangan dan kebun warga.
Luapan lumpur yang akhirnya membunuh pohon duku dan pohon lain yang usianya jauh lebih tua dari umur pertambangan di hulu Sungai Kungkilan. Perlakuan pada wilayah hulu sungai yang kini hanya dipandang dengan kaca mata ekonomi, berapa rupiah keuntungan yang bisa digali. Sementara di saat yang sama tanaman buah warga di hilir perlahan tapi pasti mulai mengering, mati tertimbun lumpur.
Kerugian yang tentu saja tak bisa dihitung dengan angka apalagi dirupiahkan. Bagi Nursahiba atau Bang Wat, duku bukan hanya sekedar buah yang sekilo bisa ditebus dengan nominal Rp. 15.000,00-, tapi lebih dari itu duku adalah warisan yang harus dirawat, ada jalinan emosi dan nostalgia yang membentang dan secara nyata telah menjadi perajut jalinan interaksi sosial, nilai yang tidak mungkin bisa dirupiahkan. Kematian satu pohon duku bisa berarti terputusnya interaksi dengan keluarga atau tetangga sekitar.
Dan yang lebih mengerikan tentu saja bagaimana Sungai Kungkilan yang kemudian dengan seenaknya digunakan menjadi agen untuk mengirimkan lumpur yang kemudian membunuh pohon-pohon tersebut.
Sungai yang kemudian kemudian menjadi relief bagaimana sebuah ruang hidup berubah seiring dengan perubahan orientasi manusia yang hidup di dalamnya. Dari yang lebih memilih menjaga tutupan lahan dengan pepohonan demi merasakan luapan air sungai sebagai berkah dengan humus yang menyuburkan. Kini memilih untuk rakus menggali batu bara dan membuat luapan air sungai menjadi momok yang mengancam warga yang sudah turun-temurun hidup dan beranak-pinak di dalam ruang hidup tersebut. [T]