Apa yang terlintas di benak kita ketika mendengar Kama Sutra? Secara lantang dan lugas pikiran kita akan tertuju pada sebuah karya yang mengajarkan tentang kiat-kiat berhubungan intim antara dua jenis seks (jenis kelamin) yang berbeda. Mungkin kita akan tertawa, sekaligus berbisik-bisik dengan sangat serius apa yang tertuang dalam karya ini. Apalagi, Kama Sutra tidak hanya dikenal dalam entitas Hindu, tetapi mahakarya ini sudah dikenal luas masyarakat Barat. Anggapan bahwa Kama Sutra merupakan karya yang memuat ajaran seksualitas tidaklah salah, namun konsensus sosial tersebut perlu dilakukan disensus, agar pemahaman kita tentang “kitab” ini tidaklah dangkal.
Sebagai pembelajar sosiologi, saya selalu diajarkan untuk terus mempertanyakan tentang pemahaman serta kesepakatan sosial tentang suatu hal. Istilah ilmiahnya, apa yang menjadi konsensus sosial belum tentu benar secara intelektual. Sama seperti masyarakat luas mendefinisikan eksistensi Kama Sutra, yang disangkutpautkan dengan kompendium atau ajaran tentang seksualitas, padahal lebih dari itu Kama Sutra mengajarkan kiat-kiat untuk menegakkan ajaran Dharma atau nilai-nilai kebaikan, khususnya dalam eskatologi umat Hindu. Saya hanya ingin mengatakan, “mari berkenalan dan memahami ajaran implisit yang ditulis Vatsyayana ini!”
Kama Sutra, sebuah karya “seksi” sebagai kompendium yang memuat sekaligus mengajarkan tentang makna keindahan dan cinta. Karya besar ini ditulis oleh seorang pembelajar asal India bernama Vatsyayana. Sebelum berkenalan dengan karya besar ini, secara etimologi Kama Sutra erat kaitannya dengan mitologi Hindu. Diceritakan bahwa, dunia dewata (dunia para dewa) dihadapkan dengan masalah besar. Masalah itu berasal dari asura (raksasa) yang berusaha menghancurkan tempat tinggal para dewa. Melihat situasi yang semakin chaos (memburuk), maka Dewa Brahma menugaskan Dewa Kama untuk menemui Dewa Siwa (dalam kepercayaan Hindu, Dewa Siwa dianggap sebagai dewa tertinggi, karena memiliki tugas melebur alam semesta. Inilah alasan, beliau mendapatkan gelar sebagai ‘Mahadewa’ atau dewa tertinggi). Namun ketika ditemui, Dewa Kama melihat Dewa Siwa sedang ‘tenggelam’ dalam tapa.
Dewa Kama mengingat pesan dari Dewa Brahma, hanya Dewa Siwa yang dapat menyelamatkan para dewa. Karena, ketika Dewa Siwa tertarik dengan seorang dewi, serta memiliki anak atas ketertarikan itu, maka anak inilah yang mampu mengalahkan asura (raksasa). Teringat hal itu, maka Dewa Kama bersembunyi dibalik semak-semak, mengeluarkan busur dan anak panah yang penuh dengan bunga. Ketika dilesatkan, anak panah yang penuh dengan bunga tersebut mengenai tubuh Dewa Siwa, Dewa Siwa terbangun dari tapanya. Alih-alih langsung tertarik dengan seorang dewi, Mahadewa yang terbangun dari tapa, langsung mengeluarkan api dari mata ketiganya, seketika Dewa Kama yang bersembunyi dibalik semak-semak, hangus terbakar menjadi abu. Namun, berkat Dewa Kama akhirnya Mahadewa tertarik dengan seorang dewi dan memiliki seorang anak. Anak inilah yang membunuh asura (raksasa) yang pada saat itu membuat alam dewa menjadi gempar. Terbakarnya Dewa Kama yang bersembunyi dibalik semak-semak karena kemarahan Dewa Siwa, menjadi mitologi bahwa cinta tidak dapat kita lihat dan cinta berada dimana-mana.
Vatsyayana menulis magnum opus ini sebagai bentuk panduan dalam menemukan esensi cinta yang tidak hanya terbatas pada hasrat akan ketubuhan atau kedagingan semata, namun ayat-ayat indah dalam karya ini berusaha menuntun manusia dalam dunia material, untuk mendalami makna sebuah keindahan. Sebagai teks erotika Timur, Kama Sutra sering disalahartikan. Bagi yang belum membaca atau bahkan yang tidak cermat membaca, Kama Sutra dianggap sebagai sebuah buku yang mengajarkan ajaran-ajaran seksualitas, tentang bagaimana suami dan istri melakukan hubungan seksual. Akan tetapi, jika kita membaca secara cermat dan mendalam, Kama Sutra sesungguhnya memberikan pemahaman, bahwa cinta dan keindahan melampaui kefanaan manusia.
Vatsyayana dalam Kama Sutra (2017) menyebutkan, dalam masa kehidupannya yang seratus tahun, manusia hendaknya melaksanakan Dharma (kebenaran), Artha (harta atau kekayaan material)dan Kama (hasrat) pada waktu yang berbeda-beda dan dengan cara demikian manusia dapat menyelaraskannya, tidak bertentangan. Pada masa kecilnya, manusia hendaknya mencari pengetahuan. Ketika muda usia dan dewasa, ia hendaknya memperhatikan masalah Artha dan Kama. Sementara pada masa tuanya, manusia hendaknya melaksanakan Dharma untuk dapat memperoleh Moksha yaitu kebebasan dari ikatan duniawi dan lepas juga dari putaran punarbawa (reinkarnasi) kehidupan. Atau, karena ketidakpastian dalam kehidupan ini, ia dapat melaksanakan ketiganya pada saat ketiganya diperintahkan untuk dilaksanakan. Namun, satu hal yang harus diperhatikan, ia hendaknya menjalani kehidupan selaku seorang siswa agama hingga ia mengakhiri pendidikannya.
Dharma adalah kepatuhan terhadap perintah-perintah Shastra atau kitab suci untuk melakukan hal-hal tertentu. Dharma harus dipelajari dari Shruti (kitab suci) dan dari mereka yang mengetahui perihal itu. Artha adalah perolehan tentang seni keterampilan, tanah, emas, ternak, kekayaan dan sahabat. Artha juga merupakan perlindungan terhadap hal yang telah didapatkan, dan menambah hal yang dilindungi. Kama adalah kesenangan terhadap obyek-obyek yang berhubungan dengan panca indera: pendengaran, peraba, penglihatan, pengecap dan pembau yang dibantu oleh pikiran bersama-sama dengan jiwa. Unsur atau bahan dalam hal ini merupakan suatu hubungan khusus antara organ indera dan obyek-obyeknya serta kesadaran dari rasa senang yang muncul dari hubungan tersebut. Itulah yang dinamakan Kama. Kama harus dipelajari dari Kama Sutra (aforisme tentang cinta) dan adat kebiasaan warga setempat. Ketika Dharma, Artha dan Kama datang bersamaan, yang pertama lebih baik daripada yang selanjutnya adalah Dharma lebih baik daripada Artha, dan Artha lebih baik dari Kama (Vatsyayana, 2017:2 – 3).
Pertanyaannya, mengapa Kama Sutra begitu penting untuk dibaca sebagai sebuah referensi untuk menemukan hakikat dari cinta dan keindahan. Padahal, untuk menemukan jalan dalam puncak perjalanan sprititual, seseorang harus menghindarkan diri atas hasrat yang didasari oleh Artha dan Kama? Ada sebuah keberatan yang diajukan mengenai hasrat Artha dan Kama. Mereka yang cenderung berpikir bahwa Artha merupakan tujuan pokok untuk didapatkan, memberikan bantahannya seperti berikut: kesenangan tidak seharusnya dicari karena kesenangan merupakan halangan untuk melaksanakan Dharma. Kesenangan juga tidak disukai oleh orang-orang bijaksana. Kesenangan juga membuat manusia berada dalam kesusahan dan harus menyebabkan manusia mengalami hubungan dengan orang yang lebih rendah. Hal itu menyebabkan manusia melakukan perbuatan yang tidak benar dan menciptakan ketidaksucian pada dirinya. Kesenangan membuat orang lalai pada masa depannya dan mendorong terjadinya tindak kecerobohan. Dan terakhir, kesenangan akan membuat orang tidak dipercayai oleh orang-orang lain, termasuk dirinya sendiri. Menjawab keberatan ini, Vatsyayana memberikan jawaban bahwa keberatan itu tidak dapat diterima, karena kesenangan juga merupakan hal yang penting bagi keberadaan dan kesehatan tubuh, seperti halnya makanan. Terlebih-lebih, kesenangan merupakan hasil dari Dharma dan Artha.
Meskipun demikian, kesenangan harus dilakukan secara berhati-hati dan wajar. Tidak ada seorangpun yang berhenti memasak masakan hanya karena ada seorang pengemis yang datang memintanya. Tidak ada seorangpun yang berhenti menanam benih hanya karena ada rusa yang akan menghancurkan jagung-jagung ketika benih itu tumbuh. Selanjutnya, Vatsyayana mengatakan bahwa manusia hendaknya mempelajari Kama Sutra dan seni serta ilmu pengetahuan penting lainnya, sebagai tambahan dari seni dan ilmu pengetahuan yang terdapat didalam Dharma dan Artha. Bahkan, para gadis muda seharusnya turut mempelajari Kama Sutra ini, bersamaan dengan seni serta pengetahuannya sebelum menikah. Dan setelah menikah, mereka juga seharusnya melanjutkan untuk mempelajarinya. Beberapa lelaki terpelajar berpendapat, para wanita hendaknya tidak mempelajari Kama Sutra, mengingat para wanita tidak diperbolehkan untuk belajar ilmu pengetahuan apapun juga. Vatsyayana menjawab bahwa keberatan itu bukan hal yang baik. Karena sesungguhnya, wanita telah mengetahui praktik Kama Sutra dan praktik tersebut berasal dari Kama Shastra atau ilmu dari Kama itu sendiri. Selain itu, bukan hanya dalam masalah ini saja, namun juga dalam masalah lain, meskipun pelaksanaan sebuah ilmu pengetahuan diperkenalkan kepada banyak orang, tetapi hanya beberapa orang saja yang mengetahui peraturan serta hukum dari mana ilmu pengetahuan tersebut berasal (Vatsyayana, 2017:6 – 10).
Risa Herdahita Putri, dalam tulisannya berjudul “Cinta dan Kebahagiaan Sejati dalam Kama Sutra” menyatakan, Kama Sutra memuat cara untuk mencapai kesempurnaan Kama, yakni salah satu dari empat tujuan hidup manusia (Catur Purusa) dalam Hinduisme. Riley Winters dalam “The Kama Sutra: Setting the Record Straight” terbbit di Ancient Origin, menjelaskan Kama dalam arti yang paling umum dapat merujuk pada kasih sayang, cinta, rangsangan estetika, atau keinginan. Tidak selalu berhubungan dengan seksualitas. Kama Sutra menjadi karya yang memiliki pengaruh luar biasa dalam kesustraan umum dan kehidupan artistik India. Ia menjadi dasar bagi banyak tulisan India pada periode berikutnya mengenai cinta. Termasuk diantaranya puisi cinta Sansekerta (Putri, 2021).
K.M Panikkar, sejarawan India, dalam kata pengantar buku Kama Sutra yang diterjemahkan dari The Kama Sutra of Vatsyayana, menjelaskan, pengaruh Vatsyayana tak hanya terbatas pada bagian tertentu India. Pengaruhnya merambah dari Kashmir sampai Tanjung Comorin dan dari Bengal sampai Gujarat. Selanjutnya, Panikkar juga menjelaskan pengaruh itu juga menyebar dimanapun peradaban India menyebar. Di Kamboja misalnya, Vatsyayana dikutip langsung namanya sebagai otoritas dalam ilmu cinta (Pannikar dalam Putri, 2021). Namun, pengaruh ajaran Kama Sutra paling terlihat didalam seni pahat. Contohnya bisa ditemukan pada relief-relief dibeberapa candi dan kuil terkenal di India. Dari penjabaran analisis pakar diatas, muncul pertanyaan susulan, seberapa kuat akar kemunculan Kama Sutra sehingga nikmat dikonsumsi sampai hari ini, berikut jawabannya.
Era Kemakmuran Budaya
Menurut pakar sejarah gender dan seksualitas, Ruth Panita dalam “Vatsyayana’s Kama Sutra”, yang terbit di Same-Sex Love in India, tampaknya Vatsyayana adalah seorang sarjana Brahman yang tinggal di Kota Pataliputra (kini Patna). Ia hidup sekitar abad ke 4 Masehi, yakni pada masa pemerintahan raja-raja Gupta. Ini adalah periode kemakmuran materi dan budaya yang luar biasa pada masa itu (Vanita dalam Putri, 2021).
Seks Simbol Penciptaan Dunia
Pandangan masyarakat Hindu tentang seks berbeda secara fundamental dari pandangan dunia modern. Seks tidak hanya dianggap sebagai sesuatu yang normal dan perlu. Namun, hampir merupakan sesuatu yang sakral. Seks merupakan persekutuan antara Purusha (materi) dan Prakerthi (energi). Itu disimbolkan lewat persekutuan antara Siva dan Shakti-nya, Parvati yang kemudian menciptakan dunia. Simbol Siva merupakan benih laki-laki, dan simbol Parvati adalah benih perempuan. Untuk alasan inilah, setiap aspek kedewaan dalam Hinduisme digambarkan dengan seorang pasangan perempuan (Shakti) (Putri, 2021).
Makna Bercinta dalam Kama Sutra
Ada kesalahpahaman yang menganggap Kama Sutra hanya menggambarkan secara dangkal nafsu manusia terhadap seks. Nyatanya, jika dipahami secara lebih mendalam, Kama Sutra memberikan ilustrasi yang tidak saja indah, tapi juga paparan filosofis yang substansial tentang kondisi alamiah manusia. Kama Sutra dapat diartikan sebagai ajaran-ajaran (sutra) mengenai cinta (Kama). Dalam ajaran agama Hindu, Kama Sutra dihormati sebagai salah satu bagian dari Veda Smrti. Artinya, didalamnya memuat kebijaksanaan dari Veda sebagai kitab suci agama Hindu. Kama Sutra dipandang umat Hindu sebagai kitab penting untuk memandu kehidupan etis manusia. Teks ini mendeskripsikan dengan indah proses keintiman sepasang manusia. Mengapa Kama Sutra disanjung sebagai pedoman dalam mencapai kebahagiaan? Garis besar keyakinan dari agama Hindu adalah cinta. Hinduisme meyakini bahwa proses keintiman mencitrakan eksistensi manusia yang tinggi (Saraswati dalam Isnaeni, 2012).
Bagian filosofis dari Kama Sutra terletak di bagian pengantar atau bab kedua. Pada bagian ini, Vatsyayana mengutip Veda, yaitu dalam hubungannya dengan Catur Purusa Artha atau empat tujuan hidup, pandangan umat Hindu yang mengidealkan tahapan hidup yang seimbang. Catur Purusa Artha terdiri dari Dharma atau kebaikan, Artha atau kesejahteraan material, Kama atau cinta dan kepuasan duniawi dan Moksha atau pembebasan diri menuju Tuhan (Saraswati dalam Isnaeni, 2012). Vatsyayana menulis: “Dharma lebih baik dari Artha, sedangkan Artha lebih baik dari Kama”. Vatsyayana menekankan bahwa kebaikan dan kebijaksanaan adalah pencapaian tertinggi bila dibandingkan kekayaan dan cinta. Kemudian, apa substansi aktivitas Kama, bila tujuan utama dari manusia adalah Dharma? Vatsyayana berargumentasi, dalam realitasnya manusia diberikan kemampuan dan keistimewaan untuk merasakan dan mengkontemplasikan kenikmatan. Seksualitas adalah esensial dalam keberlangusngan hidup manusia (Vatsyayana dalam Isnaeni, 2012).
Vatsyayana menggarisbawahi bahwa segala kepuasan itu adalah tahap dalam kehidupan seseorang; Kama bukanlah tahap final. Pemahaman ini lahir karena konsep dukkha, bahwa segala kenikmatan dapat menyebabkan kesengsaraan. Kesadaran bahwa kenikmatan itu sementara dan semata-mata satu babak singkat dalam kehidupan manusia akan mencerahkan dan mendorong manusia mencari kebijaksanaan yang lebih tinggi. Kama Sutra dari Vatsyayana dikenal sebagai salah satu dari rangkaian Kama Shastra. Di India, dikenal bermacam kitab atau teks yang memuat topik seksualitas dari berbagai penulis. Kedudukan teks-teks Smrti (tafsir) bukan Sruti (wahyu) (Vatsyayana dan Saraswati dalam Isnaeni, 2012).
Kama Sutra Vatsyayana terkenal di dunia karena menggabungkan aturan-aturan relasi intim antara perempuan dan laki-laki dengan bahasa Sansekerta yang sederhana. Vatsyayana menginginkan karyanya jelas dan mampu dicerna siapapun. Kama Sutra diduga dikompilasikan Vatsyayana pada abad ke-2 Masehi. Teks ini terdiri dari 1.250 penggalan aporisme, dibagi menjadi 7 bagian besar dan 7 bab tersebut terdiri dari 36 sub bab (Isnaeni, 2021).
Kama, Satu dari Tujuan Hidup
Ajaran Hindu memandang segala sesuatu dalam aspek dua oposisi biner. Itu bahwa alam mewujudkan prinsip laki-laki dan perempuan. Maithuna atau tindakan bersetubuh menggambarkan secara simbolis doktrin religius yang menjadi dasar dalam Hinduisme (Putri, 2021).
Persatuan antara laki-laki dan perempuan dipandang sebagai simbol penciptaan, bukan kemunduran moral. Tidak hanya ada dalam pemujaan Tantris Hindu, melainkan dalam perkembangan tertentu Buddhisme (Pannikar dalam Putri, 2021). Kendati begitu, menganggap teks Kama Sutra sebagai buku panduan ritual yang berkaitan dengan dengan seks Tantra merupakan kesalahpahaman dalam pandangan budaya non-timur (Winters dalam Putri, 2021). Tantra dalam istilah yang paling sederhana adalah keadaan yang mengacu pada penguasaan diri. Dalam budaya Barat, kerap dikaitkan dengan penguasaan diri yang tinggi dalam ritual seksual. Sementara, Kama Sutra sama sekali tidak berhubungan dengan ritual atau praktik Tantra. Pun bukan doktrin sakral dari ritual seksual (Winters dalam Putri, 2021).
Kesalahpahaman umum adalah bahwa ketujuh bab Kama Sutra mengajarkan tentang hubungan seksual. Padahal hanya satu bab yang berbicara tentang posisi seksual. Sementara masing-masing bab menjelaskan bentuk kesenangan yang berbeda. Dengan itu, seseorang dapat mencapai Kama. Secara sederhana, fokus teks bukanlah tindakan fisik dalam bercinta, tetapi lebih pada pencapaian cinta dan kesenangan dalam hubungan dan kehidupan (Winters dalam Putri, 2021). Dalam Hinduisme, Kama merupakan satu dari empat hal utama yang menjadi tujuan kehidupan (Catur Purusa). Empat dasar dan tujuan hidup manusia didalam Catur Purusa, yaitu Dharma (sifat religius), Artha (kekayaan), Kama (cinta, hasrat, kenikmatan, kesenangan hidup) dan Moksha (puncak kelepasan dan kebahagiaan sejati) (Winters dalam Putri, 2021). Kama, Artha dan Dharma merupakan tiga unsur tunggal. Ketiganya harus dipegang teguh jika ingin mencapai Moksha. Teks ini (Kama Sutra) mencontohkan bagaimana hasrat dapat membantu melepaskan seluruh kekuatan pribadi seseorang. Ini lebih dimaksudkan sebagai pedoman untuk hidup yang bajik (Winters dalam Putri, 2021). Dibandingkan itu, Kama didalam konsep modern sudah banyak berubah. Panikkar mengatakan dalam penelitian modern Kama sering disamakan dengan hasrat, nafsu atau cinta fisik. Karenaya, Kama Sutra umumnya dipandang sebagai buku yang bergelut tentang hal erotis atau sesuatu yang tak pantas dikaji serius. Ini jauh dari hal semacam itu (Panikkar dalam Putri, 2021).
Pengaruh Kama Sutra
Pengaruh Kama Sutra paling mencolok terlihat didalam seni pahat. Contohnya bisa ditemukan sebagai relief dinding Candi Konark, Khajuraho, Belur, Halebid dan candi-candi terkenal lainnya dari abad pertengahan (Putri, 2021). Bagi orang Barat, karya ini awalnya hanya sebatas pada keingintahuan mengapa candi Hindu yang terkenal harus menampilkan relief adegan seks pada dindingnya. Ini bukan merupakan ciri khas semata-mata dari candi-candi abad pertengahan. Sebuah studi cermat terhadap arca-arca di Konark, Khajuraho dan candi terkenal lainnya memperlihatkan betapa seniman telah mengikuti teks Kama Sutra. Pengaruh Vatsyayana dalam seni pahat ini bisa dilihat dalam perilaku dan pose tokoh-tokoh didalam relief (Panikkar dalam Putri, 2021).
Di Nagarjunikonda terdapat banyak ukiran kayu yang menggambarkan adegan percintaan. Nagarjunikonda adalah pusat arsitektur dan seni pahat Buddha yang paling terkenal. Ukiran-ukiran yang ada disana kemudiaan diidentifikasi sebagai versi seni pahat dari teks karya Vatsyayana. Pada dinding-dinding Kuil Jain juga ditemukan ukiran perempuan telanjang. Dengan melihat itu, tak mungkin jika para pendiri candi bermaksud merusak moral atau hanya sekedar ingin memanjakan selera suatu masyarakat yang moralnya merosot. Jelas sekali mereka mengekspresikan aspek fundamental dari kepercayaan religius India. Bagaianapun Kama Sutra ditulis atas kehendak Yang Maha Kuasa untuk kepentingan dunia oleh Vatsyayana. Itu sembari dirinya menjalani kehidupan sebagai seorang siswa keagamaan yang seluruh hidupnya terikat didalam proses merenungi Dewa. Setidaknya demikianlah kata sang penulis pada bagian akhir karyanya (Panikkar dalam Putri, 2021).
Mengenai eksistensi Kama Sutra yang begitu luas nan indah, karya besar Vatsyayana ini dapat dilihat dari sudut pandang ilmiah, khususnya disiplin ilmu sosial-humaniora. Sebagai pembelajar sosiologi, saya melihat bahwa makna tubuh dalam Kama Sutra bisa didiskursuskan menggunakan analisa seksualitas dari Michel Foucault. Foucault sendiri merupakan seorang filsuf dan sosiolog terkenal asal Perancis, yang ikut andil dalam mengkontribusikan gagasannya, khususnya gagasan serta teori posmodern. Bagi saya, sepanjang belajar tentang teori seksualitas, Foucault adalah pemikir yang paling paham serta mempuni dalam upaya mengantarkan kita pada sebuah konsep untuk menelaah tentang tubuh dan kedagingan.
Michel Foucault dalam analisanya tentang tubuh dan seksualitas (jika kita tarik secara ekstrim), ia mengklasifikasi dua pemahaman besar dari dua agama, yakni agama semitik dan agama pagan. Bagi Foucault, kebudayaan agama semitik kerap memandang tubuh sebagai simbol seseorang jatuh ke dalam lembah dosa, tubuh dianggap sebagai sumber dari dosa, kedagingan dekat dengan iblis, atau stereotif negatif melekat pada tubuh. Lebih lanjut dikatakan bahwa, ada yang banal atau dangkal ketika kita mendefinisikan tubuh, banalitas yang Foucault maksud adalah tubuh dipandang hanya sebatas pada fisiologi yang terdiri dari organ serta anatomi lainnya. Banalitas lain memandang tubuh sebatas pada instrumen atau alat reproduksi semata. Tubuh sudah terdefinisi secara segmentatif, pengertian tubuh sudah terkotak-kotak, padahal didalam tubuh, dalam bahasa Foucault ada “ruang misteri”.
Karena hal inilah, kebudayaan Barat menganggap tubuh menjadi obyek diskursus. Lain halnya dengan kebudayaan Timur atau agama pagan dalam melihat tubuh, dalam diskursus kebudayaan Timur, tubuh tidak berhenti pada aspek propagasi atau fungsi meneruskan gen dalam sebuah spesies. Mengutip Plato (filsuf Yunani Kuno), Foucault mengatakan bahwa seksualitas adalah sesuatu yang sangat alamiah. Manusia tidak hanya berhenti pada aspek rasionalitas, tetapi manusia juga memiliki aspek desire atau hasrat. Dalam menelaah aspek duniawi, manusia tidak cukup hanya menggunakan akal sebagai aspek rasionalitas, akan tetapi bagi Foucault dan filsafat Timur, manusia selalu diselubungi oleh rasa. Foucault mengatakan bahwa rasa inilah sesuatu yang sifatnya irasional. Secara rasional tubuh memiliki tanggung jawab secara sosial atau publik, dimana tubuh dapat dikonstruksi oleh konsensus sosial, tetapi dalam kebudayaan Timur, tubuh bersifat sangat individual yang berhak mendapatkan kepuasan atau mencapai kenikmatan (Foucault dalam Dewi, 2012).
Filsafat Timur dalam memandang relasi tubuh atau relasi seksual adalah relasi estetis. Estetis yang dimaksud adalah ketika terjadi hubungan seksual, kita sedang sadar, menjalankan sensasi-sensasi inderawi. Uniknya, walaupun sensasi itu datangnya dari tatapan, sentuhan atau sebuah singgungan, sensasi yang dihasilkan bersifat transendental (berawal dari sesuatu yang sifatnya fisikal dan berakhir pada sesuatu yang melampaui dan agung). Kama Sutra yang juga menjelma dalam berbagai karya seni, khususnya seni patung atau ukir, banyak menampilkan lingga (simbol laki-laki)dan yoni (simbol perempuan), bagi kebudayaan Timur khususnya dalam filsafat India, lingga dan yoni adalah simbol penting tentang kemenjelmaan alam semesta (Dewi, 2012).
Kama Sutra yang begitu luas, indah dan sangat implisit ingin menyampaikan bahwa relasi ketubuhan bukan hanya sebatas pada relasi fisik, namun ada imajinasi untuk menyatukan dua kekuatan ambivalen dengan tujuan akhir menghadirkan kemenjelmaan. Inilah yang melatarbelakangi mengapa Vatsyayana mengatakan “kalau kita menyerahkan seluruh hidup kita pada hubungan seksualitas semata, maka kita akan mengalami kehancuran”. Hubungan seksualitas yang ditulis dalam Kama Sutra berusaha menjelaskan bahwa akselerasi Kama harus senantiasa didasari oleh Dharma (Dewi, 2012).[T]
Daftar Pustaka
- Dewi, Luh Gede Saraswati. 2012. Erotika Kama Sutra. Jakarta: Salihara.
- Isnaeni, Hendri F. 2012. Makna Bercinta dalam Kama Sutra. Jakarta: Historia.
- Listiyono, Santoso, dkk. 2015. Epistemologi Kiri: Seri Pemikiran Tokoh (Edisi Revisi). Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
- Putri, Risa Herdahita. 2021. Cinta dan Kebahagiaan Sejati Kama Sutra. Jakarta: Historia.
- Vatsyayana, 2017. Kama Sutra: Kitab Klasik Seni Bercinta (Versi Original). Yogyakarta: Penerbit Narasi.