Makian atau umpatan tampaknya bukan merupakan sesuatu yang tabu lagi. Banyak tokoh politik atau pemuka agama yang melanggar kesantunan dalam berbahasa. Figur publik tersebut secara terbuka menyampaikan makian terhadap orang yang dianggap tidak sejalan pikirannya dengan nya. Mereka memaki seolah-olah tidak bersalah tetapi sebenarnya makian yang ditujukan kepada pihak yang dianggap lawan sungguh menyakitkan. Makian itu diumbar lewat media sosial. Tampaknya kesantunan yang merupakan ciri masyarakat ketimuran mungkin mulai memudar.
Dalam peristiwa komunikasi, peserta komunikasi berharap agar komunikasi dapat berlangsung dengan baik. Akan tetapi, peristiwa komunikasi terkadang berjalan tidak baik. Hal tersebut bisa disebabkan oleh ketidaksepahaman antara peserta komunikasi. Dalam situasi seperti itu, peserta komunikasi dapat mengekspresikan segala bentuk ketidaksenangannya, ketidakpuasannya dengan makian. Makian merupakan kata keji yang diucapkan karena marah dan sebagainya (KBBI, 2005:702). Kata makian dapat menunjuk pada benda, binatang, kekerabatan, makhluk halus, organ tubuh, aktivitas, pekerjaan, jenis keadaan dan usia. (Wijana dan Rohmadi, 2010: 111-124). Makian digunakan tidak hanya untuk mengekspesikan kemarahan, tetapi makian juga dapat digunakan untuk mengekspresikan kebahagiaan, kesedihan, dan bercanda. (Wijana dan Rohmadi, 2010:10).
Ketika orang merasa gembira dapat diekspresikan dengan makian. Makian ini tidak dirasakan sebagai bentuk kekerasan verbal karena orang yang mendengar atau lawan bicara mengetahui bahwa makian tersebut untuk menyatakan kebahagiaan. Begitu pula, makian kerap digunakan dalam berkomunikasi untuk menandakan keakraban antara petutur dan penutur. Makian yang dipergunakan pada sistuasi seperti itu tidak menyebabkan lawan tutur tersinggung.
Makian dapat mengancam muka lawan tutur apabila makian itu digunakan untuk mempermalukan seseorang. Dalam pertengkaran makian sering digunakan untuk menghina orang yang diajak bertengkar. Hinaan yang diujarkan tentu membuat orang yang dihina merasa tersinggung. Saat ini makian dipergunakan secara vulgar tidak saja digunakan oleh masyarakat kalangan menengah dan bawah tetapi juga digunakan kalangan atas yang nota bene merupakan elit politik atau publik figur. Makian yang digunakan cenderung untuk menyerang secara verbal seseorang yang tidak sehaluan dengan dirinya.
Ketika kontestasi pemilihan presiden muncul makian cebong dan kampret. Cebong untuk pendukung Jokowi dan kampret mengacu pada pendukung Prabowo. Istilah cebong digunakan untuk pendukung Jokowi karena Jokowi suka memelihara kodok. Anak kodok yang berupa cebong dipergunakan untuk menamai pendukung jokowi. Asal muasal istilah kampret adalah plesetan dari Koalisi Merah Putih (KMP) yang merupakan partai pendukung Prabowo -Hatta Rajasa pada pemilihan presiden 2014. Partai pendukung tersebut Gerindra, PAN, PPP, PKS, PBB, dan Partai Golkar. KMP diplesetkan menjadi kampret.
Makian yang dipergunakan dalam media sosial tidak berhenti ketika pilpres selesai. Pengkotakan tampaknya masih dirasakan sampai saat ini. Tokoh-tokoh atau publik figur yang berseberangan dengan pemerintah kerap menggunakan makian begitu juga sebaliknya pendukung Jokowi kerap menyerang dengan menggunakan makian. Penggunaan makian di media sosial tentu melanggar etika dalam berkomunikasi apalagi dilakukan oleh elit politik dan publik figur. Tampaknya makian bukan lagi merupakan sesuatu yang tabu. Pengamat politik dengan garangnya mengatakan presiden dungu. Ini tentu merupakan bentuk penghinaan terhadap simbol negara. Simbol negara semestinya dihormati.
Seseorang begitu mudahnya mengatakan perempuan dengan lonte. Publik figur yang begitu banyak memiliki follower tidak menjaga “lidah” dalam berucap akan membawa dampak negatif berupa perpecahan di masyarakat. Penyebutan lonte untuk perempuan tentu sangat menjatuhkan martabat seorang perempuan yang dihina. Ini merupakan bentuk kearoganan laki-laki tersebut terhadap perempuan. Penggunaan makian-makian seperti itu memberikan efek negatif bagi kalangan remaja. Mereka bisa saja menganggap bahwa memaki bisa dilakukan kepada siapa saja yang menurutnya mereka benci. Hal ini merupakan bentuk komunikasi yang sangat berbahaya. Etika komunikasi perlahan-lahan akan terkikis dan itu dapat melenyapkan ciri keramahtamahan masyarakat.
Akhir-akhir ini makian yang berbau sara berseliweran di media sosial. Makian yang berbau sara sangat sensitif. Hal ini dapat menjadi penyulut kebencian suku yang merasa di hina. Anehnya walaupun orang-orang yang melakukan memakai kekerasan verbal sudah ditangkap dan diproses secara hukum, tetap saja ada orang yang memaki di melalui media sosial.
Kesantunan dalam berkomunikasi antar petutur dan penutur perlu dijaga. Secara umum kesantunan didefinisikan sebagai kepatutan sosial yaitu tindakan dimana seseorang menunjukkan tingkah laku yang teratur dan menghargai orang lain sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Konsep kesantunan banyak dibicarakan oleh para pakar dalam bidang sosiolinguistik antara lain Lakoff (1975:53) yang menyatakan bahwa bersikap sopan adalah mengatakan sesuatu hal yang berhubungan dengan masyarakat dengan benar. Dengan pendekatan yang lebih umum Fraser dan Nolen (1981:96) berpendapat bahwa untuk menjadi santun seseorang harus mematuhi aturan yang berlaku dalam setiap ikatan sosial. Seorang penutur akan dianggap tidak santun manakala dia melanggar aturan yang berlaku. Konsep kesantunan berkaitan erat dengan unsur benar dan salah sikap seseorang yang diukur dengan alat yang bernama aturan. (Syahrin, tt:3)
Pendekatan tentang kesantunan yang paling berpengaruh adalah teori yang dirumuskan oleh (Brown dan Levinson 1987) yang dikaitkan dengan konsep penyelamatan muka. Para pakar ini mengartikan kesantunan sebagai melakukan tindakan yang mempertimbangkan perasaan orang lain yang didalamnya memperhatikan positif face (muka positif) yaitu keinginan untuk diakui dan negatif face (muka negatif) yaitu keinginan untuk tidak diganggu dan terbebas dari beban. Kebutuhan muka dianggap berlaku dalam seluruh tataran budaya di mana muka dirumuskan sebagai sesuatu yang dapat hilang, perlu dijaga, atau perlu didukung. Asumsi yang mendasari teori ini adalah bahwa muka secara terus-menerus berada dalam kondisi beresiko karena segala bentuk tindakan berbahasa yang disebut face threatening act (FTA) ‘tindakan mengancam muka’ (Syahrin,tt:4) Dalam berkomunikasi, orang yang terlibat dalam berkomunikasi hendaknya saling menyelamatkan muka sehingga proses berkomunikasi dapat dilakukan dengan santun. [T]