Sudah sejak tahun 2016 saya memburu karya-karya dari Oka Rusmini—salah satu sastrawan yang dimiliki oleh Pulau Dewata. Salah satu sastrawan yang muncul dengan karya fenomenalnya “Tarian Bumi” yang bahkan sudah dialihbahasakan ke beberapa bahasa asing. Hingga kini, saya masih berusaha untuk mengikuti karya-karya yang dihasilkan oleh salah satu penulis dengan produktivitas yang cukup tinggi ini.
Tepat pada pagelaran Festival Bali Jani 2019, Oka Rusmini menjadi salah satu penerima penghargaan Bali Jani Nugraha. Penghargaan tersebut menjadi bentuk perhatian pemerintah Provinsi Bali terhadap seniman yang berkarya di Bali. Tentu seiring dengan penghargaan yang telah diterima, saya berharap akan ada karya baru dari Oka Rusmini. Benar saja, pertengahan tahun 2020 tepatnya bulan Agustus lalu, lewat penerbit Prasasti, Oka Rusmini menerbitkan buku dengan judul “Jerum”. Buku itu laris dan habis. Empat bulan berikutnya novel itu diterbitkan ulang Grasindo.
Novel Jerum berhasil dilepaskan ke pelukan pembaca setelah Oka Rusmini berhasil mendedah sebuah karya sastra kuno yang berhasil diterjemahkan dengan baik oleh I Ketut Nuarca. Karya sastra kuno yang dimaksud adalah Kidung Kundangdya. Kidung yang jamak diketahui oleh masyarakat Bali ini sudah biasa dilantunkan dalam prosesi upacara Bhuta Yadnya—prosesi yang dimaksudkan untuk menangkal anasir-anasir negatif yang terdapat di alam semesta. Singkatnya, prosesi ini dimaksudkan untuk menjaga harmoni alam semesta.
Cinta dan Kehidupan
Bicara soal novel, tentu tak bisa dilepaskan dari tokoh-tokoh yang mewarnai isi novel tak terkecuali Jerum. Dalam novel ini, Oka Rusmini menghadirkan tokoh-tokoh dengan nama yang tak berbeda dari kidung Kundangdya yang menjadi referensi utama dalam proses kreatifnya. Kundangdya, Jerum, dan Liman Tarub menjadi tokoh utama dalam novel ini dengan tambahan tokoh-tokoh yang juga erat kaitannya dengan kehidupan tiga tokoh utama yang sudah saya sebutkan tadi.
Novel ini saya baca semalaman suntuk. Tentu bukan karena ambisi atau terlihat keren di mata teman-teman, tapi karena novel ini berhasil menyeret saya menyaksikan cerita secara langsung tanpa sedikitpun rela melewatkannya. Novel ini mengangkat tema percintaan—kisah cinta segitiga yang dialami oleh ketiga tokoh tadi. Kundangdya, Jerum, dan Liman Tarub. Oka Rusmini dalam hal ini berhasil mengeksplor cerita untuk masing-masing tokoh—Kundangdya yang merupakan anak laki-laki dari pasangan I Jodog dan Ni Sekar. Jerum yang merupakan anak sebatang kara sampai-sampai menyerahkan seluruh hidupnya di pangkuan tetua desa. Sampai seorang Liman Tarub anak sulung dari pasangan Ki Pohon dan Ni Sentil. Menariknya, dari tiga tokoh utama tadi masing-masing memiliki kisah kelam nan mengerikan di keluarganya. Tapi itu akan saya ceritakan nanti, sekarang saya akan menceritakan kisah cinta yang disajikan oleh Oka Rusmini.
Kalian percaya nggak dengan cinta pada pandangan pertama? Pastinya ada yang percaya, ada pula yang tidak percaya. Ya, hal itu wajar saja mengingat tidak semua bisa merasakan hal ini. Dalam novel ini, dituturkan apa yang dikenal dengan cinta pandangan pertama. Cinta pandangan pertama ini dianugerahkan kepada Kundangdya seorang pemuda tampan nan menawan se-antero desa dengan Jerum yang digambarkan sebagai perempuan yang dianugerahkan kecantikan oleh para dewata. Tentu membayangkannya saja, kisah ini akan menarik untuk diikuti. Tetapi Oka Rusmini berhasil mengeksplorasi cerita menjadi lebih dramatis karena yang perlu kalian tahu bahwa cinta pandangan pertama mereka terjadi sesaat setelah Jerum melangsungkan pernikahannya dengan saudagar kaya raya yang dianugerahkan penghormatan bahkan sampai ke seberang pulau. Ya, ia adalah Ki Liman Tarub—kakak dari Ki Panamun kawan karib dari Kundangdya.
Kisah cinta pandangan pertama Kundangdya dan Jerum berhasil digambarkan oleh Oka Rusmini dengan sangat lihai dan membuat saya menunggu-nunggu apa yang terjadi selanjutnya. Izinkan saya mengutip satu paragraf dari adegan pertemuan Kundangdya dan Jerum yang seakan mendesak pikiran untuk mempercayai cinta pandangan pertama.
“Ni Jerum tergetar. Lelaki dihadapannya tampak begitu bersungguh-sungguh. Suaranya yang berat tapi lembut membuat jantungnya berdetak kencang. Terasa mau copot dari tempatnya. Peluh dingin menyembul dari pori-pori kulit perempuan itu. Rambutnya basah. Tangannya berair. Tapi anehnya, dia justru merasa hangat. Rasa takutnya seakan menguap begitu saja. Perasaan apa yang tiba-tiba muncul mengepungnya ini? Ni Jerum tak habis pikir dengan dirinya sendiri.”
Menurut saya sendiri, paragraf di atas sangat kuat yang dapat menggambarkan kepolosan seorang Ni Jerum dalam menghadapi seorang laki-laki dan seakan meraba-raba perihal yang dinamakan cinta. Dari paragraf ini, saya dapat membayangkan bagaimana cinta merupakan hal yang mengerikan—bersamaan dengan rasa nyaman yang mendekap. Mungkin ini yang banyak pula orang istilahkan menjadi “Cinta Tidak Ada Logika”. Menurut kalian bagaimana?
Selalu Menyajikan Cerita yang Gelap dan Sadis
Menurut saya, setiap karya Oka Rusmini selalu menghadirkan cerita yang sekiranya berhasil membuat pembacanya merinding saat mencoba mentransformasikan ceritanya ke alam imajinasi dalam kepala. Dark story nampaknya sudah menjadi kekuatan dari setiap cerita dari Oka Rusmini, termasuk dalam Novel Jerum ini.
“Setiap menatap mata lelaki, Sambreg selalu berkeringat dingin. Rasa takut merajam seluruh pori-pori tulangnya. Menggoreskan ngilu dan luka mendalam. Ya, trauma itu begitu kuat mencengkeramnya. Terbayang ketika dia diseret dan dirajam selama satu minggu di tengah hutan. Tubuhnya dihirup, berpuluh-puluh kali. Entah oleh berapa lelaki. Mereka menggigit, menjilat, menghisap. Manusia atau binatangkah mahluk-mahluk yang menyantap tubuhnya itu?”
Novel Jerum kembali hadir dengan kisah-kisah yang menurut saya cukup gelap. Cerita soal pemerkosaan dan pembunuhan tersaji di dalamnya. Kutipan di atas menjadi salah satu contohnya. Oka Rusmini selalu memiliki perbendaharaan kata yang begitu kaya sehingga saat menggambarkan peristiwa pemerkosaan yang dialami oleh Ni Sambreg—ibu dari Ni Sekar saya sebagai pembaca dipaksa untuk membayangkan secara detail kejadian naas yang dialami Ni Sambreg. Namun, di waktu yang bersamaan saya dibuat terkagum-kagum oleh cara penulisan yang seolah-olah benar-benar memeras kata-kata, sehingga menghasilkan rangkaian kata yang begitu indah meski di saat bersamaan pula, kata-kata indah tersebut sejatinya sedang menceritakan peristiwa yang mengerikan.
Seolah Terburu-Buru Menyentuh Garis Akhir
Sebagai penikmat sastra, tentu saya menikmati cerita yang disuguhkan oleh Jerum. Tapi kenikmatan yang disajikan sedikit terganggu di bagian akhir cerita. Kesan terburu-buru saya baca saat cerita memasuki puncak konflik dimana Ki Liman Tarub mengetahui hubungan gelap Jerum sang istri dengan pemuda banjar Kidul, Kundangdya. Kematian Kundangdya sedikit memunculkan pertanyaan di kepala saya. Semudah itukah seorang pemuda gagah mati di tangan Ki Liman Tarub?
“I Kundangdya terdiam. Dia paham akan maksud kedatangan kakak-beradik itu. Para pemuda yang akan mengadu ayam pun jadi senyap. Mereka menangkap gelagat buruk.
Tiba-tiba Ki Liman Tarub menghunus keris, dan dengan garang menusuk I Kundangdya. Lambung kiri pemuda itu jebol, tembus ke tulang belikat. Darah menyembur. Membasahai tanah persabungan.”
Kalimat pertama dari dua paragraf yang sengaja saya kutip di atas mengisyaratkan bahwa akan terjadi pertarungan dua orang lelaki di gelanggang pertarungan yang biasanya digunakan untuk mengadu ayam petarung. Namun, hal tersebut langsung dipatahkan pada paragraf kedua ketika I Kundangdya langsung menerima hujaman keris dari Ki Liman Tarub. Tentu sebagai pembaca, saya mengharapkan sebuah pertarungan yang seru antara Kundangdya dan Ki Liman Tarub. Meski pada akhirnya Kundangdya harus meregang nyawa dan bersatu dengan Jerum di Swarga Loka, setidaknya ada pertarungan sengit yang mewarnai sebelumnya. Saya rasa, Oka Rusmini mampu untuk mengeksplorasi cerita di bagian ini. Inilah yang saya anggap bagian akhir cerita terasa begitu terburu-buru.
Novel yang menceritakan tentang Bali beserta kehidupan di dalamnya memang tidak pernah membosankan untuk disimak. Tak hanya soal cinta yang bisa kita petik dalam rangkaian cerita yang dikemas dalam novel yang berjudul “Jerum” ini, tapi berbagai nilai-nilai kehidupan seperti kerja keras, belajar ikhlas, pengendalian diri tersaji pula di dalamnya. Tentu saya sangat merekomendasikan kalian untuk membaca novel ini. Selamat membaca sahabat. [T]