Saya mulai tulisan ini dengan satu cerita.
Awal Desember 2020 saya mengalami rasa stress terberat dan membuat diri saya down. Saya seperti melayang dan merasa sangat hampa. Salah satu orang yang saya sayangi harus pergi meninggal dunia karena terkena Covid-19.
Ini satu peristiwa sekaligus tantangan yang sangat berat dalam hidup saya. Saya adalah seorang mahasiswa perantau. Saya berasal dari Sumatera dan kuliah di Singaraja, Bali.
Sebelum berangkat ke kota perantauan pada tanggal 13 November, saya pamit kepada beliau dimana dia terbaring di tempat tidur rumah sakit, namun dengan keadaan yang sudah semakin baik. Beliau mengatakan dengan wajah tersenyum dengan tatapan penuh makna bahwa beliau akan datang ke wisuda saya ,dan saya harus lebih sukses dari beliau.
Pada saat hendak berangkat ke Singaraja, terdengar berita kalau beliau harus pindah rumah sakit karena keadaan fisik yang menurun. Mendengar berita tersebut saya sempat ingin membatalkan perjalanan saya, namun orang tua saya mengatakan, “Tuhan pasti tolong, jangan tunda apa yang ingin kamu kerjakan.”
Sehingga saya tetap optimis dan berharap semua akan baik- baik saja. “All is well” itulah kata yang saya ulang ulang dan saya berdoa agar kiranya Tuhan tetap memberkati keluarga saya dan perjalanan saya ke tanah perantauan. Hingga sampailah saya di tanah rantau dan berita terdengar kembali bahwa beliau harus diisolasi karena positif Covid 19, sehingga tak ada satu keluarga pun yang bisa bersama beliau secara langsung.
Hingga pada tanggal 02 Desember seperti biasa untuk menghilangkan rasa penat dan stress saya isi dengan berolahraga. Usai olahraga, saya kembali ke tempat kost. Sesampainya di kos saya melihat sudah banyak pesan dan pesan datang dari kakak saya mengatakan, “Syallom, Adek. Tulang (paman) kita sudah damai berada di sorga, dan mau gimana pun caranya kita gak bisa ketemu walaupun untuk terakhir kalinya karena akan dimakamkan sesuai protocol Covid -19 tenang aja di perantauan ya.”
Usai membaca pesan itu saya merasa diri saya sangat kosong karena hal yang paling ditakutkan oleh seorang perantau bukan tidak makan dan minum namun kehilangan orang yang disayangi namun tak bisa mendampinginya sampai tempat terakhirnya. Saya berontak dan saya sempat berkata, di mana Kau, Tuhan?
Kenapa harus orang yang begitu baik, begitu peduli dengan semua orang harus kau panggil secepat ini dan dengan cara yang seperti ini? Bagaimana dengan anaknya yang masih SD dan SMP, mereka belum cukup dengan rangkulan dan kasih sayang? Apa salah keluargaku, Tuhan? Saya menangis sekencang-kencangnya dan tembok lemari pun menjadi korbannya. Tak peduli lagi dengan orang yang ada di kanan kiri kos saya, saya bingung bercerita kepada siapa, saya hanya perantau di kota orang.
Keluarga saya semua berada jauh di Sumatera. Air mata saya terus saja berjatuhan dan hingga proses pemakaman dimana seluruh keluarga harus melihat dari jauh, dan saya menyaksikannya dengan video call dengan ibu saya. Hal yang paling membuat saya menjerit adalah ketika penguburan, dimana alat berat beko yang menguburnya. Jangankan untuk menatap terakhir kali, untuk menyentuh petinya saja pun untuk yang terakhir kali tidak bisa.
Tak pernah terlintas di pikiran saya bahwa ini akan terjadi di kehidupan saya dimana saya di semester akhir perkuliahan menyusun skripsi, harus juga berduka dengan kepergian orang yang saya sayangi.
Dan ini adalah kesedihan yang paling mendalam yang pernah saya alami di kehidupan saya, percaya atau tidaknya menulis tulisan ini pun tangan saya gemetar dan mata saya berkaca-kaca terkadang tak terbendung lagi.
Meredakan Stres
Doa adalah hal yang hanya bisa saya lakukan dan berharap keluarga saya tetap diberi perlindungan, dan juga kesehatan. Saya mencari aktivitas yang bisa membuat keadaan saya semakin membaik dan berusaha mengalihkan rasa stres saya ke hal yang positif.
Beruntung juga saya mengetahui tentang apa itu eustress yaitu mengendalikan emosi saya dan rasa stress saya ke hal yang positif. Kita tidak tau kapan selesainya wabah pandemi covid 19 ini namun jangan lemah dan lengah.
Hal seperti ini bukan hanya terjadi dengan diri saya saja. Mungkin sudah banyak orang mengalaminya dan mereka tak bisa terhindar dari stress.
Kata-kata stress, jenuh dan rasa bosan hampir setiap hari saya rasakan, apalagi di masa pandemi covid 19 sekarang ini yang sampai sekarang belum tau kapan berakhirnya. Saya merasa kehidupan saya berjalan di tempat saja dan bahkan mundur dengan situasi yang membuat banyak rancangan dalam kehidupan saya harus tertunda. Untuk itu, kita tak boleh larut dalam stress.
Robbin sebagaimana ditulis Lumban Gaol Nasib Tua dalam “Teori Stress, Respons, dan Transaksional” disebutkan stress merupakan suatu kondisi yang menekan keadaan psikis seseorang dalam mencapai sesuatu kesempatan di mana untuk mencapai kesempatan tersebut terdapat batasan atau penghalang.
Selain itu, Anoraga mengungkapkan bahwa stress adalah tanggapan seseorang, baik secara fisik maupun secara mental terhadap suatu perubahan di lingkungannya yang dirasakan mengganggu dan mengakibatkan dirinya terancam. Secara sederhana maka saya dapat menyimpulkan stress disebabkan oleh suatu kondisi yang biasa dilakukannya dengan normal, namun dituntut harus melaksanakannya dengan sistem kenormalan yang baru dimana keadaan fisik dan psikologis belum siap untuk melakukan itu.
Namun ada hal yang membuat saya tertarik dalam mendalami kata stress, karena ada sebuah penelitian yang dilakukan oleh Selye pada tahun 1992 menggolongkan stress itu menjadi dua golongan yaitu;
- Distress (stres negatif)
Disstres merupakan stres yang merusak atau bersifat tidak menyenangkan. Stres dirasakan sebagai suatu keadaan dimana individu mengalami rasa cemas, ketakutan, khawatir, atau gelisah. Sehingga individu mengalami keadaaan psikologis yang negatif.
Contohnya: Perilaku menyimpangan sosial seperti: merokok, minuman keras, geng motor dan masih banyak lagi. Bahkan contoh nyatanya banyak sekali terjadi kasus pemerasan dan pembullyan masih usia dini.
Saya mencontohkannya secara langsung dan sangat sering kita lihat dalam kehidupan kita saat ini yaitu kasus pembullyan, ini terjadi pada bulan November di tempat daerah saya tinggal dimana seorang anak yang masih berusia 12 tahun diancam dan dan terjadi kekerasan fisik terhadap anak tersebut dan pelaku nya ada 3 orang yang berstatus juga masih anak sekolah ada yang sudah berusia 17 tahun dan dua orang pelaku lainnya berusia 15 tahun.
Dan yang membuat kasus ini viral adalah video yang beredar dengan situasi anak itu menangis dan pelaku mengancam dan anak itu berkata “ iya ketika nanti sampai rumah kuambil uang 50 ribu ku kasih sama bang (pelaku) dan setelah itu ku videokan kakakku mandi” dalam keadaan menangis dan suara terbata-bata. Secara logika manusia ini adalah hal yang tidak wajar dan bisa saja para pelaku di amuk massa, secara pribadi saya juga merasa sangat marah dan menganggap jika itu adalah adik saya maka habislah pelaku tersebut.
Namun ada hal yang benar-benar membuat saya kecewa karena pelaku dari kasus ini adalah anak didik saya sewaktu saya melatih sepak bola di sana sebelum keadaan dan pandemi Covid 19 ini. Saya melakukan wawancara dan bertanya kenapa mereka melakukan itu, ya stres aktivitas hanya di rumah saja, sekolah secara langsung saja pun tak mengerti apalagi online, guru seenaknya memberi tugas, dan orang tua juga marah mengira mereka tidak belajar di rumah, dan akhirnya mereka tidak mampu untuk mengontrol dirinya oleh karena itu mereka membuat geng/grup dan muncul lah merasa diri seorang preman yang ingin menguasai dan memiliki uang tanpa karya dan bekerja. Tapi Negara kita adalah negara hukum, dan saya bersyukur juga karena mereka sudah ditangani oleh pihak yang berwajib tanpa adanya kekerasan oleh massa.
- Eustress (stres positif)
Eustress adalah kebalikan dari kata distress, di mana dalam keadaan diri ketika mengalami stress namun kita tetap mampu mengaplikasikannya ke hal-hal yang bersifat positif yang dihasilkan dalam bentuk karya dan juga prestasi.
Saya merasa semakin menarik ternyata stress dapat bermanfaat dalam kehidupan saya sehingga saya mencari beberapa contoh yang bisa saya jadikan acuan dari eustress.
Contoh nyata yang bisa kita lihat yakni dikutip dari salah satu akun media sosial SMP N 4 Singaraja mampu meraih 22 Medali tingkat nasional dalam ajang OPSI (Olimpiade Pahlawan Sains Indonesia) di tahun 2020 meskipun dalam situasi pandemic covid 19.
Jadi dari sini kita mengetahui mengetahui bahwa stress bukan hanya yang berkaitan dengan hal-hal yang negatif namun juga stress berkaitan dengan hal yang positif sesuai dengan bagaimana individu itu menanggapi stress yang terjadi pada dirinya. Namun pada saaat sekarang ini dominan yang terjadi pada peseta didik yakni stress yang berbau negatif merugikan dirinya sendiri bahkan merugikan orang lain.
Dengan mengetahui arti eustress ini maka membuat saya memulai menerapkan rasa stress yang ada di kehidupan saya dalam bentuk hal-hal yang positif, memulai nya memang sangat sulit karena memang harus dengan niat dan tekad yang kuat. Beruntungnya saya dipertemukan juga dengan lingkungan yang baik dan juga orang-orang hebat.
Dalam gambar itu, salah satu program kerja sama mahasiswa yang tetap dapat dilaksanakan meskipun dalam situasi pandemi dengan sistem online, yakni membuat event olahraga dengan sistem virtual dan ini adalah salah satu perwujutan bagaimana mahasiswa dapat membuat rasa stress nya berdampak positif bagi orang banyak banyak. Banyak contoh lain yang dapat dibuat sebagai mahasiswa yaitu; seminar kepemimpinan, lomba cipta puisi, lomba membuat video kreatif tentang covid19, lomba karya ilmiah, dan masih banyak lagi yang terpenting dapat dilakukan dengan sistem virtual ataupun online.
Dan di sinilah bagaimana peran kita sebagai mahasiswa dan generasi muda dalam menanggapi situasi sekarang ini. Kata “maha” yang tertulis itu berarti kita adalah yang tertinggi dan kata “siswa” adalah pelajar, yang berarti kitalah kepala yang mampu menyuarakan dan juga memberikan solusi dan harapan kepada adik adik kita yang masih dalam kategori pelajar dan juga orang banyak.
Ada strategi yang bisa kita aplikasikan dan saya sebut dengan 3 M yaitu (Memandang, Memanfaatkan,dan Membangun). Pertama, memandang permasalahan secara jernih dan positif, kedua memanfaatkan situasi pandemi ini sebagai ajang untuk berprestasi, dan ketiga membangun semangat dan motivasi.
Banyak hal yang dapat kita lakukan, secara logika apa yang kita pelajari di perkuliahan dapat kita aplikasikan ke dunia sebenarnya. Meskipun dalam situasi pandemi covid 19 tetap dapat kita laksanakan secara virtual ataupun online, contohnya: kegiatan perlombaan, pertandingan, seminar motivasi dan pengalaman, dan masih banyak lagi. Untuk melaksanakan program tersebut juga tidaklah sulit yang terpenting adanya kerja sama baik antara mahasiswa dengan mahasiswa, mahasiswa dengan dosen, dan juga dengan masyarakat dengan penuh rasa optimis dan niat yang baik maka yakinlah kegiatan tersebut akan terlaksana.
Dapat kita lihat dari gambar di atas yaitu sebuah masker, sebagai mahasiswa secara tidak langsung kita bisa menjadi sebuah masker, menjadi pelindung dalam memberikan edukasi kepada masyarakat dan menjadi pelindung bagi peserta didik agar tetap berprestasi dengan tekad yang kuat. [T]
DAFTAR RUJUKAN
- Suyono,Tryono dan Dani Mandarani. “ Kefektifan Teknik Relaksasi Menurunkan Stress Akademik Siswa SMA” Universitas Negeri Malang 4 (2016) 115-120.
- Elit Amaria “Stress dan Motivasi Belajar pada Mahasiswa Psikologi” Universitas Mulawarman 1 (2013) 148-156.
- Lumban Gaol Nasib Tua “Teori Stress, Respons, dan Transaksional” National Taiwan University 24 (2016) 1-11.
- Susilo A, Rumende CM, Pitoyo CW, Santoso WD, Yulianti M, Sinto R, et al. Coronavirus Disease 2019 : Tinjauan Literatur Terkini Coronavirus Disease 2019 : Review of Current Literatures. 2020;7(1):45–77.
- Smet Bart. Psikologi Kesehatan. Jakarta; PT Gramedia Widiasarana Indonesia;1994.
- “Waspadai depresi pada remaja”. This is available online at http://www.epsikologi.comepsiindividual_detail.aspid=481. Diakses pada 2008-03-24.