- Judul: Yang Tersisa Usai Bercinta
- Penulis: Cep Subhan KM
- Penerbit: Odise Publishing, Yogyakarta
- ISBN: 978-623-95462-2-9
- Tebal: 182 halaman
- Cetakan Pertama: November 2020
Bahasa, beribarat dengan alam. Alam menunggu datangnya seniman untuk memilah mana pasir kali dan mana emas murni. Seniman melingsirkan kebakuan bentuk kayu atau batu menjadi kebakaan rupa seni: patung, rumah, perkakas. Jika kebakuan itu adalah bahasa, seniman itu disebut ‘sastrawan’. Dia mengerami kata dan makna, sehingga lahir raga dan jiwa kata: sastra.
Hujan yang turun, caranya mengguyur, selalu sama sejak kala purba. Gairah dan senggama, caranya menekuk akal, rukuk di atas lutut, selalu sama sejak Adam dan Hawa. Sastra mengubah pola itu. Memutus momen ‘biasa’, membawanya pada ruang renung karya. Yang ‘biasa’, dipotong-potong, disusun ulang menjadi sajian pesta raya perkesanan dan pemaknaan.
Di seberang lain, sastra mirip kecap. Dikenal karena ‘rasa’ yang dibawa. Keduanya dibolehkan untuk mendakukan diri “no.1”. Semata karena rasa (lidah) tidak memiliki rumus (tulang) baku. Rasa pembacaan, memang tanpa kebakuan?!
Di Pati, daerah pesisiran (Utara) tempat saya lahir, ada dua merk kecap yang sama-sama Nomor Satu. Kecap Lele dan kecap Gentong. Memang sulit untuk mengatakan salah satunya sebagai ‘tak nomor satu’. Namun mudah saja mengatakan bahwa keduanya berada di level rasa yang berbeda dengan si Malika, atau Kecap Abjad yang biasa disponsorkan dan mensponsori kontes kuliner. Perbedaan yang berada pada satu atau dua grade lebih tinggi dari kecap-kecap (iklan) pasaran. Hal ini bukan karena semata ‘lidah tak bertulang’ dan rasa yang merdeka, namun lebih pada ‘sifat rasa’ yang konon amanah: tak pernah bohong. Enak, tidak butuh iklan. Terkecuali enaknya uang, itulah iklan.
Saya bercerita tentang ‘sifat kecap’, semata karena saya butuh abstraksi analogis untuk meringkus kesan setelah membaca satu novel karya Cep Subhan KM. Semacam gairah ngrasani kesusastraan yang muncul kembali setelah lama rukuk pada rutinitas non sastrawi.
Rajah Gairah: Simbol-Simbol Eksistensial
Berjudul Yang Tersisa Usai Bercinta (selanjutnya disebut YTUB), karya ini adalah Body Painting. Sebuah ketelanjangan yang bukan birahi sembrono. Walau topografi erotisme digelarkan, semata sebagai kanvas, untuk dikuasi dengan kata-kata yang—meminjam bahasa penulisnya—berkelas. Kelas yang bangku-bangkunya tidak hanya berisi murid-murid diksi belaka, tapi lebih pada fade in-out alur dan estetika perenungan eksistensial.
Saya merasakan, novel ini ditulis di kota. Dalam ruang di mana diri manusia menjadi pastura. Dengan segala lorong dan labirin ‘sisi dalam’. Sisi dalam ini kadang gilap, kadang, remang dan sumir. Sisi dalam manusia digarap begitu kokoh dalam novel ini, secara serius dan brutal.
YTUB memberi serentetan pertanyaan tentang ADA APA: Ada apa di balik kenormalan-kenampakan? Ada apa di balik rangkaian kata? Ada apa di balik rumah tangga, keharmonisan? Ada apa di balik politik sastra? Semacam mapping terhadap matriks realitas.
Karya ini ambisius. Karena selain wujudnya yang novel—bisa juga disebut novelet—penulisnya pula ber-esai dan berpuisi. Di beberapa babak, dia melakukan kerja menerjemah. Membawa teks-teks negeri seberang lautan untuk didiksikan dalam cerita. Naasnya, pembaca diberi tugas yang sama: menerjemahkan diksi-diksi itu.
Sepintas YTUB menggoda, mengelabuhi pembaca pada daya tarik ketubuhan: kehendak libidinal. Padahal godaan sebenarnya ada di balik itu. Yakni pada aliran sungai psiko-eksistensial yang justru lebih deras dan lebih bergolak di dalamnya.
Kekuatan YTUB ada pada karakter tokoh-tokohnya. Setiap tokoh dalam ruang cerita ini dihidupkan semanusiawi mungkin. Memang sekelebatan ada penampakan jin—dari Timur Tengah sepertinya—dalam cerita, tapi tak pernah ada malaikat dan setan. Setidaknya, tidak ada manusia yang dimalaikatkan atau disetankan. Manusia adalah manusia, dengan black hole batin masing-masing. Makhluk dengan satu pusaran lubang kelam tanpa definisi. Walaupun di luarnya tampil sebagai penulis, aktivis feminis, atau ustadz media.
Dalam lembar-lembar YTUB, manusia tidak dimungkinkan berkamar Barat atau Timur, rasional atau dungu. Manusia adalah pelancong abadi yang singgah pada tradisi masa lalu, namun tak mungkin menjadi pribumi di sana. Mereka magang di akademi Yunani, sembari teguh merapal mantra-mantra berfrekuensi klenik hakiki.
Novel ini penuh perkelindanan skandal atas normativitas. Kesetiaan, keluguan, kejujuran, alih-alih kesucian, diserdawakan begitu saja. Bumi YTUB adalah planet niskala yang mengorbit pada gairah kemungkinan. Satu semesta yang menolak dua warna pasti: hitam dan putih.
Novel yang bisa rampung dibaca sekali duduk ini, mempunyai bilik-bilik persinggahan yang di dalamnya kenormalan ditelanjangi. Hubungan suami-istri yang nampak baik-baik saja, ternyata mempunyai kabin bawah tanah yang menyimpan api tersekam. Asyiknya, justru tepat pada kabin (bersekam) inilah yang digarap serius oleh penulisnya. Sehingga tiap babak yang tergelar, bisa ‘membakar’ kapan saja. Di satu kobaran, tertangkap kemurungan eksistensial ala Budi Darma, Olenka. Kadang, muncul kewingitan batin Sunda-Jawa yang mistis. Kadang muncul nuansa kegilaan Freud dan Jung. Walaupun sangat minor, ada juga lintasan ‘situasi komedi’.
Sastra sebagai Kritik
Secara diksi, novel ini adalah tesaurus. Tidak hanya bahasa Indonesia, seringkali penulisnya melancong sampai aksen Latin. Pemilihan dan penggunaan bahasa-bahasa ini menjadi semakin bernyawa, saat pada raganya ditiupkan teori psikoanalisis dan cultural studies. Dan yang lebih menggairahkan, terselip (atau diselipkan tentu saja) aspek “sastra sebagai kritik”. Baik kritik sosial, maupun kritik terhadap kesusastraan sendiri.
Jika Budi Darma membaca novel ini, dia akan tersenyum. Karena kritiknya dalam Solilokui yang melihat adanya kecenderungan ‘kerja instan’ dalam penggarapan karya sastra di Indonesia terbantah. YTUB terasa sangat berusia, secara kata dan kepadatan kalimatnya. Misalnya (hlm. 49), “akan tetapi kerapian bukan satu-satunya hal yang membuat darah Pandu turun dari kepala, naik dari kaki, berkumpul di tengah-tengah menugurkan menara pada muara. Dalam gelap malam, bukan hanya angin yang bisa menggerakkan dedaunan.”
Penulis YTUB seperti sadar betul bahwa kehadiran karya sastra, tidak cukup berisi fiksi pembunuh waktu. Tetapi lebih pada satu kerja seni. Seturut dengan Apresiasi Kesusastraan, sebentuk karya sastra baiknya memiliki kekuatan seni yang memadai. Aspek seni ini ditandai dengan fictionality, esthetic values, serta special use of language (Jakob Sumardjo dan Saini K.M., 1997: 13). Kutipan pada paragraf sebelum ini, saya kira sudah dapat mewakili esthetic values. Sedangkan untuk sifat kebahasaan yang khas dan nyeni, pembaca akan menemukan sendiri hampir menyekujur di setiap babak cerita.
Terakhir. Bagi saya—setelah terhantui oleh kesan pasca pembacaan—YTUB ini (terlalu) temaram. Semacam melulu pada dunia kaca: kamar perenungan. Mungkin sedemikian, saturasi yang diingini penulisnya. Tetapi bila mau diberikan keriangan Senyum Karyamin, misalnya, jejaknya akan lebih membumi dengan keseharian. Atau bila berkarsa menyerapkan nafas sajak (Rendra) Hai Ma, sisa-sisa senggama dalam YTUB akan (lebih) dewasa. Akan tetapi, bagi penulis yang sebelum ini telah menerbitkan sajak—dengan ketebalan satu buku—Hari Tanpa Nama yang akrab dan menaruh hati pada Goenawan Mohamad, sisi temaram mungkin sudah jadi jalan kekaryaannya.
Selebihnya, Yang Tersisa Usai Bercinta ini benar-benar telah merajahkan gairah pada pembaca. Gairah untuk terus hidup dalam tegangan kegelisahan dan kenikmatan. Gairah yang muncul-tenggelam di sebelum, selama, dan selepas menyenggamai sastra. [T]