Catatan Harian Sugi Lanus, 6 Januari 2021.
________
Di masa lalu ada kisah dimana Bali dinilai perlu disucikan dan perlu pandita yang mampu menyucikan kerajaan Bali. Tersebutlah Sinuhun Kidul pendeta agung dari Jawa mengutus I Guto ke Bali melakukan ritual penyucian bumi.
Kenapa Sinuhun Kidul mengutus I Guto? Apakah Sinuhun Kidul mengutus sosok tidak punya jam terbang tinggi?
Jelas tidak. I Guto bukan sosok orang sembarangan. Bahkan Sinuhun Kidul menyebutkan bahwa I Guto punya Weda sendiri.
Dalam catatan Dalem Gelgel, yang diwariskan ke pewarisnya di Smarapura, disebutkan bahwa kedatangan I Guto ke Bali untuk misi khusus melakukan penyucian pulau.
Ini memberikan gambaran siapa sosok I Guto:
1. Semenjak dari Jawa I Guto telah biasa mengemban tugas dalam rangka penyucian bumi. Bukan baru belajar. I Guto tentu tokoh yang punya posisi diperhitungkan di Jawa, yang punya pengalaman memimpin dan menyelenggarakan ruwat bumi — itu sebabnya I Guto diutus meruwat Bali.
2. Perintah Sinuhun Kidul: “Anggen Wedan duwene”. (Pakailah puja mantra Weda yang engkau miliki). Jelas sosok I Guto punya dan memiliki kepiawaian soal mantra dan Weda. Apakah I Guto orang biasa sehingga bisa memiliki Weda sendiri? Pertanyaan ini tidak perlu dijawab sebab di masa sekarang saja orang memiliki kitab pedoman Weda sangat jarang, apalagi di masa kerajaan Gelgel baru berdiri. Pemilik Weda di masa itu pasti dari keluarga khusus yang berkedudukan istimewa, atau minimal dari garis perguruan yang memiliki akses pengetahuan Weda.
3. Weda yang dimiliki dan dikuasai oleh I Guto adalah Weda (atau mantra dan upakara) yang terkait penyucian bumi. Weda ini yang diminta oleh Sinuhun Kidul untuk dipakai dan dilakukan. Tentunya, I Guto punya kepakaran dan ‘trah’ atau terlatih sebagai pandita peruwat bumi.
Lalu apa yang salah dengan I Guto?
Disebutkan dalam beberapa naskah lontar bahwa: I Guto setelah di Bali melakukan penyucian bumi juga bersedia diundang oleh pemuka masyarakat setempat untuk melakukan upakara atau muput kegiatan ritual yang lain.
Di sinilah letak masalahnya: Sepatutnya sebagai seorang yang berpedoman Puja Weda tersendiri yang khusus urusan ruwat dan prayascita bumi tidak dibenarkan secara etik kepanditaan untuk muput atau melakukan puja kepanditaan yang bukan bidang atau sasana-nya.
Di masa kerajaan sangat jelas pembagian tugas muput antara Pandita Buddha, Pandita Siwa, dan Pandita Rsi.
Demikian juga kelompok-kelompok kepanditaan pemangku dan kepanditaan lainnya yang punya tugas masing-masing secara ketat diatur sasana-nya (aturan profesi terkait tugas dan kewajiban yang diemban serta hal-hal yang tidak boleh dilanggar).
Sebagai contoh:
— Mangku Dalang bertugas menjalankan kepanditaan ruwat pedalangan dan terkait dengan upakara dengan pementasan suci Sudamala atau ruwat dengan wayang. Tugasnya di bidang ini sangat spesifik. Ia tidak pada tempatnya melakukan tugas di luar ranah tugasnya.
— Pandita Siddhakarya punya kewenangan anyidakarya. Pandita lain tidak bisa melakukan anyidakarya, demikina juga Pandita Siddhakraya tidak pada tempatnya keluar ranah tugas yang diembannya.
— Pandita Balian di masyarakat pegunungan Bali punya tugas spesifik sebagai Balian Desa berwenang muput (memimpin doa) semua ritual di desa dan untuk kalangan warganya. Di luar ranah desa dan wilayahnya mereka tidak pada tempatnya menjadi pemuput yang tidak dimandatkan oleh desanya.
— Mangku atau Balian Tubah, punya wewenang melakukan upakara panubah orang yang dilihat lewat tenung sebagai orang yang perlu prayascita atau ruwat. Balian atau Mangku Tubah tidak pada tempatnya muput hal di luar tugasnya, kecuali ia sehari-hari memang merangkap kepanditaan lain.
Berbagai kepanditaan punya wewenang spesitif dan mengkhusus. Jika seseorang melanggarnya, atau mengambil pandita lain yang bukan sasananya, maka masuk kategori kena “panten” (terhukum secara etik) dan Sang Sinuhun yang bisa mengadili sesuai dengan berat ringan kesalahan sasana (etika profesi) yang dilanggarnya.
I Guto sebagai utusan Sinuhun Kidul dari Jawa, yang khusus memiliki Weda dan sasana kepanditaan ruwat bumi, adalah pandita dari Jawa yang memang dinilai bersalah melanggar sasana karena muput upakara yang bukan bidangnya. I Guto sendiri tidak mangkir, beliau berjiwa jujur dan mau menyembang Sinuhun Kidul, dan meminta maaf.
I Guto adalah oknum yang dalam sejarah Bali tidak mewakili satu keluarga, tapi keteledorannya secara pribadi yang menyimpang dari sasana. Kita tidak bisa menyalahkan I Guto, kenapa? Ada berbagai kondisi di masa lalu yang tidak terbayangkan. Seperti, dimasa itu pendeta tidaklah berlimpah seperti sekarang, kalau di-pendak/ dijemput warga yang membutuhkan sulinggih, apakah juga tega menolak? Di masa itu pandita sangat jarang dan jarak Bali ke Jawa, atau ke tempat lain untuk mendak pandita sangat berat. I Guto, yang jelas, telah mengakui kesalahnya dengan meminta ampunan Sinuhun Kidul — Ada juga versi yang mengatakan I Guto semenjak itu menghilang, dikabarkan kembali ke Jawa.
4. Sebab I Guto adalah pandita yang menguasai Weda dan Puja, juga dari Jawa sudah punya hak muput upakara menyucikan bumi, maka beliau adalah ‘brahmana’.
Bagaimana dengan kesalahan I Guto?
Beliau telah diampuni oleh Sinuhun Kidul. Bahkan diberi posisi sebagai pendampingnya dalam urusan muput upakara. Ia tetap diposisi sebagai pandita, tapi tidak diijinkan muput hal yang bukan ranah tugasnya.
I Guto adalah oknum. Sosok pribadi. Sebagai oknum pernah menyimpang etika kepanditaan dan telah dimaafkan, itu adalah urusan I Guto dan keturunannya. Keluarganya di Jawa, atau keluarga besarnya, yang kemungkinan besar juga keluarga pandita Jawa (brahmana Jawa), tidak bisa dipersalahkan. Tidak bisa dilibatkan secara otomatis.
Kalau ada sosok oknum dari keluarga atau klan kepanditaan tertentu yang melanggar, apakah semua anggota klan atau dadianya dan anggota kawitannya menanggung kehilafan oknum dari kawitan atau dadia tersebut?
Keluarga besar I Guto dari kepanditaan tertentu di Jawa tidak bisa disalahkan, terlebih penugasan oleh Sinuhun Kidul bersifat personal pada sosok oknum bernama I Guto. Sebagai pribadi I Guto telah berjiwa satria mengakui ada yang tidak wajar beliau puput. Tentu beliau tahu konsekwensinya dan langsung meminta maaf pada Sinuhun Kidul.
Sudah menjadi semacam kesepakatan dalam keluarga pandita, kalau ada yang melanggar bisa diberi ganjaran untuk melakukan penyucian kembali atau puasa, atau ditugaskan menjalani penyucian kembali. Dalam lontar Rsi Sasana memberikan petunjuk jika seorang pendeta melakukan kekeliruan maka harus melakukan puasa, pengasingan diri, dan penyucian kembali sesuai berat-ringan kesalahannya.
Di masa lalu jika ada keluarga pandita melanggar, katakanlah keluarga Pedanda Siwa atau Pedanda Buddha, atau Rsi Bhujangga, dll, maka keluarganya tersebut tetap diberikan “hukuman” dan kemudian dibebani laku penyucian diri kembali dengan berbagai cara. Ada kesalahan yang bisa diampuni, ada kesalahan yang tidak bisa diampuni, atau disebut “panten” yang tidak bisa diruwat. Ada yang harus mengucilkan diri setahun di hutan atau pantai tidak boleh pulang. Ada hukuman beberapa bulan atau beberapa purnama untuk menjalani penyucian diri karena kesalahannya melanggar etika keluarga pandita.
Kesalahan keluarga pandita di masa lalu biasanya dirahasiakan, hanya menjadi “isu domestik”, tidak dibawa keluar sebagai isu dan gossip. Biasanya pelanggaran etik keluarga pandita tidak pernah dibahas terbuka. Bersifat tertutup sebagaimana sidang militer kuno yang tertutup hanya para atasan dan pihak keluarga yang paham. Biasanya oknum yang bersalah telah paham kesalahannya, langsung mengundurkan diri dari keluarganya, menempuh laku penyesalan diri, pengasingan dan penyucian ketat untuk bisa diterima kembali sebagai bagian dari keluarga pandita secara terhormat. Ada juga yang tidak kembali, dan melepas garis kepanditaanya secara pribadi.
Kisah I Guto tercatat dalam Babad Pasek dan menyebar kemana-mana karena I Guto melakukan kekeliruan muput di keluarga ini. Kisah ini bersifat personal dan telah juga diselesaikan oleh Sinuhun Kidul yang mengutus I Guto ke Bali.
Abra Sinuhun
Siapakah Sinuhun Kidul?
Kenapa beliau bisa mengutus I Guto?
Jika tidak kenal dan tidak terkait dekat dengan I Guto, tentu beliau tidak mengutus I Guto. Apakah Sinuhun Kidul adalah guru atau nabe I Guto?
Dalam kepanditaan, hanya pihak guru atau nabe yang bisa menghukum putra/sisya yang keluar dari etika kepanditaan. Lantas siapa sosok Sinuhun Kidul sampai bisa “memberi vonis” pada I Guto?
Jika bukan nabenya, maka kemungkinan yang bergelar Sinuhun adalah “pendeta guru” atau “guru dari para pendeta” atau “guru nabe”; kemungkinan jabatan lengkap Sinuhun Kidul adalah Abra Sinuhun.
Yang jelas dapat dipastikan ada “garis komando” antara Sinuhun Kidul dengan I Guto.
Jika I Guto penugasannya bersifat penugasan kerajaan dari Jawa ke Bali, maka kemungkinan Sinuhun Kidul adalah sosok dharmadhyaksa sebuah kerajaan. Maka Beliau berhak memberi tugas pada salah satu pandita yang ada dalam majelis atau paruman pandita. Dengan demikian, I Guto adalah kemungkinan anggota paruman pandita yang ada di bawah “garis komando” Sinuhun Kidul.
Dwijendra Tattwa mengutip Babad Pasek (?)
Kisah I Guto tercatat dalam catatan tertua yang mencatat nama I Guto adalah Babad Pasek. Kemudian ada pula dalam Panugrahan Dalem yang diberikan kepada keluarga Pasek. Dalam dua naskah ini tidak disebutkan bahwa Sinuhun Kidul adalah Danghyang Nirartha. Yang dirujuk dalam 2 naskah tersebut adalah hanya nama Sinuhun Kidul. Dari dua naskah ini tidak bisa dipastikan siapa yang dimaksud dengan Sinuhun Kidul yang memberi perintah I Guto ke Bali.
Dalam naskah yang baru ditulis belakangan yang berjudul Dwijendra Tatwa, yang kelihatan jauh lebih muda penulisannya dari Babad Pasek, menyisipkan atau mengutip kisah I Guto tersebut. Darimana lagi kisah ini kemungkinan adalah kutipan dari Babad Pasek dan si penulis Dwijendra Tatwa sepertinya menghubungkan sosok Sinuhun Kidul sebagai Danghyang Nirartha.
Padahal, kalau kita teliti, tidak ada catatan lebih tua lebih tua lagi yang mengatakan bahwa Beliau (Sinuhun Kidul) yang mengutus I Guto ke Bali untuk penyucian kerajaan adalah Danghyang Nirartha. Danghyang Nirartha sendiri ke Bali karena prahara di Jawa. Keluarganya berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, kesah atau menyingkir dari daerah pusat kerajaan ke arah Jawa Timur lebih ke timur, Pasuruan dan Blambangan, dan akhirnya menyeberang ke Bali, karena berbagai kemelut politik Jawa ketika itu yang seang bergolak. Keluarga Danghyang Nirartha di Jawa setelah mengalami banyak kepindahan akibat terjadi prahara perubahaan keagamaan di Jawa, demikian disebutkan dalam bagian pembuka Dwijendra Tattwa.
Ketiga naskah di atas, yang kemungkinan mengandung informasi sejarah tersebut, tidak bersifat final. Mengandung informasi sejarah belum tentu mengandung kebenaran sejarah. Ketiganya tidak sama versinya ketika menceritakan sosok I Guto. Namun, setidaknya ketiga naskah sepakat menyebutkan bahwa I Guto adalah sosok atau oknum yang menyimpang dari etika kepanditaan, muput apa yang tidak sepantasnya atau “mupuput tan manut sasana“. Beliau adalah sosok pribadi, tidak melibatkan keluarga besarnya. Apakah kemudian hari I Guto punya janji untuk mengabdi pada Sinuhun Kidul sebagai pendamping upakara-upakara yang dikerjakan Sinuhun Kidul, ini adalah perjanjian oknum I Guto dan keturunannya saja. Keturunan keluarganya di luar garisnya ke bawah tentu tidak bisa dilibatkan.
Ketiga naskah tersebut sepakat bahwa I Guto adalah tokoh yang paham berbagai puja dan mantra, mahir dalam kepanditaan. Menurut naskah babad yang diberikan Dalem kepada keluarga Pasek, disebutkan I Guto adalah pandita yang secara pribadi menanggung “panugrahan” dari Sinuhun Kidul. Naskah ini beredar luar di keluarga besar Pasek di Bali Utara.
Apa pelajaran penting dari kisah ini?
Sepertinya kisah I Guto memberikan kita ingatan dan pangeling-eling untuk “pageh pada sasana kepanditaan” (teguh memegang kode etik kependetaan), untuk tetap pada sasana, dan jika menyimpang harus bersikap satria menerimanya.
Kisah I Guto terjadi di masa lalu dimana tradisi kepanditaan masih sangat ketat. Jika saja hal tersebut terjadi di masa sekarang, nasib dan jalan cerita I Guto tentunya akan sangat berbeda. Mengingat I Guto fasih dan sangat ahli dalam muput berbagai upakara, jika I Guto hidup di era sekarang, tidak mustahil beliau telah didaulat menjadi guru nabe kepanditaan.
Siapapun I Guto, kita mesti hormat atas sikapnya yang satria, tidak mangkir, menyembah dan meminta ampunan sujud di kaki “guru-nabe” Sinuhun Kidul. [T]