Malam Penjagalan
wahai, pemapar ikhbar –berkatilah hewan ini dengan
hamun dan sifat dayus, sebelum dunia membuatnya kudus.
di kandang ia terkinjat, melihat tali-jerat seakan melihat
jalur gunung, dataran anggara, molek-alam dalam
lukisan penduduk kota, tempat induk mengasah tanduknya.
tapi tanduk cuma jimat pintu rumah, setelah upacara dan
kelambur mantra melunturkan kutuk di tengah wabah.
tak ada amnesti untuknya, tak ada palu atau pandita.
harga daging berdering dalam tidur juragan, bilamana
penjagal itu melihat pagi terayun seperti kapak,
langit berminyak,
dan udara bengkak bagai tertimbun lemak.
(2018)
Pigmen Bunyi
sudah lama seseorang menyisir rambut; suara terompet
merembet dari palet yang dibiarkan lengket. lukisan belum jadi,
sungai masih mengarsir kabut, polesan-polesan lembut.
pigmen bunyi dari seuntai nyanyi, setelah basah gaun terseret
di permukaan batu, seseorang menunggu, lembar air dibalik
dan kekosongan menerangi bagian paling tajam dari sirip ikan.
saat itu air pasti sudah jadi helai-helai lembut, seseorang meraba,
menemukan akar kata seraya memuji kemerduan warna dari ilham
yang berenang ke lubuk dalam; kanvas suara di dinding dunia.
sudah lama seseorang menatap, kavaleri waktu menetap di lukisan
yang belum jadi. sungai lengket dalam suara terompet dan ikan-ikan
mengarsir aransemen bagi seseorang yang tak akan kembali
(2019)
Martiria
dia mengerti, bangsa tak ada bila tak ada luka
maka disimpannya potret pengungsi dengan
latar merah-besi. kampus-kampus yang mati,
hangus, lalu berdiri lagi bagai monumen api
“Merdeka!” ratapnya.
seketika itu juga seluruh gagasan beku, sedang
batu-batu terbang ke berbagai penjuru.
para mahasiswa menemuinya
melalui brosur dan paket pariwisata.
tak ada mesiu di mata mereka
senantiasa gembira, bagai budak distrik
mengenakan setelan batik.
maka bertutur saja dia perihal armada selatan
kaigun, gugus tulang dada, juga bangkai romusha
di jalur ladang. pita suaranya membujut, sekian
umur digulung takut, hingga kelakar yang
keluar terdengar seakan bakaran gambut.
(dan mereka ikut tertawa, mereka ikut tertawa)
kaftan dan pomade, hijab dan pantalon,
tugas akhir: wawancara dengan sejarah.
mereka merasa naik ikazuchi. ikut perang, unggah
swafoto, colek kawan-seperbudakan.
(2018)
Anjungan
piala untuk pikiran terlarang, di anjungan
setiap pengunjung menjunjung pujian bagi
para korban perang. rapat-rapat menyimpan
rapat-rapat budi pekerti sampai saat dibagikan
sebagai percobaan perusahaan obat-obatan;
untuk anak-anak pengungsi, untuk penyangsi
yang membakar diri, mandi api di lautan oligarki.
lalu jatuh socrates, setetes demi setetes,
memanjat machiavelli setali demi setali,
mencapai negara, dan demi demit,
semua parasit politik menggigit lidah pelawak
hingga gagak-gagak menukik ke dalam putik bunga,
mengisap sari luka agar bisa kita muntahkan lagi
sebagai bisa kata-kata.
[2019]
Hantu Rima
aku hantu rima, aku tak pernah takut
pada tuts piano, buku kafka, kodok di sepatu tentara
aku cinta pada logika, kalau kau logika, aku akan
bernyanyi di depan makammu setiap hari, awan
dinihari, lewat seperti kristen stewart, melirik
puisi lirik di kantung mata penderita kusta.
aku menjadi rima setelah pura-pura percaya
semua kata tak ada artinya, bagaimana bisa,
tanya saja pada rhoma irama, o, dia sang raja
yang malih jadi entang kosasih dalam kenangan
eka kurniawan
sst, sebenarnya aku ini pengungsi,
dari lipstik aung san suu kyi-
dan kau dengar kan kata seruling sebelum tertulis
kata seruling untuk kedua kali?
[2019]
Therese Kepada Camille
: Zola
perahu telah terjungkir dan kulihat hidupmu yang getir
memenuhi langit hampa. saat itu juga aku ingin menyembah
ibumu, janda tua dungu yang merebutku dari tangan serdadu.
sering kuimpikan padang-padang afrika, macan dahan, dan perang
terbuka. aku gipsi dari gurun mati, dilemparkan ke kota kotor ini.
aku rindukan dadamu, tanah malit terbuka untuk aneka penyakit
tapi kerinduanku semata dusta, bibit bunga busuk baunya
terhidu hidung pembaca; di dalam kamar mati, kulihat kecemasannya
tenggelam bersama hantumu yang basah, berusaha mendengar
suaramu menggaruk-garuk pintu rumah
pembaca itu tidak berduka, ‘kematian’, katanya, ‘hanya statistika’
dan kami menyusulmu, mengulang peristiwa ketika Laurent
melemparmu ke danau terbuka, sebelum membalik perahu,
seperti membalik halaman pertama sebuah buku
yang terus-menerus menyeru namaku.
(2020)
Periode Biru
dinding kupu-kupu. jantung beliamu. keheningan
batas pandang manakala bimasakti membuka
tabung malam. tanganku memetik senar akustik.
di lentik jarimu. dan musik tertarik ke orbit mistik.
debar dinding itu. kupu-kupu belia itu. kita berciuman
sebentar, sebelum sebentang tulang digurat di tengah
padang. tanda pedang. tanda perang. mereka menemukan
sepasang mumi telanjang. cahaya seketika pasang.
bulan dipasang di ketinggian. bayang-bayang bunyi.
bermekaran seperti puisi. jarijarimu memetiknya; nyanyi
sunyi. terasing dari mimpi. biru bumi.
(2020)