Aku masih ingat hari itu, ketika aku melihat perlombaan baca puisi pada saat acara Pekan Seni Pelajar beberapa tahun lalu. Perlombaan itu diadakan di Art Centre Denpasar. Kalau tidak salah lokasi persisnya di Kalangan Angsoka. Lomba di mana pesertanya menggunakan busana adat mewah serta suasana yang agak kaku menurutku. Saat itu aku menjadi penonton untuk mendukung perwakilan dari sekolah. Aku tidak begitu mengerti apa yang mereka bacakan, bahkan aku tidak ingat satu kata pun yang terlontar waktu itu. Yang kuingat hanya suasana kekakuan itu yang masih membekas sampai sekarang.
Aku tidak mengerti apa yang menarik dari acara itu. Apakah pakaian mewah? Suara yang merdu? Atau kekakuan itu yang menarik? Acara yang sangar berjarak denganku, belum lagi dengan diriku yang lebih menyukai kesederhanaan. Baju kebaya mewah dan penonton yang memakai baju seragam sekolah terasa begitu berjarak. Tidak hanya dari segi busana tetapi juga keberjarakanku dengan hal-hal semacam itu. Ketika itu aku memang belum terlalu mengenal sastra, hanya mengenal bahwa ada kata-kata dengan pengejaan seperti itu. Tidak lebih juga tidak kurang. Pada akhirnya itulah yang membuatku berpikir bahwa hal yang menyangkut sastra adalah hal-hal formal, hal-hal kaku, dan hal-hal yang berjarak.
Tetapi malam itu, membuatku teringat kembali akan pengalamanku dengan sastra sebelumnya. Malam itu 20 Desember 2020 adalah Penutupan Siar Siur Kalangan, dan acara itu sedikit menghentakku. Bagaimana tidak? Sebab malam itu juga merupakan apresiasi karya kawan Kalangan yang baru saja menerbitkan anak rohani mereka. Manik Sukadana dan Jong Santiasa Putra dengan buku kumpulan puisinya. Lalu Agus Wiratama dan Devy Gita dengan buku kumpulan cerpennya. Rasanya begitu berbeda, suasananya tidak kaku tapi lebih hangat serta dekat. Malam itu beberapa kawan lama yang tidak bertemu akhirnya bisa berkumpul di bawah satu atap. Memang salah satu yang membuat dekat ialah aku yang mengenal kebanyakan dari mereka yang hadir. Tetapi apakah hanya itu? Aku bahkan tidak terlalu mengenal mereka semua, bahkan ada yang hanya sebatas baru kenalan. Walau begitu malam itu aku bertemu dengan beberapa kenalan baru. Kenalan yang siapa tahu setelah sekian lama akan menjadi kawan. Siapa yang tahu.
Malam itu juga tidak hanya menjadi sebuah pertemuan untukku, tetapi juga kawan-kawan yang karyanya di respon oleh musisi. Karya-karya mereka yang telah direspon, dibaca, dialih wahanakan ke dalam musik. Sebelumnya mungkin ada beberapa diantara mereka tidak saling kenal secara personal dan malam itu menjadi sebuah perjumpaan. Dengan suasana intim dan dibalut halusnya gerimis tipis. Di sanalah mereka bertemu, bertatap muka, berkanalan antara penulis dan musisi. Membuka kemungkinan dan relasi baru, mungkin saja setelah ini akan ada kolaborasi-kolaborasi diantara mereka. Kita tunggu saja kabar terbarunya.
Tidak hanya menjadi ruang untuk bertemu, juga menjadi sebuah ruang presentasi live dari para musisi. Respon, bacaan, alih wahana yang sebelumnya sudah diupload ke kanal youtube Teater Kalangan. Sekarang dibawakan langsung oleh mereka pada malam itu. Ada hal lain dan berbeda ketika mendengarnya secara langsung ketimbang dari youtube. Yang hadir adalah interaksi langsung antara penonton dengan musisi. Memang awalnya ada kendala teknis, gitar yang tak mau terkoneksi dengan sound, kabel jack yang main-main. Namun tidak ada yang protes, malahan semua itu dijadikan gurauan. Aku sendiri cukup tegang dengan keadaan gitar yang tak mau terkoneksi dengan sound tapi tidak bisa berbuat banyak karena hal itu bukanlah sesuatu yang bisa aku selesaikan. Jadi aku hanya bisa menonton kerja kelompok beberapa orang yang hadir malam itu untuk menyiasati kendala teknis. Sudah jelas terasa suasana tidaklah kaku bahkan kelewat cair.
Dengan sedemikian drama teknis yang hadir pada awal, acara tetap berlanjut dengan live dari para musisi. Pembuka dimulai oleh Satya Bhuana dengan petikan gitar serta “harapan-harapan petani garam”. Salah satu baris puisi Seandainya “Kata-Kata Pecah di Keningmu” –nya Jong yang sangat terngiang di telingaku. Lalu Coki dengan suara ademnya dan “bayangkan setelah buka mata, warna berbeda kopi sulit dikenali”. Baris puisi “Kedai Embara” –nya Manik. Setelah itu dilanjutkan oleh Eba, aku tidak sempat mendengarnya karena mesti keluar untuk membeli beberapa keperluan. Tetapi aku mendengarkan rekaman yang diupload di youtube dan ada baris yang aku senangi. “Kita paham pertemuan dan perpisahan, semacam kesepakatan atas persetujuan sepihak waktu dan dirinya” baris puisi “Puisi Kecil – Kawan Seperjuangan” –nya Jong. Setelahnya adalah Adit dengan musik aliran doom dan metal. “Satu diantaranya menjelma dirimu” baris puisi “Anima” –nya Manik. Dan ditutup oleh Pandu meski aku juga tidak terlalu memperhatikan tetapi “hendak bersembunyi dibalik tajamnya besi pahatmu”. Baris puisi “Bayang di Kelir, Menuju SIngaraja” –nya Jong juga salah satu bagian yang aku suka ketika dialih wahanakan.
Setelahnya dilanjutkan dengan open mic untuk pembacaan puisi masing-masing. Banyak yang antusias untuk membaca puisi karya sendiri maupun karya orang lain. Ada yang dengan sendirinya mengajukan diri. Ada juga saling tunjuk untuk menentukan siapa yang membacakan puisi selanjutnya. Seperti halnya saling tunjuk ketika jaman sekolah. Ketika guru meminta siswa untuk menjawab, beberapa siswa saling menunjuk siswa yang lain untuk menjawab. Itu terjadi meski dengan suasana yang cukup berbeda dengan suasana kelas.
Ada yang membacakan puisi untuk seseorang yang dikasihnya. Ada juga yang membacakan percakapan di whatsapp yang diamini sebagai puisi dan sebagainya. Cukup bebas bagaimana mereka mengerkspresikan puisi yang dibacakan. Bentuk puisinya pula ada yang unik serta tak biasa. Malam itu aku rasakan adanya kecairan dalam mengekspresikan diri melalui puisi. Puisi dalam hal ini menjadi medium untuk mengungkapkan perasaan. Puisi yang dibacakan pun setidaknya memiliki bias-bias perasaan pembacanya. Jika puisi ciptaan sendiri pasti ada bias perasaan di dalamnya. Lalu bagaimana jika pembacaan puisi ciptaan orang lain? Meskipun puisi yang dibacakan adalah ciptaan orang lain, hal ini juga menjadi menarik untuk disimak. Meski puisi ciptaan orang lain, tetapi ada yang mendasari pemilihannya. Mengapa puisi yang itu? Mengapa puisi yang ini? Sebab mereka pasti merasakan relasi, maka puisi itupun dipilih.
Tidak hanya puisi tetapi juga cerpen. Bagaimana cerpen menjadi sebuah medium untuk menyampaikan sesuatu. Entah itu kegelisahan atau perasaan-perasaan lain yang hadir dalam diri penulis. Menulis juga tidak hanya mengungkapkan sesuatu tetapi juga menjadi sebuah catatan langkah. Seperti kawanku yang pernah berkata menulis adalah sebuah catatan luka. Luka-luka apa yang pernah menempati tubuhnya dicatat dalam baris-baris puisi. Ada pula yang menjadi sebuah cerpen atau tulisan-tulisan lainnya. Kadang menulis juga bisa menjadi salah satu cara ketika kita bingung untuk berbicara pada siapa. Berbicara mengenai suatu masalah atau hal-hal lainnya. Setidaknya beban terasa lebih ringan dari sebelumnya dengan mengungkapkannya melalui menulis.
Acara belum usai, sekarang giliran Mas Danto atau biasa dikenal sebagai Sisir Tanah yang angkat mic. Dia sempat datang sehari sebelumnya, aku dan beberapa kawan sempat berbincang dengannya. Dia juga sangat tertarik dengan sastra, lirik-lirik lagunya pun terasa sangat puitis. Malam itu dia membawakan beberapa lagunya seperti Lagu Hidup, Konservasi Konflik, dan Lagu Bahagia. Kami yang sangat ngefans dengan Mas Danto sontak saja sangat bergembira ketika ia menyanyikan lagunya. Duduk lesehan berjejer di depannya, seperti layaknya anak kecil yang sedang menunggu mendengar dongeng. Lalu ketika Lagu Bahagia dimainkan kami langsung berdiri serta ikut bernyanyi dan menari bersama. Euforia malam itu begitu menyenangkan, begitu dekat.
Malam itu adalah malam untuk merayakan penutupan Siar Siur Kalangan. Merayakan perilisan buku kawan-kawan kami. Malam olah sastra oleh musisi. Tetapi bisa juga aku andaikan malam itu kami dikumpulkan oleh sastra. Euforia dan suasana yang hadir mematahkan persepsiku akan sastra sebelumnya. Sastra yang awalnya aku kenal sebagai sesuatu yang sangat formal, asing, kaku, dan berjarak. Kini terasa lebih dekat, luwes, dan kadang menjadi tujuan bagi mereka yang bingung hendak pulang ke mana. [T]