Suatu hari entah itu kapan, aku sempat berpikir ketika selesai membaca sebuah cerpen. Cerpen yang baru selesai aku baca selama kurang lebih sepuluh menit dengan tujuh halaman panjangnya. Waktu yang cukup singkat untuk menuntaskan satu bacaan. Waktu singkat itulah yang membuat aku berpikir, apakah sesingkat itu juga ketika membuat sebuah cerpen? Pertanyaan itulah yang membuatku tertarik untuk mengikuti workshop menulis cerpen yang diadakan oleh Teater Kalangan dalam salah satu sub program Siar Siur Kalangan.
Workshop itu diadakan pada tanggal 19 Desember 2020 dan bertempat di Warung Men Brayut. Dimulai pada jam tiga sore pada lantai tiga yang biasanya di ruangan itu aku latihan untuk sebuah pementasan. Ruang yang cukup besar dengan banyak jendela sehingga bisa melihat sekitar bangunan itu. Terlebih dengan berada di lantai tiga memberikan perspektif yang cukup jelas dengan peristiwa yang ada. Selain ruang yang menarik dengan segala kemungkinan peristiwa yang bisa dilihat, apa yang disampaikan mentor saat itu juga sama menariknya. Mentor workshop itu ada dua yaitu Agus Wiratama dan Devy Gita. Keduanya juga baru saja merilis buku kumpulan cerpen mereka. Saat itu mereka memberikan tawaran metode dalam membuat sebuah cerpen menurut pengalaman pribadi. Metode inilah yang menarik untuk proses kepenulisanku. Dari apa yang aku alami dalam workshop, aku bagi menjadi beberapa bagian.
Karya Untuk Siapa?
Dalam diskusi pada workshop ada pembicaraan mengenai apakah sasaran karya akan mempengaruhi hasil akhirnya? Tentu saja ini akan sangat berpengaruh, bagaimana penulis membayangkan pembacanya? Siapa pembacanya? Apakah pembacanya anak muda? Apakah pembacanya orang yang lebih dewasa? Berapa rentang umurnya? Atau di mana lokasi pembacanya berada? Hal-hal ini akan sangat berpengaruh terhadap hasil akhir. Misal saja ketika berbicara mengenai lokasi pembaca, jika para pembaca yang dibayangkan adalah masyarakat Bali. Maka pada akhirnya ada beberapa konteks yang bisa dihadirkan dalam cerpen, seperti bahasa lokal dan kondisi sosial budaya yang ada di sana. Atau jika pembaca yang dibayangkan lebih luas lagi, Indonesia misalnya. Maka bahasa yang digunakan adalah bahasa mayoritasnya yaitu Bahasa Indonesia. Lalu ketika membayangkan pembaca di Indonesia, apakah bahasa dan konteks lokal tidak bisa dihadirkan? Tentu saja bisa, hanya saja musti ada catatan mengenai bahasa dan konteks lokal tersebut. Agar pembaca lainnya mengerti konteks yang dimaksud.
Begitu juga dengan rentang usia pembaca yang dibayangkan. Rentang usia tertentu akan menghasilkan cara penceritaan, diksi yang dipilih, tema, dan alur yang akan dipakai. Tema apa yang disukai oleh remaja pasti akan berbeda dengan orang dewasa. Diksi yang dipilih pun akan berbeda pula, terlebih lagi cara penceritaan. Ada yang menyukai cerita yang tak begitu berat, atau hanya yang ringan-ringan saja. Biasanya ini adalah kecendrungan remaja tetapi tidak semua juga menyukai cerita ringan. Mungkin saja remaja yang sudah sering membaca akan menyukai karya-karya yang cukup berat. Kemudian ada pula orang dewasa yang lebih suka membaca bacaan ringan ketimbang bacaan berat. Jadi selain umur dan wilayah ada hal lain yang juga menjadi penentu dalam membuat cerpen, yaitu latar belakang pembaca. Latar belakang bacaan yang pernah dibaca, latar belakang lingkungan sekitar, latar belakang kesejarahan, dan sebagainya.
Tetapi itu pada ranah penjualan atau tujuan keluar. Penulis juga punya tendesi untuk apa dia menulis. Seperti kemarin apa yang disampaikan oleh Devy ketika workshop. Dia menulis untuk selfhealing, menulis menjadi medianya untuk curhat atas kegelisahannya. Kegelisahan akan bagaimana masyarakat memandang perempuan dan kisah-kisah lainnya akan isu itu. Ada pula yang menulis hanya untuk menulis saja atau menjadi proses dari kepenulisannya. Ada juga yang untuk dijual, biasanya mereka yang berniat menjadikan buku sebagai barang jualan, akan melihat bagaimana kesenangan pasar. Tema-tema, penyajian, dan juga cara penceritaan yang disukai oleh pasar. Jadi ada banyak tujuan ketika tulisan itu hadir, baik untuk penulisnya sendiri atau keluar kepada pembaca.
Observasi Realitas
Menulis adalah bagian dari proses pengeluaran apa yang sudah kita pahami hingga sekarang. Pemahaman itu bisa datang dari mana saja. Bisa dari studi literatur, menonton film, atau juga mengamati sekitar. Misal dalam workshop kemarin aku dan beberapa peserta lainnya diminta untuk mengobservasi keadaan disekeliling kami. Apa saja yang terjadi? Apa saja yang ada? Bagaimana kondisinya? Bagaimana suaranya? Bagaimana baunya? Bagaimana rasanya? Semua indra diaktifkan lalu kami mencatatnya. Mencatatnya menjadi sebuah kalimat-kalimat singkat. Semisal kami duduk di ruangan yang cukup besar. Bisa seperti itu, tetapi tidak hanya apa yang ada di dalam ruangan. Melainkan apa saja yang ada di luar bangunan, itu juga kami observasi ketika workshop.
Aku yang sudah biasa dengan tempat itu, bangunan pada lantai tiga dan suasana apa yang bisa dilihat dari sana. Rumah makan pada sebelah utara dan jalan raya pada sebelah timur. Pengalamanku di ruang itu membuatku bisa lebih memfokuskan ke mana yang akan aku observasi. Seperti memfokuskan peristiwa yang hadir pada rumah makan di sebelah utara, yang menurutku cukup menarik untuk diamati detail-detailnya. Bagaimana cara pelayan di sana mengantarkan makanan. Bagaimana pengunjung di sana ketika menyantap pesanannya. Dan bagaimana kondisi ruang di sana. Semua itu dicatat, kemudian kami diminta untuk membuat sebuah paragraf dari itu.
Semua itu dilakukan untuk menumbuhkan kepekaan kepada sekitar. Bagaimana indra menyadari apa yang ada pada sekitar dirinya. Karena apa yang disaksikan kemudian dituliskan itu akan sangat membantu pada saat menulis. Kita juga bisa membayangkan dan menuliskan lebih jelas ketika pernah melihat dan mengobservasi sesuatu. Jadi apa yang ditulis bukanlah sesuatu yang bersifat imajinasi semua. Melainkan hasil dari pengalaman dan observasi langsung oleh penulis terhadap dunia di sekitarnya.
Dunia Penulis
Setelah semua data hasil observasi itu, baru sekarang bagian mengolah dan menjadikannya sebuah cerita atau narasi. Dari semua data yang diperoleh, penulis bisa memasukkan apa saja yang menurutnya bisa dijadikan sebagai alatnya untuk bercerita. Tentu saja tidak semua data akan dimasukkan ke dalam sebuah tulisan. Ada yang terpakai, ada juga yang tak terpakai.
Data yang terpakai juga tidak serta merta digunakan secara langsung. Bagaimana cara penceritaan penulis juga akan berdampak pada pengolahan data. Bisa saja tidak langsung data mentah yang ditampilkan tetapi bisa juga menyiratkan data tersebut. Misal ketika ingin menuliskan keadaan ramai pada tempat makan di utara tempat workshop, mungkin tidak akan digunakan kata ramai tetapi bagaimana jejeran motor pelanggan yang membuat kewalahan tukang parkir. Atau bisa juga pelayan yang terus mengantarkan pesanan tanpa henti dari sejam yang lalu. Itu bisa menjadi sebuah makna tersirat, bagaimana pelayan yang terus mengantarkan pesanan tanpa henti itu bisa menandakan bagaimana ramai kondisi di sana. Tetapi itu balik lagi kepada penulis, bagaimana ia menghadirkan data pada tulisannya. Entah itu secara langsung atau tidak, itu semua terserah penulis karena itu adalah dunianya.
Lalu ada juga imajinasi, menjadikan sesuatu yang tak mungkin menjadi mungkin dan juga sebaliknya. Seperti pembunuhan, perjalanan ke luar angkasa, menjadi nabi, berselancar di lautan api, dan sebagainya. Sesuatu yang kemungkinan tidak akan terjadi bisa kita hadirkan dengan menulis. Menulis secara tidak langsung juga akan menjadikan tulisan sebagai dunia yang sepenuhnya kita ciptakan. Apa saja yang ada di dalamnya? Bagaimana alurnya? Bagaimana endingnya? Semua dirancang oleh penulis, tetapi itu semua juga berdasarkan realita dan data yang dikumpulkan.
Setelah menjalani workshop, aku sadar bahwa penciptaan sebuah cerpen bisa jadi lebih lama ketimbang membacanya. Data yang didapat dari segala indra kemudian diolah oleh penulis baik dengan pikiran dan imajinasi. Sebuah proses dialek antara indra dengan pikiran dan imajinasi. Juga dengan adanya workshop ini, aku sadar bahwa apa yang kita baca pada sebuah buku cerpen tidak serta merta hadir karena hasil pergulatan imajinasi penulis semata. Ada hal lain yang lebih kompleks dari itu. Sesuatu yang kompleks itu pada akhirnya menjadi apa yang kita baca pada cerpen-cerpen dalam sebuah buku. [T]