7 June 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Mereka Tak Dilihat || Untuk Teman-teman Kepulauan Kangean

JaswantobyJaswanto
December 22, 2020
inEsai
Mereka Tak Dilihat || Untuk Teman-teman Kepulauan Kangean

Salah satu sudut pantai di Sapeken [Foto Taufikur Rahman Al Habsyi]

I

Dr. Ignas Kleden dalam orasi mengenang Sutan Sjahrir di TIM, Jakarta 2006 yang berjudul Sutan Sjahrir: Etos Politik dan Jiwa Klasik mengatakan: Dalam dua pucuk suratnya yang ditulis dari penjara Cipinang dan dari tempat pembuangan di Boven Digul, Sjahrir mengutip sepenggal sajak penyair Jerman, Friedrich Schiller (1723-96). Dalam teks aslinya kutipan itu berbunyi: “und setzt ihr nicht das Leben ein, nie wird euch das Leben gewonnen sein”—yang maknanya: hidup yang tak dipertaruhkan, tak akan pernah dimenangkan.

Benar. Hidup memang harus dipertaruhkan. Berani hidup harus berani bertaruh. Layaknya meja judi, tak jelas menang-kalahnya; beruntung-ruginya; berhasil-gagalnya. Hanya sekelas Dewa Judi—seperti film-film Mandarin—yang mampu menebak siapa yang akan menang atau siapa yang hanya akan menjadi pecundang.

Selama hidup di Singaraja, Bali, saya punya banyak kenalan anak-anak Madura—entah yang tinggal di Pulau Madura atau di daerah tapal kuda: Probolinggo, Bondowoso, Situbondo, dan sekitarnya.

Selain dari Pulau Madura dan daerah tapal kuda (orang-orang kadang menyebut Madura Swasta), saya juga banyak kenalan anak-anak Madura yang tinggal di kepulauan Kangean—gugusan pulau yang terdiri atas 60 pulau.

Secara administrasi, Kepulauan Kangean merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Sumenep. Di Kepulauan Kangean terdapat tiga kecamatan, yaitu Arjasa, Sapeken, dan Kecamatan Kangayan.

Dari sekian anak Kangean yang saya kenal, hanya ada tiga yang akrab dengan saya: Febri, Ainur, dan Huda—ketiganya adik tingkat saya di kampus.

Dulu saya tak pernah tahu di Indonesia ini—atau di Pulau Madura, Jawa Timur—ada wilayah bernama kepulauan Kangean. Saya tahu karena kenal Ainur, Febri, dan Huda. Mereka bertiga sering bercerita tentang pulau mereka. Bagaimana masyarakatnya, budayanya, kondisi ekonomi, infrastruktur, hingga kisah-kisah mengerikan dan menyedihkan yang kadang membuat saya meneteskan air mata.

Kisah tentang bagaimana perjuangan mereka dalam menempuh pendidikan, misalnya. Pernah suatu kali Ainur bercerita tentang perjuangannya kuliah ke Singaraja kepada saya. Dan saya diam-diam di kamar mandi meneteskan air mata.

“Kampung halaman saya di Pulau Sepanjang, Bang, salah satu pulau di kepulauan Kangean, Madura. Kampung saya berada di wilayah Jawa Timur juga. Tapi jika ditarik garis lurus melewati laut, kampung saya sebenarnya lebih dekat dengan Kabupaten Buleleng, ya walaupun tak dekat-dekat amat sebenarnya—karena perjalanan 10 jam ke sini, Bang. Kalau ke Banyuwangi malah lebih jauh lagi,” kata Ainur saat bercerita kepada saya.

Saya tersentak. “Sepuluh jam, Nur? Itu naik perahu besar?”

“Enggak, Bang. Mana ada perahu besar. Kami naik perahu nelayan yang ukurannya kurang lebih 2×15 meterlah. Itupun kadang tak ada perahu yang berlayar. Dan ya, 10 jam perjalanan, Bang.”

“Terus kalian terombang-ambing di perahu ukuran kecil itu dengan ombak yang gede begitu?”

“Iya, Bang. Kami hanya bisa pasrah akan keadan dan menyerahkan perjalanan kepada Tuhan!”

“Dan itu kalian tempuh demi pendidikan?”

Ainur agak tersenyum getir. “Pulau kami itu terpencil, Bang. Jauh dari peradaban. Kami percaya pendidikan bisa merubah nasib kami. Apapun itu akan kami tempuh demi bisa merubah nasib, Bang.”

Seketika saya ingin meneteskan air mata. Tapi saya tahan. Saya malu menangis di hadapan Ainur.

Benar kata Friedrich Schiller, bahwa hidup yang tak dipertaruhkan, tak akan pernah dimenangkan. Seperti Ainur, Febri, Huda, dan teman-teman dari Kagean lainnya, mempertaruhkan nyawa demi memenangkan nasib; memenangkan masa depan gemilang yang ditawarkan lembaga pendidikan formal. Walaupun barangkali mereka juga paham bahwa hidup siapa yang tahu. Siapa yang bisa menjamin masa depan seseorang? Tak sedikit orang yang berpendidikan gagal meraih masa depan gemilang. Kluntang-klantung mencari pekerjaan. Menambah daftar angka pengangguran.

Hidup seperti drama dengan premis-premis: penuh tema, gagasan sentral, tujuan. Yang saya takutkan, ibarat lakon Shakespear, Macbeth, dengan premis: “Ambisi yang keterlaluan membawa kepada kehancurannya sendiri”.

Riwayat hidup teman-teman saya dari kepulauan Kangean, saya rumuskan premisnya sebagai berikut: “Cita-cita yang luhur membawa kepada maut, tapi juga harapan”.

II

Cerita Ainur tentang pahit-manisnya tinggal di daerah kepulauan terpencil—yang infrastrukturnya tak memadai—tak cukup di situ. Tahun lalu ia bercerita tentang seorang ibu hamil yang meninggal karena pendarahan.

Kisahnya: ada seorang ibu dari kepulauan Kangean yang hendak melahirkan, tapi karena mengalami pendarahan hebat, pihak puskesmas tak sanggup menangani. Akhirnya harus dirujuk ke RS Parama Sidhi di Singaraja. Sedangkan perjalanan dari kepulauan Kangean ke Singaraja tak sebentar. 10 jam naik perahu nelayan.

“Nyawa ibu dan anaknya tak selamat setelah sampai di Singaraja, Bang. Ibu itu mengalami pendarahan yang hebat. Dalam keadaan darurat, mereka masih harus melawan maut dengan terombang-ambing di lautan selama 10 jam.”

Cerita ini membuat saya tak bisa menahan air mata. Di Jakarta sana orang-orang saling debat adu argumen; berkelahi atas nama keadilan rakyat, katanya. Tetapi seperti kata Anis Sholeh Ba’asyin, di Panji Masyarakat: Rasanya rakyat negeri ini sudah sah menyandang status yatim piatu. Tak lagi punya sosok yang begitu kasih melindungi dan mengembangkan. Yang tersisa, tinggal orang-orang asing. Sebagian kecil mungkin masih mendesiskan rasa kasihan meski tak bisa berbuat apa-apa.

Namun yang lain sepertinya tidak lagi punya kepedulian tentang apapun yang mereka alami, apalagi yang mereka rasakan. Jadi, agak berlebihan bila mengharap akan ada mata yang tertusuk derita mereka, telinga yang tergetar keluh kesah mereka, hati yang terguncang sumpah serapah dan doa-doa mereka.

Meski banyak yang lantas mencoba bermain peran selayaknya ‘ayah-ibu’ yang bertindak demi dan atas nama ‘anak-anaknya’; namun, dengan satu dan lain cara, ini semua diam-diam malah makin meyakinkan rakyat bahwa sebenarnya tak pernah ada yang serius memikirkan mereka.

Yang mereka tonton justru para pemimpin, dari nasional sampai lokal, yang sibuk dengan kepentingannya sendiri. Lembaga-lembaga negara dan pemerintahan yang sibuk mengorupsi dirinya sendiri. Tak salah bila pada akhirnya mereka merasa sekadar menjadi slilit yang ketlingsut dikegaduhan retorika dan tumpukan hitung-hitungan.

III

Saya punya teman mahasiswa Sosiologi yang berasal dari kepulauan Kangean. Sebelum dia wisuda bapaknya sakit dan harus dirawat di rumah sakit di Singaraja. Malam keluarganya membawa bapaknya ke RSUD Buleleng. Kami teman-temannya seketika itu langsung mengunjunginya; menemaninya; menghiburnya di rumah sakit.

Saya tak ikut menginap di rumah sakit. Saya tidur di kontrakan Taufik yang tak jauh dari rumah sakit. Pagi-pagi saya bangun dan harus menunduk saat membaca kabar duka. Bapak teman saya itu meninggal dunia karena telat mendapatkan penanganan.

Pagi-pagi sekali saya dan Taufik ke RSUD. Di sana teman-teman IMARA (Ikatan Mahasiswa Madura) sudah berkumpul. Kami bergabung. Kami semua ikut merasakan apa yang dirasakan teman kami itu.

Saya harus kembali meneteskan air mata saat mengetahui jenazah bapaknya harus diangkut dengan perahu nelayan selama 10 jam dari Singaraja ke kepulauan Kangean. Tuhan, dunia macam apa ini? Negara macam apa ini yang membiarkan kondisi rakyatnya begini? Apa susahnya negara membangun rumah sakit dan menyediakan transfortasi yang layak bagi orang-orang Kangean? Begitu tak terlihatnyakah atau memang sengaja tak dilihat?

Barangkali Pancasila hanyalah mitos. Cita-cita tinggi yang tak dapat diwujudkan. Keadilan bagi seluruh rakyat hanyalah semboyan kosong lima tahun sekali. Dongeng yang diajarkan kepada anak-anak sejak dini.

Atau barangkali kondisi seperti ini sengaja dibiarkan agar setiap lima tahun sekali mereka yang haus kekuasaan punya bahan untuk kampanye? Atau hal ini malah dianggap tontonan komedi kehidupan? Mungkin Charlie Chaplin benar. Ia mengatakan hidup itu tragedi dari jarak dekat, menjadi komedi dari jarak jauh. Aktor pentomim ini paham benar jarak acap mendistorsi realitas. Kita bisa keliru memahami tragedi menjadi komedi karena tafsir akibat ruang yang memisahkan. Jarak menentukan bagaimana cara kita melihat kenyataan.

IV

Apa yang dialami teman-teman saya dari kepulauan Kangean ini adalah bentuk ketidakadilan yang nyata. Jika memang kemerdekaan Indonesia 1945 adalah “kado” maka janganlah ia menjadi kado yang hanya dibagi-bagikan kepada “anak-anak kota” belaka. Seharusnya kado (hadiah) itu harus dibagikan kepada seluruh rakyat Indonesia; kepada kaum tertindas (kelas bawah), sebagai kado “pembebasan” yang pernah diucapkan Muhammad ketika membebaskan Mekkah dulu: ‘Antumuth Thulaq’, kalian bebas. Jadi yang penting bukan kadonya, tapi jenis kado itu sendiri, serta buat siapa.

Saya yakin tak hanya teman-teman saya dari Kangean saja yang mengalami kondisi seperti ini. Banyak daerah-daerah yang masih memiliki keterbatasan infrastruktur: pendidikan, kesehatan, layanan masyarakat lainnya.

Jargon “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” tampaknya hanya “utopia”, hanya diidamkan. Goenawan Mohamad dalam Catatan Pinggir, Mata: dalam Seeing like a State, Scott menunjukkan contoh sejarah bagaimana kesalahan justru sering terjadi, dalam skala besar, ketika—dengan ketakaburan yang tak disengaja—Negara melihat dari atas dan merancang hidup di bumi yang tak bisa sepenuhnya dikuasai.

“Mata yang di langit” itu tak buta, memang. Tapi ia tak selalu bisa meramal yang di atas tanah. Mau sampai kapan orang-orang Kangean hidup dalam bayang-bayang kematian? Tak ada yang bisa menjawab.

Sekali lagi, riwayat hidup teman-teman saya dari kepulauan Kangean, saya rumuskan premisnya sebagai berikut: “Cita-cita yang luhur membawa kepada maut, tapi juga harapan”.

Sekarang tinggal membuktikan premis itu. Tabir tersibak. Lakon dimulai. [T]

BACA JUGA:

  • Demi Ilmu, 12 Jam Bersama Laut, Dari Pulau Kecil di Madura ke Undiksha di Bali
  • Kabar Sedih Pulau Kecil: Ibu Hamil Mau Lahiran, Berperahu 10 Jam ke Bali, Akhirnya…
  • Sapeken, Perjalanan adalah Guru; Mengasupi Segala Pengetahuan Dari Sebuah Perkenalan

Previous Post

“The Spirit Of Sobean”, Sebuah Perubahan Paradigma Citra Pariwisata Buleleng di Tengah Pandemi

Next Post

Otewe Gym Otewe Body Goal

Jaswanto

Jaswanto

Editor/Wartawan tatkala.co

Next Post
Otewe Gym Otewe Body Goal

Otewe Gym Otewe Body Goal

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Covid-19 dalam Alam Pikir Religi Nusantara – Catatan Harian Sugi Lanus

    Sang Hyang Eta-Eto: Memahami Kalender Hindu Bali & Baik-Buruk Hari dengan Rumusan ‘Lanus’

    23 shares
    Share 23 Tweet 0
  • Sederhana, Haru dan Bahagia di SMPN 2 Sawan: Pelepasan Siswa, Guru Purnabakti dan Pindah Tugas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ini Sumbangan Ketut Bimbo pada Bahasa Bali | Ada 19 Paribasa Bali dalam Album “Mebalih Wayang”

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kabut Membawa Kenikmatan | Cerpen Ni Made Royani

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Tidak Ada Definisi untuk Anak Pertama Saya

by Dewa Rhadea
June 4, 2025
0
Tawuran SD dan Gagalnya Pendidikan Holistik: Cermin Retak Indonesia Emas 2045

KADANG saya mencoba menjelaskan kepada orang-orang seperti apa anak pertama saya. Tapi jujur saja, saya tidak tahu bagaimana harus mendefinisikannya....

Read more

The Voices After Cak!: Keriuhan di Balik-balik Tubuh yang Diguncang

by Wulan Dewi Saraswati
June 4, 2025
0
The Voices After Cak!: Keriuhan di Balik-balik Tubuh yang Diguncang

MALAM di taman kuliner Ubud Food Festival sangat menggiurkan. Beberapa orang sudah siap duduk di deretan kursi depan, dan beberapa...

Read more

Susu dan Tinggi Badan Anak

by Gede Eka Subiarta
June 3, 2025
0
Puasa Sehat Ramadan: Menu Apa yang Sebaiknya Dipilih Saat Sahur dan Berbuka?

KALSIUM merupakan mineral utama yang diperlukan untuk pertumbuhan tulang kita, tepatnya untuk pertumbuhan tinggi badan. Kandungan kalsium tertinggi ada pada...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Gede Anta Wakili Indonesia dalam “International Visitor Leadership Program” di AS

Gede Anta Wakili Indonesia dalam “International Visitor Leadership Program” di AS

June 5, 2025
Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

May 29, 2025
 Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

May 27, 2025
911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

May 21, 2025
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Abraham dan Cerita Sebotol Lion Brewery di Ubud Food Festival 2025
Panggung

Abraham dan Cerita Sebotol Lion Brewery di Ubud Food Festival 2025

IA bukan Abraham Lincoln, tapi Abraham dari Lionbrew. Bedanya, yang ini tak memberi pidato, tapi sloki bir. Dan panggungnya bukan...

by Dede Putra Wiguna
June 6, 2025
Buku “Identitas Lintas Budaya: Jejak Jepang dalam Teks Sastrawan Bali” Memperkaya Perspektif Kajian Sastra di Bali
Khas

Buku “Identitas Lintas Budaya: Jejak Jepang dalam Teks Sastrawan Bali” Memperkaya Perspektif Kajian Sastra di Bali

BUKU Identitas Lintas Budaya: Jejak Jepang dalam Teks Sastrawan Bali karya Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra, M.Litt., memperkaya perspektif kajian sastra,...

by tatkala
June 5, 2025
Sederhana, Haru dan Bahagia di SMPN 2 Sawan: Pelepasan Siswa, Guru Purnabakti dan Pindah Tugas
Khas

Sederhana, Haru dan Bahagia di SMPN 2 Sawan: Pelepasan Siswa, Guru Purnabakti dan Pindah Tugas

“Kami tahu, tak ada kata maaf yang bisa menghapus kesalahan kami, tak ada air mata yang bisa membasuh keburukan kami,...

by Komang Sujana
June 5, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [18]: Bau Gosong di “Pantry” Fakultas

June 5, 2025
Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

May 31, 2025
Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

May 31, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [17]: Wanita Tua dari Jalur Kereta

May 29, 2025
Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

May 25, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co