Ini kisah suka-cinta dan suka-cita. Dua tahun lalu aku menjatuhkan pilihanku pada seorang lelaki baik. Dia berasal dari sebuah desa di tengah Pulau Bali, lebih tepatnya di sebuah desa di Kabupaten Tabanan. Aku sendiri, secara lahiriah, berasal dari keluarga urban yang tinggal di wilayah perkotaan.
Desa dengan letak yang tak terlalu tinggi, tapi udara dingin sudah bisa dirasa tiap kali aku datang ke sana waktu masih pacaran dulu. Sejak pacaran pun aku sudah mengalami semacam gegar budaya alias culture shock. Apalagi, aku (tentu bukan atas kemauan sendiri), lahir dari keluarga berkasta — sebuah istilah yang kerap membuat aku risih.
Tapi, gegar budaya itu, awalnya membauat saya cemas juga. Tapi setelah menikah, apa-apa yang saya cemaskan ternyata membuat suka-cita alias menyenangkan, meski kadang-kadang menciptakan perasaan aneh juga.
Menikah “Nyerod”
Tanah di desa tempat ia tinggal selalu lembab. Sehingga cocok dijadikan lahan pertanian. Maka tak heran sebagian orang di desa ini memanfaatkan lahan warisan mereka untuk bercocok tanam. Kalaupun ada keluarga yang anggotanya memilih jadi pegawai dan bekerja ke kota, setidaknya tanah warisan milik mereka ditanami pohon singkong dengan alasan agar tidak ruwet. Tak perlu ditengok setiap hari. Tak perlu disemprot penghilang hama. Setelah ditaman, pohon singkong boleh ditinggal dan pasti akan tumbuh begitu saja dengan mandirinya.
“Biar tidak bet aja, Luh. Kalau bet, takutnya lahan warisan ini jadi sarang ular.” Begitu kata salah satu warga yang seluruh anggota keluarganya jadi pegawai negeri. Bet bisa diartikan sebagai semak-belukar.
Dulu waktu baru-baru menikah, orang-orang desa selalu menyapaku dengan sebutan halus, “Gek”, “Yugek.” Berbicara padaku juga dengan bahasa bali halus. Aku merasa kurang pantas dihalus-haluskan macam begitu. Padahal mereka lebih tua dariku. Dalam benak aku bertanya seperti ini, “Bukannya mereka lebih tua? Harusnya aku yang berbicara penuh santun pada mereka.”
Tapi memang begitu peraturan berbicara di desa ini. Aku memang lahir dari garis keturunan Gusti. Tapi aku menikah dengan lelaki tak satu kasta denganku. Jadi aku pergi menikah. Istilah Bali-nya “nyerod”, sebuah istilah yang membuatku selalu rishi dan geli jika mendengarnya.
Nah, padahal aku menikah nyerod. Artinya, setelah menikah, kini aku sudah setara dengan mereka bukan? Tapi mengapa aku masih dihalus-haluskan macam begitu, seperti saat sebelum menikah.
Suatu ketika kuberanikan diri melarang orang-orang memanggilku dengan sebutan halus. “Yeeeeeeeeh, ternyata Gek. Kukira siapa. Malah kupanggil-panggih Luh.” Kata salah satu warga desa.
Aku paham maksudnya, meminta maaf meskipun tak ada terucap kata maaf dari bibir salah satu warga desa itu.
“Panggil Luh juga tak apa, Buk. Saya kan memang seorang perempuan.”
Orang-orang sini biasa menyebut anak perempuan tak berkasta dengan sebutan “luh”. Kata “Luh” memiliki arti seorang anak perempuan. Dari larangan itu, aku berharap tak lagi ada warga desa yang takut memanggil aku “Luh”. Tapi jika kupikir-pikir, apa yang salah dengan sebutan “Luh” jika “Luh” bermakna perempuan? Jelas-jelas aku ini perempuan.
Pernah suatu pagi saat aku belanja bubur kuah ala-ala desa untuk sarapan. Salah seorang warga desa yang juga belanja bubur kuah bermaksud baik menyapaku. “Meli bubuh mase, Luh?” Artinya, “Membeli bubur juga, Luh?”
Lalu empat warga desa lainnya tak segan menegur warga desa yang punya niat baik menyapaku waktu itu. “Weeee, siapa yang kamu sebut Luh itu? Ngawur kamu. Mantu Mangku Dalem itu.”
Aku kadang tak enak hati. Karena aku, orang lain jadi kena marah. Dan jadi dianggap tak santun. Padahal aku sendiri tak merasa jadi rendah ketika orang lain memanggilku dengan sebutan Luh. Tapi begitulah, aturan tentang penyebutan nama memang dianggap serius di desa tempatku menikah ini.
Menyebut Nama-nama
Berkaca dari sana, aku jadi ikut berhati-hati menyapa orang yang datang ke rumah. Kadang aku sampai tak berani menyapa lebih dulu. Kutunggu sampai suami atau mertuaku menyapa terlebih dahulu orang yang datang ke rumah kami itu. Agar tak salah aku menyebut namanya. Panggilan nasional, semacam ibu dan bapak tak bisa kugunakan untuk menyetarakan semua orang di desa ini. Nama mereka harus kupanggil sesuai derajat. Seperti Tubiang, Tuaji, Tuniang, Tukakiang, Jero, Mekel. Jika sudah kuketahui sebutan orang yang datang ke rumah, barulah aku bisa memutuskan bahasa apa yang boleh kupergunakan untuk mengobrol dengan mereka.
Menantu baru sepertiku memang harus banyak belajar. Perkataan yang keluar dari mulutku benar-benar kujaga. Tak ada yang mengharuskanku untuk berprilaku sebaik-baiknya. Tapi status sosial keluarga tempatku menikah menyadarkanku dengan sendiriku bahwa nama keluarga yang sudah baik sejak zaman dulu ini tak boleh jadi rusak karena kedatangan perempuan dari luar macam aku.
Keluarga tempat kumenikah memang bukan kalangan orang kaya. Atau pejabat. Tapi dalam lingkup desa, berada pada garis keturunan pemangku Pura Dalem saja sudah bisa jadi tekenal. Sehingga menjaga prilaku dan perkataan menjadi PR buat kami yang merupakan keturunannya atau keluarganya.
Suatu hari kudapati orang-orang berkerumun di warung makan milik mertuaku. Mereka saling berbagi isu terbaru. “Kasian Pan Kobar. Mantu Pan Kobar bilang bahwa dia merasa tidak diberlakukan secara adil. Padahal, segitu baiknya Pan Kobar kepada menantunya, tetapi masih saja salah.”
Atau tentang hal lain, “Mantu Men Madya sing bise metakon.” Sing bise metakon dalam artian tak mau menyapa atau tak bisa sekadar basa-basi menawarkan makanan saat ada orang datang ke rumah.
Dan pernah suatu ketika aku sakit panas dalam. Mertuaku mencarikanku daun kepiduh atau daun piduh-piduh. Kalau dibahasaindonesiakan, aku tak tahu apa namanya. Lalu besok paginya ketika aku beli sayuran di warung utara rumah, orang-orang yang berbelanja di sana serentak menanyakan kondisiku. “Yeh, sudah sembuh Luh?”
Aku kaget dari mana mereka bisa tahu aku kemarin sakit. Memang, di desa ini, warung jadi semacam tempat untuk menyebarluaskan isu. Baik isu positif ataupun negatif. Semua hal akan dikuliti. Tak ada yang berkulit di tempat ini. Keterbukaaan jadi semacam karakteristik dari desa ini. Tak ada rahasia di sini. Dari sana aku belajar, sebagai menantu aku harus baik-baik berlaku.
Jadi bagiku, ke warung bukan sekadar tempat untuk belanja saja. Tapi warung juga kujadikan tempat untuk memperkenalkan diri. Sering belanja ke warung membuatku jadi cepat kenal dengan banyak orang. Orang lain juga jadi hapal aku ini siapa dan kami jadi biasa. Aku tak ingin jadi orang asing sendiri, di desa tempatku menikah ini.
Anak-anak Desa yang Bebas Merdeka
Rumah tempatku menikah selayaknya rumah-rumah desa di Bali pada umumnya. Rumah tempatku menikah ini memiliki gerbang tapi gerbangnya tak pernah ditutup apalagi dikunci. Jadi aku tak tahu apa fungsi gerbang ini. Mungkin untuk pajangan saja. Orang desa sepertinya tak takut pada maling. Sehingga siapa saja, terutama anak-anak tetangga berumur lima hingga delapan tahun datang pulang untuk bermain. Ayah ibu mereka sibuk bekerja memetik bunga pacar dan gemitir.
Anak-anak ini dibiarkan bebas layaknya ayam kampung. Bermain sendirian. Bapak ibu mereka tak takut anaknya tak makan. Sebab nanti pasti akan ada saja tetangga yang suka rela menyuguhkan makanan. Tentu dengan sungguh-sungguh dan bukan sekadar basa basi. Di desa ini anak-anak bermain dengan sangat mandiri.
Sore hari, selepas bekerja, orang tua mereka akan mengunjungi satu per satu rumah warga desa. Dengan tujuan menjemput anaknya pulang karena hari sudah hampir petang, lalu menanyakan apakah anak mereka ada di sana atau tidak. “Putu ada di/ke sini tidak?” Jika tak ada, orang tua mereka tak cemas dan mencari lagi anaknya di rumah warga desa yang lain. Sampai akhirnya ketemu. Dan tahu-tahu mereka mendapati anak mereka sudah mandi dan pulang dengan perut kenyang. “Yuk pulang mandi makan dulu.” Kata salah seorang bapak kepada anaknya. “Sudah mintak nasi di sini Pak. Sama mandi sudah. Dikasik minjem baju di sini,” sahut salah seorang anak kepada bapaknya.
Wajar mereka percaya. Sebab tetangga di desa tidaklah murni tetangga. Meskipun dikatakan tetangga, tapi masih ada hubungan darah meskipun sedikit-sedikit. Tetangga tapi berasa keluarga. Itu lebih baik ketimbang punya kelurga tapi berasa tetangga. Saya jadi membayang masa depan anak saya pasti akan seperti ini juga. Saya yang tak terbiasa pasti akan ditenangkan oleh suami saya.
Menu yang Mengejutkan
Di rumah ini aku tak hanya tinggal bertiga bersama suami dan mertuaku. Ada Nenek suamiku. Aku menyebutnya dadong. Dadong adalah perempuan tua yang meskipun tubuhnya kini renta dan bungkuk, tapi masih kuat memasak. Tiap subuh, dadong akan bangun lalu menuju dapur yang letaknya di teba. Menumbuk berkilo-kilo rempah untuk dijadikan bumbu masakan. Dadong adalah penjual ayam betutu tersohor di desa. Bukan hanya di desa tempatku menikah. Namanya juga dikenal hingga di desa-desa sebelah. Jika hari besar umat Hindu tiba, ratusan potong ayam betutu dipesan pembeli. Agar tak terlalu lelah, Dadong mengajak bibi-bibi yang masih satu keluarga dengan kami untuk bekerja pada dadong.
Dadong tak mencari orang lain untuk dijadikan pegawai. Dia lebih memilih mempekerjakan para perempuan yang masih memiliki tali persaudaraan dengan kami agar tak ada perempuan menganggur di keluarga ini. Dari ide dadong itu, mereka jadi bisa menabung atau sekadar membeli beras dengan jerih payah mereka sendiri. Ada yang bertugas memotong ayam, ada yang bertugas menumbuk bumbu rempah, ada yang khusus menggoreng, ada yang khusus berjualan. Dari teba, perempuan-perempuan yang bekerja bersama dadong ini kepalanya akan memikul berbaku-bakul nasi dan lauk pauk yang baru saja matang dan tentu masih panas untuk di bawa ke warung yang ada di rumah kami.
Jika musim pemilu tiba, ribuan nasi kotak dipesan oleh petugas-petugas TPS yang ada di desa ini dan desa-desa sebalah. Alhasil, perempuan-perempuan di keluarga besar ini sibuk menuntaskan order beribu-ribu nasi kotak itu. Kami tak berani menyebut ini perusahaan ketering sebab cara yang dipakai dadong untuk memasak serta cara berpikir dadong dalam menyajikan makanan masih sangat-sangat tradisional. Tak begitu memikirkan banyak untung. Dadong hanya ingin pembeli senang dan puas saat makan nasi yang dipesan di warungnya. Bahkan tak jarang dadong mengatakan bahwa ia malu kalau-kalau dia terlalu sedikit memberi lauk kepada pemesan-pemesan nasi itu. Jika ada yang order nasi seharga sepuluh ribu, dadong tak mau menerima. Lebih baik ia tak berjualan, katanya. Daripada ia memberikan atau menjual lauk pauk sedikit. Ia malu jika tak bisa memberi lebih. Tapi kalau diberi lebih, dadong yang rugi. Jadi mending dadong tidak usah berjualan sama sekali.
Sepulang aku bekerja dari kota, dadong sangat paham bahwa aku sedang lelah. Dadong pun menghadiahiku dengan pepes katak. “Pesan (pepes) katak di paon.” Dia menunjukkan pepes katak buatannya yang ia simpan dalam rak makanan di dapur. Aku terkejut dengan olahan katak itu. Tapi aku menahan rasa terkejutku agar tak terlalu kentara. Aku tak ingin hati dadong kecewa.
Meski terkejut, dengan antusias aku pun memakannya. Kujumput pesan katak lalu kucampukan di tiap-tiap suapan nasiku. Sambil aku makan, ia akan menceritakan riwayat bagaimana katak itu bisa sampai di tangannya dan dimasak. Sambil mengunyah makanan, aku akan mendengarkan dan manggut-manggut. Kata dadong, ia tak sengaja bertemu dengan Pan Pendra di jalan. Kemudian, Pan Pendra membagi katak yang baru saja ia tangkap di beji beten kangin rumah kami.
Lokasi dan Arah Mata Angin
Awal-awal menikah di desa ini, aku tak tahu di mana itu beten kangin. Rupanya, arah mata angin bukan hanya kaja (utara), kelod (selatan), kangin (timur), dan kauh (barat). Di sini arah mata angin jadi banyak. Bergantung letak kita berada. Ada beten kangin (lokasi lebih rendah di bagian timur), duur kauh (lokasi lebih tinggi di bagian barat), menek kaja (lokasi lebih tingi di utara), beten kelod (lokasi lebih rendah di selatan).
Banyak istilah yang baru kupahami. Aku memang menikah ke desa. Tapi menikah ke desa tak membuatku hidup dengan kemunduran dan terbelakang. Justru aku merasa otakku berkali-kali terisi hal-hal anyar bagiku. Aku sangat khusyuk menikmati riuhnya cara hidup orang desa, tempat aku menikah ini. Berulang kali, jika aku tahu hal baru, aku merasa terlahir kembali. Menikah membuatku lahir berkali-kali. [T]