15 June 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

“Nyerod” ke Desa dan “Culture Shock” yang Menyenangkan || Catatan 2 Tahun Pernikahan

Candra Puspita DewibyCandra Puspita Dewi
December 21, 2020
inEsai
“Nyerod” ke Desa dan “Culture Shock” yang Menyenangkan || Catatan 2 Tahun Pernikahan

Catatan Dua Tahun Pernikahan - Candra Puspita Dewi

Ini kisah suka-cinta dan suka-cita. Dua tahun lalu aku menjatuhkan pilihanku pada seorang lelaki baik. Dia berasal dari sebuah desa di tengah Pulau Bali, lebih tepatnya di sebuah desa di Kabupaten Tabanan. Aku sendiri, secara lahiriah, berasal dari keluarga urban yang tinggal di wilayah perkotaan.

Desa dengan letak yang tak terlalu tinggi, tapi udara dingin sudah bisa dirasa tiap kali aku datang ke sana waktu masih pacaran dulu. Sejak pacaran pun aku sudah mengalami semacam gegar budaya alias culture shock. Apalagi, aku (tentu bukan atas kemauan sendiri), lahir dari keluarga berkasta — sebuah istilah yang kerap membuat aku risih.

Tapi, gegar budaya itu, awalnya membauat saya cemas juga. Tapi setelah menikah, apa-apa yang saya cemaskan ternyata membuat suka-cita alias menyenangkan, meski kadang-kadang menciptakan perasaan aneh juga.

Menikah “Nyerod”

Tanah di desa tempat ia tinggal selalu lembab. Sehingga cocok dijadikan lahan pertanian. Maka tak heran sebagian orang di desa ini memanfaatkan lahan warisan mereka untuk bercocok tanam. Kalaupun ada keluarga yang anggotanya memilih jadi pegawai dan bekerja ke kota, setidaknya tanah warisan milik mereka ditanami pohon singkong dengan alasan agar tidak ruwet. Tak perlu ditengok setiap hari. Tak perlu disemprot penghilang hama. Setelah ditaman, pohon singkong boleh ditinggal dan  pasti akan tumbuh begitu saja dengan mandirinya.

“Biar tidak bet aja, Luh. Kalau bet, takutnya lahan warisan ini jadi sarang ular.” Begitu kata salah satu warga yang seluruh anggota keluarganya jadi pegawai negeri. Bet bisa diartikan sebagai semak-belukar.

Dulu waktu baru-baru menikah, orang-orang desa selalu menyapaku dengan sebutan halus, “Gek”, “Yugek.” Berbicara padaku juga dengan bahasa bali halus. Aku merasa kurang pantas dihalus-haluskan macam begitu. Padahal mereka lebih tua dariku. Dalam benak aku bertanya seperti ini, “Bukannya mereka lebih tua? Harusnya aku yang berbicara penuh santun pada mereka.”

Tapi memang begitu peraturan berbicara di desa ini. Aku memang lahir dari garis keturunan Gusti. Tapi aku menikah dengan lelaki tak satu kasta denganku. Jadi aku pergi menikah. Istilah Bali-nya “nyerod”, sebuah istilah yang membuatku selalu rishi dan geli jika mendengarnya.

Nah, padahal aku menikah nyerod. Artinya, setelah menikah, kini aku sudah setara dengan mereka bukan? Tapi mengapa aku masih dihalus-haluskan macam begitu, seperti saat sebelum menikah.

Suatu ketika kuberanikan diri melarang orang-orang memanggilku dengan sebutan halus. “Yeeeeeeeeh, ternyata Gek. Kukira siapa. Malah kupanggil-panggih Luh.” Kata salah satu warga desa.

Aku paham maksudnya, meminta maaf meskipun tak ada terucap kata maaf dari bibir salah satu warga desa itu.

“Panggil Luh juga tak apa, Buk. Saya kan memang seorang perempuan.”

Orang-orang sini biasa menyebut anak perempuan tak berkasta dengan sebutan “luh”. Kata “Luh” memiliki arti seorang anak perempuan. Dari larangan itu, aku berharap tak lagi ada warga desa yang takut memanggil aku “Luh”. Tapi jika kupikir-pikir, apa yang salah dengan sebutan “Luh” jika “Luh” bermakna perempuan? Jelas-jelas aku ini perempuan.

Pernah suatu pagi saat aku belanja bubur kuah ala-ala desa untuk sarapan. Salah seorang warga desa yang juga belanja bubur kuah bermaksud baik menyapaku. “Meli bubuh mase, Luh?” Artinya, “Membeli bubur juga, Luh?”

Lalu empat warga desa lainnya tak segan menegur warga desa yang punya niat baik menyapaku waktu itu. “Weeee, siapa yang kamu sebut Luh itu? Ngawur kamu. Mantu Mangku Dalem itu.”

Aku kadang tak enak hati. Karena aku, orang lain jadi kena marah. Dan jadi dianggap tak santun. Padahal aku sendiri tak merasa jadi rendah ketika orang lain memanggilku dengan sebutan Luh. Tapi begitulah, aturan tentang penyebutan nama memang dianggap serius di desa tempatku menikah ini.

Menyebut Nama-nama

Berkaca dari sana, aku jadi ikut berhati-hati menyapa orang yang datang ke rumah. Kadang aku sampai tak berani menyapa lebih dulu. Kutunggu sampai suami atau mertuaku menyapa terlebih dahulu orang yang datang ke rumah kami itu. Agar tak salah aku menyebut namanya. Panggilan nasional, semacam ibu dan bapak tak bisa kugunakan untuk menyetarakan semua orang di desa ini. Nama mereka harus kupanggil sesuai derajat. Seperti Tubiang, Tuaji, Tuniang, Tukakiang, Jero, Mekel. Jika sudah kuketahui sebutan orang yang datang ke rumah, barulah aku bisa memutuskan bahasa apa yang boleh kupergunakan untuk mengobrol dengan mereka.

Menantu baru sepertiku memang harus banyak belajar. Perkataan yang keluar dari mulutku benar-benar kujaga. Tak ada yang mengharuskanku untuk berprilaku sebaik-baiknya. Tapi status sosial keluarga tempatku menikah menyadarkanku dengan sendiriku bahwa nama keluarga yang sudah baik sejak zaman dulu ini tak boleh jadi rusak karena kedatangan perempuan dari luar macam aku.

Keluarga tempat kumenikah memang bukan kalangan orang kaya. Atau pejabat. Tapi dalam lingkup desa, berada pada garis keturunan pemangku Pura Dalem saja sudah bisa jadi tekenal. Sehingga menjaga prilaku dan perkataan menjadi PR buat kami yang merupakan keturunannya atau keluarganya.

Suatu hari kudapati orang-orang berkerumun di warung makan milik mertuaku. Mereka saling berbagi isu terbaru. “Kasian Pan Kobar. Mantu Pan Kobar bilang bahwa dia merasa tidak diberlakukan secara adil. Padahal, segitu baiknya Pan Kobar kepada menantunya, tetapi masih saja salah.”

Atau tentang hal lain, “Mantu Men Madya sing bise metakon.” Sing bise metakon dalam artian tak mau menyapa atau tak bisa sekadar basa-basi menawarkan makanan saat ada orang datang ke rumah.

Dan pernah suatu ketika aku sakit panas dalam. Mertuaku mencarikanku daun kepiduh atau daun piduh-piduh. Kalau dibahasaindonesiakan, aku tak tahu apa namanya. Lalu besok paginya ketika aku beli sayuran di warung utara rumah, orang-orang yang berbelanja di sana serentak menanyakan kondisiku. “Yeh, sudah sembuh Luh?”

Aku kaget dari mana mereka bisa tahu aku kemarin sakit. Memang, di desa ini, warung jadi semacam tempat untuk menyebarluaskan isu. Baik isu positif ataupun negatif. Semua hal akan dikuliti. Tak ada yang berkulit di tempat ini. Keterbukaaan jadi semacam karakteristik dari desa ini. Tak ada rahasia di sini. Dari sana aku belajar, sebagai menantu aku harus baik-baik berlaku.

Jadi bagiku, ke warung bukan sekadar tempat untuk belanja saja. Tapi warung juga kujadikan tempat untuk memperkenalkan diri. Sering belanja ke warung membuatku jadi cepat kenal dengan banyak orang. Orang lain juga jadi hapal aku ini siapa dan kami jadi biasa. Aku tak ingin jadi orang asing sendiri, di desa tempatku menikah ini.

Anak-anak Desa yang Bebas Merdeka

Rumah tempatku menikah selayaknya rumah-rumah desa di Bali pada umumnya. Rumah tempatku menikah ini memiliki gerbang tapi gerbangnya tak pernah ditutup apalagi dikunci. Jadi aku tak tahu apa fungsi gerbang ini. Mungkin untuk pajangan saja. Orang desa sepertinya tak takut pada maling. Sehingga siapa saja, terutama  anak-anak tetangga berumur lima hingga delapan tahun datang pulang untuk bermain. Ayah ibu mereka sibuk bekerja memetik bunga pacar dan gemitir.

Anak-anak ini dibiarkan bebas layaknya ayam kampung. Bermain sendirian. Bapak ibu mereka tak takut anaknya tak makan. Sebab nanti pasti akan ada saja tetangga yang suka rela menyuguhkan makanan. Tentu dengan sungguh-sungguh dan bukan sekadar basa basi. Di desa ini anak-anak bermain dengan sangat mandiri.

Sore hari, selepas bekerja, orang tua mereka akan mengunjungi satu per satu rumah warga desa. Dengan tujuan menjemput anaknya pulang karena hari sudah hampir petang, lalu menanyakan apakah anak mereka ada di sana atau tidak. “Putu ada di/ke sini tidak?” Jika tak ada, orang tua mereka tak cemas dan mencari lagi anaknya di rumah warga desa yang lain. Sampai akhirnya ketemu. Dan tahu-tahu mereka mendapati anak mereka sudah mandi dan pulang dengan perut kenyang. “Yuk pulang mandi makan dulu.” Kata salah seorang bapak kepada anaknya. “Sudah mintak nasi di sini Pak. Sama mandi sudah. Dikasik minjem baju di sini,” sahut salah seorang anak kepada bapaknya.

Wajar mereka percaya. Sebab tetangga di desa tidaklah murni tetangga. Meskipun dikatakan tetangga, tapi masih ada hubungan darah meskipun sedikit-sedikit. Tetangga tapi berasa keluarga. Itu lebih baik ketimbang punya kelurga tapi berasa tetangga. Saya jadi membayang masa depan anak saya pasti akan seperti ini juga. Saya yang tak terbiasa pasti akan ditenangkan oleh suami saya.

Menu yang Mengejutkan

Di rumah ini aku tak hanya tinggal bertiga bersama suami dan mertuaku. Ada Nenek suamiku. Aku menyebutnya dadong. Dadong adalah perempuan tua yang meskipun tubuhnya kini renta dan bungkuk, tapi masih kuat memasak. Tiap subuh, dadong akan bangun lalu menuju dapur yang letaknya di teba. Menumbuk berkilo-kilo rempah untuk dijadikan bumbu masakan. Dadong adalah penjual ayam betutu tersohor di desa. Bukan hanya di desa tempatku menikah. Namanya juga dikenal hingga di desa-desa sebelah. Jika hari besar umat Hindu tiba, ratusan potong ayam betutu dipesan pembeli. Agar tak terlalu lelah, Dadong mengajak bibi-bibi yang masih satu keluarga dengan kami untuk bekerja pada dadong.

Dadong tak mencari orang lain untuk dijadikan pegawai. Dia lebih memilih mempekerjakan para perempuan yang masih memiliki tali persaudaraan dengan kami agar tak ada perempuan menganggur di keluarga ini. Dari ide dadong itu, mereka jadi bisa menabung atau sekadar membeli beras dengan jerih payah mereka sendiri. Ada yang bertugas memotong ayam, ada yang bertugas menumbuk bumbu rempah, ada yang khusus menggoreng, ada yang khusus berjualan. Dari teba, perempuan-perempuan yang bekerja bersama dadong ini kepalanya akan memikul berbaku-bakul nasi dan lauk pauk yang baru saja matang dan tentu masih panas untuk di bawa ke warung yang ada di rumah kami.

Jika musim pemilu tiba, ribuan nasi kotak dipesan oleh petugas-petugas TPS yang ada di desa ini dan desa-desa sebalah. Alhasil, perempuan-perempuan di keluarga besar ini sibuk menuntaskan order beribu-ribu nasi kotak itu. Kami tak berani menyebut ini perusahaan ketering sebab cara yang dipakai dadong untuk memasak serta cara berpikir dadong dalam menyajikan makanan masih sangat-sangat tradisional. Tak begitu memikirkan banyak untung. Dadong hanya ingin pembeli senang dan puas saat makan nasi yang dipesan di warungnya. Bahkan tak jarang dadong mengatakan bahwa ia malu kalau-kalau dia terlalu sedikit memberi lauk kepada pemesan-pemesan nasi itu. Jika ada yang order nasi seharga sepuluh ribu, dadong tak mau menerima. Lebih baik ia tak berjualan, katanya. Daripada ia memberikan atau menjual lauk pauk sedikit. Ia malu jika tak bisa memberi lebih. Tapi kalau diberi lebih, dadong yang rugi. Jadi mending dadong tidak usah berjualan sama sekali.

Sepulang aku bekerja dari kota, dadong sangat paham bahwa aku sedang lelah. Dadong pun menghadiahiku dengan pepes katak. “Pesan (pepes) katak di paon.” Dia menunjukkan pepes katak buatannya yang ia simpan dalam rak makanan di dapur. Aku terkejut dengan olahan katak itu. Tapi aku menahan rasa terkejutku agar tak terlalu kentara. Aku tak ingin hati dadong kecewa.

Meski terkejut, dengan antusias aku pun memakannya. Kujumput pesan katak lalu kucampukan di tiap-tiap suapan nasiku. Sambil aku makan, ia akan menceritakan riwayat bagaimana katak itu bisa sampai di tangannya dan dimasak. Sambil mengunyah makanan, aku akan mendengarkan dan manggut-manggut. Kata dadong, ia tak sengaja bertemu dengan Pan Pendra di jalan. Kemudian, Pan Pendra membagi katak yang baru saja ia tangkap di beji beten kangin rumah kami.

Lokasi dan Arah Mata Angin

Awal-awal menikah di desa ini, aku tak tahu di mana itu beten kangin. Rupanya, arah mata angin bukan hanya kaja (utara), kelod (selatan), kangin (timur), dan kauh (barat). Di sini arah mata angin jadi banyak. Bergantung letak kita berada. Ada beten kangin (lokasi lebih rendah di bagian timur), duur kauh (lokasi lebih tinggi di bagian barat), menek kaja (lokasi lebih tingi di utara), beten kelod (lokasi lebih rendah di selatan).

Banyak istilah yang baru kupahami. Aku memang menikah ke desa. Tapi menikah ke desa tak membuatku hidup dengan kemunduran dan terbelakang. Justru aku merasa otakku berkali-kali terisi hal-hal anyar bagiku. Aku sangat khusyuk menikmati riuhnya cara hidup orang desa, tempat aku menikah ini. Berulang kali, jika aku tahu hal baru, aku merasa terlahir kembali. Menikah membuatku lahir berkali-kali. [T]

Previous Post

Kunang-kunang Hitam: Sebuah Narasi Tentang Perempuan dan Alam

Next Post

Lontar Keris

Candra Puspita Dewi

Candra Puspita Dewi

Lulusan Undiksha Singaraja, kini jadi guru di Denpasar. Di sela mengajar, ia juga main teater di Komunitas Mahima dan Teater Kalangan

Next Post
Covid-19 dalam Alam Pikir Religi Nusantara – Catatan Harian Sugi Lanus

Lontar Keris

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Kabut Membawa Kenikmatan | Cerpen Ni Made Royani

    Kabut Membawa Kenikmatan | Cerpen Ni Made Royani

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sang Hyang Eta-Eto: Memahami Kalender Hindu Bali & Baik-Buruk Hari dengan Rumusan ‘Lanus’

    23 shares
    Share 23 Tweet 0
  • Sederhana, Haru dan Bahagia di SMPN 2 Sawan: Pelepasan Siswa, Guru Purnabakti dan Pindah Tugas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Lonte!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

LELUHUR JAGUNG

by Sugi Lanus
June 13, 2025
0
PANTANGAN MENGKONSUMSI ALKOHOL DALAM HINDU

—Catatan Harian Sugi Lanus, 13 Juni 2025 *** Ini adalah sebuah jejak “peradaban jagung”. Tampak seorang ibu berasal dari pulau...

Read more

Apa yang Sedang Disulam Gus Ade? — Sebuah Refleksi Liar Atas Karya Gusti Kade

by Vincent Chandra
June 12, 2025
0
Apa yang Sedang Disulam Gus Ade? — Sebuah Refleksi Liar Atas Karya Gusti Kade

Artikel ini adalah bagian dari tulisan pengantar pameran tunggal perupa Gusti Kade di Dinatah Art House, Singapadu, opening pada tanggal...

Read more

Tanah HGB, Kerjasama dan Jaminan Kredit

by I Made Pria Dharsana
June 10, 2025
0
Perjanjian Pengalihan dan Komersialisasi Paten dalam Teori dan Praktek

Tanah HGB, Kerjasama dan Jaminan Kredit : Pasca Putusan MK Nomot 67/PUU-XI/2013 Penulis: Dr. I Made Pria Dharsana, SH., MHumIndrasari...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Gede Anta Wakili Indonesia dalam “International Visitor Leadership Program” di AS

Gede Anta Wakili Indonesia dalam “International Visitor Leadership Program” di AS

June 5, 2025
Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

May 29, 2025
 Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

May 27, 2025
911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

May 21, 2025
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Rizki Pratama dan “Perubahan Diri” pada Acara “Suar Suara: Road Tour AKALPATI” di Singaraja
Panggung

Rizki Pratama dan “Perubahan Diri” pada Acara “Suar Suara: Road Tour AKALPATI” di Singaraja

DI acara “Suar Suara: Road Tour AKALPATI” itu, Rizki Pratama tampaknya energik ketika tampil sebagai opening di Café Halaman Belakang...

by Sonhaji Abdullah
June 10, 2025
New Balance Sneakers Store di Indonesia Terpercaya
Gaya

New Balance Sneakers Store di Indonesia Terpercaya

SAAT ini sneakers bukan lagi sekadar kebutuhan untuk melindungi kaki saja melainkan telah berkembang jadi bagian penting dari gaya hidup....

by tatkala
June 9, 2025
I Wayan Suardika dan Sastra: Rumah yang Menghidupi, Bukan Sekadar Puisi
Persona

I Wayan Suardika dan Sastra: Rumah yang Menghidupi, Bukan Sekadar Puisi

ISU apakah sastrawan di Indonesia bisa hidup dari sastra belakangan ini hangat diperbincangkan. Bermula dari laporan sebuah media besar yang...

by Angga Wijaya
June 8, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [19]: Mandi Kembang Malam Selasa Kliwon

June 12, 2025
Gunung Laut dan Rindu yang Mengalir | Cerpen Lanang Taji

Gunung Laut dan Rindu yang Mengalir | Cerpen Lanang Taji

June 7, 2025
Puisi-puisi Emi Suy | Merdeka Sunyi

Puisi-puisi Emi Suy | Merdeka Sunyi

June 7, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [18]: Bau Gosong di “Pantry” Fakultas

June 5, 2025
Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

May 31, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co