Tatkala.co memuat sebuah cerita pendek. Di pesan whatsapp saya, muncul link untuk dapat mengunduhnya lewat ponsel. Kejadian seperti ini, amatlah lumrah sekarang. Tapi, pesan susulan yang saya terima,: karya anak Akarpohon. Membuatnya menjadi sebuah pertanyaan, kenapa dengan Akarpohon?
Akarpohon adalah sebuah komunitas di Mataram Lombok, berdiri sejak sekitar sebelas tahun yang lalu. Kiki Sulistyo dan beberapa rekan penggiat seni memotori aktivitasnya. Sekarang, komunitas ini namanya dikenal di luar, lewat karya-karya tulis anggotanya. Lewat media-media cetak (saat masih eksis) puisi, cerpen karya penggiat komunitas ini terbit di mana mana. Lewat media sosial, facebook, instagram, informasi ini dapat diketahui.
Bagaimana proses kreatifnya hingga Mataram dan Lombok kini menjadi satu wilayah di mana gelombang penggiat sastranya tengah berada dalam masa yang sangat subur. Dua dekade sebelumnya hanya memiliki satu dua nama penulis.
Lombok, Mataram dan Akarpohon, tengah mencuri perharian. Penggiat militannya rata-rata telah punya buku puisi atau buku cerpen. Buku puisi yang diterbitkan malah banyak yang telah mendapat penghargaan sastra.
Komunitas sebagai tempat bertemu, berkumpul, maka aktivitas Akarpohon tidak jauh beda dengan komunitas lainnya. Komunitas sastra yang berbincang tentang sastra, bergaul dengan komunitas kesenian lainnya, berdiskusi atau berkolaborasi dalam berkarya seni. Terkadang mengundang seseorang untuk berbicara dengan basis ilmunya yang lain, di luar kesenian. Atau di lain waktu, menghadirkan diskusi buku dengan penulisnya.
Komunitas yang dominan penggiatnya penulis ini adalah komunitas yang membaca. Membaca dalam pemahaman dengan kondisi sekarang. Ini yang belum saya dapatkan, misalnya saat saya dulu gradag grudug di Denpasar. Saat distribusi dan jaringan toko buku terbatas, dan media online belum ada.
Dekade ini, dunia perbukuan begitu melimpah. Penerbit yang punya jaringan penjualan, membuka cabangnya di banyak daerah, termasuk Lombok. Ada penerbit indie, yang digerakkan anak-anak muda, yang tak kalah gesit. Buku karya penulis, baik dari dalam negeri atau terjemahan dari luar negeri begitu melimpah. Dan dunia internet, online, media sosial, membuat distribusi buku dan segala informasi begitu terbuka. Jika sudah terkonek dengan internet, apapun yang dicari akan didapatkan.
Membaca inilah, salah satu kunci mengapa penggiat Akarpohon sekarang begitu rimbun karyanya. Tiap minggu berdiskusi karya. Membaca karya penulis dari generasi sebelumnya, penulis generasi sekarang, baik dari Indonesia, dari luar negeri juga, luar negeri dari segenap penjuru dunia. Tidak sekadar Amerika atau Eropa. Berbahagialah dengan dunia maya, yang memberi peluang terbuka itu.
Membaca karyanya, lalu mengapresiasi dengan telaah, tilik atau apalah namanya, tetapi mengupas isi, tema, tehnik, kelebihan dan kelemahan yang bisa dipelajari dari sebuah karya. Dan membiasakan apa yang dibicarakan dituangkan dalam bentuk tulisan. Diskusi tertulis, proses belajar adalah kegiatan membaca. Dari membaca buku hingga berselancar online.
Diskusi tertulis dan rutin . Karya yang akan didiskusikan diinfokan sepekan sebelumnya, lewat link on line, sehingga siapapun yang akan ikut dalam diskusi, sudah tahu dan membaca karya yang akan ditilik. Dan seorang yang menjadi penilik utama membuat telaah secara tertulis.
Jadi benar, adagium yang menyebutkan, bahwa belajar adalah untuk bisa baca tulis. Untruk bisa menulis, seseorang mesti lebih dulu bisa membaca. [T]