- Judul: Kunang-kunang Hitam
- Penulis: Geg Ary Suharsani
- Penerbit: Binsar Hiras, 2020
- ISBN: 978-623-92658-1-4
- Cetakan pertama, Januari 2020, 14x20cm,166 halaman
Perkembangan industri pariwisata di Bali seringkali menimbulkan dampak berupa konflik horisontal yang melibatkan pihak investor dengan masyarakat lokal, misalnya saja pada perkara alih fungsi lahan milik warga setempat menjadi area destinasi wisata. Proses transformasi ini kerap kali tidak dapat diselesaikan semata-mata dengan metode transaksional, jual-beli ataupun sewa berjangka. Ada banyak aspek yang menjadi pertimbangan, sekaligus alasan mengapa proses ini kemudian mencapai jalan buntu meski sudah dinegosiasikan berulangkali, dengan berbagai cara, termasuk melibatkan pihak-pihak lain.
Permasalahan semacam ini bukan baru-baru ini saja menjadi topik bahasan bagi orang-orang Bali, bahkan mungkin sejak awal pulau ini membuka diri bagi para pelancong. Gde Aryantha Soetama pernah menulis, “Tanah bagi orang bali kini tak lagi semata tumpah darah, tak lagi Cuma tenpat untuk menandur benih atau mendirikan gubuk, juga masa depan dan harta karun. Namun tanah jua yang kini menjadi dilemma paling ruwet, tak ada persoalan sekusut masalah tanah. Tak ada bencana paling dahsyat dibanding persoalan tanah.”
Dalam industri pariwisata, tanah jadi memiliki nilai ekonomi yang terus menanjak. Dan untuk berbagai alasan, orang-orang Bali mulai bersedia menjual tanahnya kepada para investor. Yang kemudian seiring waktu mengubah lanskap di wilayahnya yang semula agraris, menjadi deretan destinasi wisata yang kemilau. Juga untuk berbagai alasan lainnya, ada orang-orang Bali yang dengan bujukan apapun, tetap enggan menjual tanahnya. Mempertahankan berbagai tanaman tetap tumbuh disana, meski sekedar cukup untuk makan sehari-hari. Atau bahkan semata membiarkan sepucuk pohon tua tetap berdiri kokoh dengan keyakinan pada pesan suci warisan leluhur.
Kemajuan industri pariwisata dengan gelimang uang memang kerap dibayangkan sebagai gemerlap cahaya yang memukau setiap orang, meskipun ada disi gelapnya yang kerap tak terlihat. Itulah yang mungkin dimetaforakan oleh Geg Ary Suharsani menjadi tajuk novel perdananya, Kunang-kunang Hitam. Novel setebal 158 halaman ini memang mengadopsi konflik alih fungsi lahan menjadi destinasi wisata sebagai klimaks dari keseluruhan kisah yang dihadirkan. Melalui penggambaran kegigihan seorang perempuan tua mempertahankan hutan warisan miliknya dari incaran investor, meski telah ditawar dengan nominal tinggi, hingga ancaman terror yang dialami karena penolakannya tersebut.
Novel ini mengambil latar berupa kawasan hutan di sekitar Danau Tamblingan, satu dari tiga deret danau besar yang ada di sisi barat Bali (Tamblingan, Buyan dan Beratan). Dalam pengantarnya, penulis mengungkapkan alasan personalnya mengapa memilih untuk menuliskan cerita dengan latar Tamblingan. Alasan emosional yang kemudian akan terpantul pada penggambaran tokohnya dalam memandang latar tersebut. Sehingga pembaca akan dengan mudah menemukan fakta bahwa ternyata penulis juga menyusup ke dalam cerita dan menyamar menjadi mata dari salah satu (atau bahkan lebih) tokoh yang ada di dalam novelnya ini. Sesuatu yang sangat wajar terjadi.
Tetapi sebagaimana kita tahu, Tamblingan adalah salah satu kawasan konservasi. Posisi ini tentu saja memberikan premis bagi pembaca, terutama untuk meningkatkan tensi konflik yang ingin dibangun dalam cerita. Selain menjadi lanskap ekologis, Danau Tamblingan juga merupakan kawasan yang memiliki nilai historis dan spiritual. Terdapat sejumlah situs sakral serta temuan artefak arkeologis disana. Bagi penulis, aspek ini bisa menjadi nilai tambah bagi ceritanya, sebagaimana digambarkan bahwa kawasan ini menawarkan eksotisme bagi investor untuk membangun sebuah resort yang akan menjadi primadona wisata nantinya. Penulis membangun logika cerita bahwa ada kawasan hutan milik pribadi yang berbatasan langsung dengan kawasan hutan konservasi yang dikuasai negara. Sebagaimana lazimnya hutan, kawasan ini tidak tersentuh oleh banyak orang, sekaligus menyimpan misteri.
Kisah dalam novel ini diawali dengan sebuah prolog berupa adegan melodramatik menjelang kematian Made Darma yang masih sempat meninggalkan pesan suci bagi istrinya, Ni Luh Candri untuk menjaga dan mempertemukan seorang putra mahkota dengan leluhurnya. Inilah yang akan menjadi benang merah cerita, sekaligus alasan si tokoh utama, Ni Luh Candri dalam mempertahankan hutan warisan miliknya dari awal hingga akhir novel ini. Tokoh Ni Luh Candri digambarkan sebagai seorang perempuan berusia enam puluh tahun yang hidup menyendiri di tengah hutan seluas dua hektar dengan akses jalan yang sulit ditempuh untuk menuju kesana. Sesungguhnya ia memiliki seorang anak laki-laki, tapi sejak kematian suaminya delapan tahun silam, memilih pergi meninggalkan Ni Luh Candri seorang diri.
Secara sosiologis, Ni Luh Candri digambarkan sebagai karakter yang terpisah dari lingkungan sosialnya. Rumahnya jauh dari pedesaan, bahkan nyaris tidak pernah berinteraksi dengan masyarakat desa sekitar. Hubungan emosionalnya justru lebih dekat dengan hutan dan seisinya. Meski demikian, di dalam novel ini, Ni Luh Candri tidak hadir sendirian. Ada dua tokoh lain yang sepihak dengannya, yaitu Pendarayu dan Damarwengi. Pendarayu merupakan seorang perempuan yang berprofesi sebagai arkeolog dan sedang melakukan penelitian di kawasan Tamblingan, sedangkan Damarwengi adalah anak Ni Luh Candri yang baru saja tiba dari London setelah bermimpi tentang ibunya. Keduanya kemudian terseret dalam konflik lahan yang terjadi antara Ni Luh Candri dan orang-orang suruhan investor.
Pada separuh awal novel ini, pembaca mungkin tidak akan menemukan alasan yang signifikan, mengapa Ni Luh Candri mati-matian berniat menjaga hutan warisan miliknya tersebut, selain pernyataan tegas macam ini,
“meski berkarung-karung uang disodorkan di hadapanku. Keyakinan dan prinsipku tidak akan pernah terbeli. Walaupun tanah tempatku berpijak ini akan ditukar dengan tanah di daerah Kuta sekalipun. Aku tidak akan berubah. Sekali tidak, tetap tidak.”
Penulis barangkali memang sengaja menyimpan jawaban atas pertanyaan ini yang disiapkan sebagai kejutan menjelang penghujung cerita. Tentu ini menjadi metode yang sangat wajar dilakukan oleh penulis demi tujuan menjaga intensi pembaca tetap bertahan hingga halaman terakhir.
Sampai di sini, sebenarnya sangat menarik untuk melihat bagaimana penulis menampilkan perspektif gendernya dalam membangun karakter protagonis di dalam cerita. Secara umum kita akan disuguhi sebuah narasi tentang seorang perempuan penjaga alam yang dioposisikan dengan pihak investor. Topik ini tentu memberikan konteks untuk menjangkarkan kehadiran novel Kunang-kunang Hitam dan penulisnya dalam lingkup sosialnya di Bali. Sehingga pembaca juga bisa mendapatkan suatu perspektif atau sikap keberpihakan penulis terhadap fenomena sosial yang sebenarnya kerap dijumpai.
Hadirnya karakter Ni Luh Candri yang mulanya berjuang mempertahankan tanahnya seorang diri juga menyiratkan sebuah pernyataan gender yang kuat bahwa seorang perempuan bisa saja melawan musuh yang dibayangkan begitu besar, kuat, massif dan terstruktur seperti investor (koorporasi). Kisah ini tentu saja mengingatkan kita pada berbagai gerakan sosial yang dilakukan oleh para perempuan untuk mempertahankan tanah, alam, dan lingkungan hidup mereka. Seperti misalnya gerakan Chipko di India yang ada sejak abad ke 18, sebuah gerakan sosial yang diinisiasi oleh para perempuan untuk melindungi pohon-pohon dari penebangan. Mereka berinisiatif untuk berkelompok dan memeluk pohon sebagai bentuk protes terhadap upaya penebangan pohon yang dilakukan kala ini. Nama Chipko sendiri berarti sebuah pelukan. Dan tentu saja, mengingatkan kita pada gerakan-gerakan serupa di Indonesia, misalnya kisah Mama Aleta Baun yang berjuang melawan korporasi tambang di NTT. Kisah para Kartini Kendeng yang berjuang melawan pembangunan pabrik semen. Ataupun jika ingin melihat cermin yang lebih dekat, tahun lalu di banjar Selasih (Payangan) seorang ibu bernama Putu Astiti berdiri paling depan menghadang alat berat yang akan menggusur kebun pisang garapannya untuk dibangun resort.
Di dalam novel ini, Ni Luh Candri dideskripsikan menggunakan cara untuk mengelabuhi orang-orang yang berusaha menerornya dengan berpura-pura melakukan ritual sihir pengleakan. Stereotipe yang memang dalam masyarakat seringkali dilekatkan pada sosok perempuan tua, janda, apalagi yang tinggal menyendiri. Pelekatan stereotype ini juga dipengaruhi oleh cara pandang dalam budaya patriarkhi untuk mendiskriminasi posisi perempuan dari lingkungan. Dalam novel ini, stereotype ini juga yang membuat masyarakat dan aparatur desa seperti terpisah dengan kehidupan Ni Luh Candri, juga alasannya tinggal di tengah hutan seorang diri. Tetapi penulis justru tidak mempermasalahkan stereotype ini dengan mempermainkannya secara ironis, dengan penggambaran Ni Luh Candri justru mampu mengelabuhi orang-orang yang menerornya dengan cara berpura-pura memiliki ilmu gaib tersebut. Meski sepanjang novel ini, Ia tidak pernah menunjukkan kesaktiannya itu secara nyata.
Menjelang penghujung cerita, barulah pembaca akan memperoleh jawaban mengapa perempuan tua ini mau melewatkan usianya untuk menjaga hutan warisan tersebut. Ni Luh Candri, Damarwengi, dan Pendarayu akhirnya tiba di tengah hutan dimana sebuah makam tua tersebunyi disamping sebuah mata air. Sosok di balik makam itulah konon pemilik Kawasan hutan itu yang sesungguhnya. Secara simbolik kita dapat memahami bahwa ada alasan historis sekaligus ekologis di baliknya, meskipun tidak secara gamblang dipaparkan oleh penulis.
Dari segi penulisannya, alih-alih ditulis dengan plot linear, novel Kunang-kunang hitam justru memilih kisah dengan plot acak yang terbagi menjadi 22 bab ringkas. Di separuh awal, pembaca akan menemukan lompatan cerita yang tersusun secara teratur. Serta pengembangan karakter tokoh di masing-masing bab yang seolah saling terpisah, tetapi kemudian memiliki pertalian pada paruh kedua novel ini. Teknik penulisan semacam ini tentu sangat membantu pembaca mempertahankan rasa keingintahuannya hingga ke akhir cerita, apalagi didukung dengan narasi yang mengalir lancar. Meski mengankat problematika sosial yang serius, namun teknik penuturannya yang sederhana membuat novel ini berpotensi untuk dibaca berbagai kalangan. Bacaan ringan yang mungkin bisa dituntaskan dalam sekali duduk.
Pada akhirnya, saya ucapkan selamat untuk mbok Geg Ary Suharsani atas terbitnya novel ini!
- Tulisan ini disampaikan dalam acara Bedah Buku Kunang-Kunang Hitam di Jatijagat Kampung Puisi, Denpasar, Sabtu 19 Desember 2020