21 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Kunang-kunang Hitam: Sebuah Narasi Tentang Perempuan dan Alam

Dwi S. WibowobyDwi S. Wibowo
December 20, 2020
inUlasan
Kunang-kunang Hitam: Sebuah Narasi Tentang Perempuan dan Alam

Novel Kunang-kunang Hitam

  • Judul: Kunang-kunang Hitam
  • Penulis: Geg Ary Suharsani
  • Penerbit: Binsar Hiras, 2020
  • ISBN: 978-623-92658-1-4
  • Cetakan pertama, Januari 2020, 14x20cm,166 halaman

Perkembangan industri pariwisata di Bali seringkali menimbulkan dampak berupa konflik horisontal yang melibatkan pihak investor dengan masyarakat lokal, misalnya saja pada perkara alih fungsi lahan milik warga setempat menjadi area destinasi wisata.  Proses transformasi ini kerap kali tidak dapat diselesaikan semata-mata dengan metode transaksional, jual-beli ataupun sewa berjangka. Ada banyak aspek yang menjadi pertimbangan, sekaligus alasan mengapa proses ini kemudian mencapai jalan buntu meski sudah dinegosiasikan berulangkali, dengan berbagai cara, termasuk melibatkan pihak-pihak lain.

Permasalahan semacam ini bukan baru-baru ini saja menjadi topik bahasan bagi orang-orang Bali, bahkan mungkin sejak awal pulau ini membuka diri bagi para pelancong. Gde Aryantha Soetama pernah menulis, “Tanah bagi orang bali kini tak lagi semata tumpah darah, tak lagi Cuma tenpat untuk menandur benih atau mendirikan gubuk, juga masa depan dan harta karun. Namun tanah jua yang kini menjadi dilemma paling ruwet, tak ada persoalan sekusut masalah tanah. Tak ada bencana paling dahsyat dibanding persoalan tanah.”

Dalam industri pariwisata, tanah jadi memiliki nilai ekonomi yang terus menanjak. Dan untuk berbagai alasan, orang-orang Bali mulai bersedia menjual tanahnya kepada para investor. Yang kemudian seiring waktu mengubah lanskap di wilayahnya yang semula agraris, menjadi deretan destinasi wisata yang kemilau. Juga untuk berbagai alasan lainnya, ada orang-orang Bali yang dengan bujukan apapun, tetap enggan menjual tanahnya. Mempertahankan berbagai tanaman tetap tumbuh disana, meski sekedar cukup untuk makan sehari-hari. Atau bahkan semata membiarkan sepucuk pohon tua tetap berdiri kokoh dengan keyakinan pada pesan suci warisan leluhur.

Kemajuan industri pariwisata dengan gelimang uang memang kerap dibayangkan sebagai gemerlap cahaya yang memukau setiap orang, meskipun ada disi gelapnya yang kerap tak terlihat. Itulah yang mungkin dimetaforakan oleh Geg Ary Suharsani menjadi tajuk novel perdananya, Kunang-kunang Hitam. Novel setebal 158 halaman ini memang mengadopsi konflik alih fungsi lahan menjadi destinasi wisata sebagai klimaks dari keseluruhan kisah yang dihadirkan. Melalui penggambaran kegigihan seorang perempuan tua mempertahankan hutan warisan miliknya dari incaran investor, meski telah ditawar dengan nominal tinggi, hingga ancaman terror yang dialami karena penolakannya tersebut.

Novel ini mengambil latar berupa kawasan hutan di sekitar Danau Tamblingan, satu dari tiga deret danau besar yang ada di sisi barat Bali (Tamblingan, Buyan dan Beratan). Dalam pengantarnya, penulis mengungkapkan alasan personalnya mengapa memilih untuk menuliskan cerita dengan latar Tamblingan. Alasan emosional yang kemudian akan terpantul pada penggambaran tokohnya dalam memandang latar tersebut. Sehingga pembaca akan dengan mudah menemukan fakta bahwa ternyata penulis juga menyusup ke dalam cerita dan menyamar menjadi mata dari salah satu (atau bahkan lebih) tokoh yang ada di dalam novelnya ini. Sesuatu yang sangat wajar terjadi.

Tetapi sebagaimana kita tahu, Tamblingan adalah salah satu kawasan konservasi. Posisi ini tentu saja memberikan premis bagi pembaca, terutama untuk meningkatkan tensi konflik yang ingin dibangun dalam cerita. Selain menjadi lanskap ekologis, Danau Tamblingan juga merupakan kawasan yang memiliki nilai historis dan spiritual. Terdapat sejumlah situs sakral serta temuan artefak arkeologis disana. Bagi penulis, aspek ini bisa menjadi nilai tambah bagi ceritanya, sebagaimana digambarkan bahwa kawasan ini menawarkan eksotisme bagi investor untuk membangun sebuah resort yang akan menjadi primadona wisata nantinya. Penulis membangun logika cerita bahwa ada kawasan hutan milik pribadi yang berbatasan langsung dengan kawasan hutan konservasi yang dikuasai negara. Sebagaimana lazimnya hutan, kawasan ini tidak tersentuh oleh banyak orang, sekaligus menyimpan misteri.

Kisah dalam novel ini diawali dengan sebuah prolog berupa adegan melodramatik menjelang kematian Made Darma yang masih sempat meninggalkan pesan suci bagi istrinya, Ni Luh Candri untuk menjaga dan mempertemukan seorang putra mahkota dengan leluhurnya. Inilah yang akan menjadi benang merah cerita, sekaligus alasan si tokoh utama, Ni Luh Candri dalam mempertahankan hutan warisan miliknya dari awal hingga akhir novel ini. Tokoh Ni Luh Candri digambarkan sebagai seorang perempuan berusia enam puluh tahun yang hidup menyendiri di tengah hutan seluas dua hektar dengan akses jalan yang sulit ditempuh untuk menuju kesana. Sesungguhnya ia memiliki seorang anak laki-laki, tapi sejak kematian suaminya delapan tahun silam, memilih pergi meninggalkan Ni Luh Candri seorang diri.

Secara sosiologis, Ni Luh Candri digambarkan sebagai karakter yang terpisah dari lingkungan sosialnya. Rumahnya jauh dari pedesaan, bahkan nyaris tidak pernah berinteraksi dengan masyarakat desa sekitar. Hubungan emosionalnya justru lebih dekat dengan hutan dan seisinya. Meski demikian, di dalam novel ini, Ni Luh Candri tidak hadir sendirian. Ada dua tokoh lain yang sepihak dengannya, yaitu Pendarayu dan Damarwengi. Pendarayu merupakan seorang perempuan yang berprofesi sebagai arkeolog dan sedang melakukan penelitian di kawasan Tamblingan, sedangkan Damarwengi adalah anak Ni Luh Candri yang baru saja tiba dari London setelah bermimpi tentang ibunya. Keduanya kemudian terseret dalam konflik lahan yang terjadi antara Ni Luh Candri dan orang-orang suruhan investor.

Pada separuh awal novel ini, pembaca mungkin tidak akan menemukan alasan yang signifikan, mengapa Ni Luh Candri mati-matian berniat menjaga hutan warisan miliknya tersebut, selain pernyataan tegas macam ini,

“meski berkarung-karung uang disodorkan di hadapanku. Keyakinan dan prinsipku tidak akan pernah terbeli. Walaupun tanah tempatku berpijak ini akan ditukar dengan tanah di daerah Kuta sekalipun. Aku tidak akan berubah. Sekali tidak, tetap tidak.”

Penulis barangkali memang sengaja menyimpan jawaban atas pertanyaan ini yang disiapkan sebagai kejutan menjelang penghujung cerita. Tentu ini menjadi metode yang sangat wajar dilakukan oleh penulis demi tujuan menjaga intensi pembaca tetap bertahan hingga halaman terakhir.

Sampai di sini, sebenarnya sangat menarik untuk melihat bagaimana penulis menampilkan perspektif gendernya dalam membangun karakter protagonis di dalam cerita. Secara umum kita akan disuguhi sebuah narasi tentang seorang perempuan penjaga alam yang dioposisikan dengan pihak investor. Topik ini tentu memberikan konteks untuk menjangkarkan kehadiran novel Kunang-kunang Hitam dan penulisnya dalam lingkup sosialnya di Bali. Sehingga pembaca juga bisa mendapatkan suatu perspektif atau sikap keberpihakan penulis terhadap fenomena sosial yang sebenarnya kerap dijumpai.

Hadirnya karakter Ni Luh Candri yang mulanya berjuang mempertahankan tanahnya seorang diri juga menyiratkan sebuah pernyataan gender yang kuat bahwa seorang perempuan bisa saja melawan musuh yang dibayangkan begitu besar, kuat, massif dan terstruktur seperti investor (koorporasi). Kisah ini tentu saja mengingatkan kita pada berbagai gerakan sosial yang dilakukan oleh para perempuan untuk mempertahankan tanah, alam, dan lingkungan hidup mereka. Seperti misalnya gerakan Chipko di India yang ada sejak abad ke 18, sebuah gerakan sosial yang diinisiasi oleh para perempuan untuk melindungi pohon-pohon dari penebangan. Mereka berinisiatif untuk berkelompok dan memeluk pohon sebagai bentuk protes terhadap upaya penebangan pohon yang dilakukan kala ini. Nama Chipko sendiri berarti sebuah pelukan. Dan tentu saja, mengingatkan kita pada gerakan-gerakan serupa di Indonesia, misalnya kisah Mama Aleta Baun yang berjuang melawan korporasi tambang di NTT. Kisah para Kartini Kendeng yang berjuang melawan pembangunan pabrik semen. Ataupun jika ingin melihat cermin yang lebih dekat, tahun lalu di banjar Selasih (Payangan) seorang ibu bernama Putu Astiti berdiri paling depan menghadang  alat berat yang akan menggusur kebun pisang garapannya untuk dibangun resort.

Di dalam novel ini, Ni Luh Candri dideskripsikan menggunakan cara untuk mengelabuhi orang-orang yang berusaha menerornya dengan berpura-pura melakukan ritual sihir pengleakan. Stereotipe yang memang dalam masyarakat seringkali dilekatkan pada sosok perempuan tua, janda, apalagi yang tinggal menyendiri. Pelekatan stereotype ini juga dipengaruhi oleh cara pandang dalam budaya patriarkhi untuk mendiskriminasi posisi perempuan dari lingkungan. Dalam novel ini, stereotype ini juga yang membuat masyarakat dan aparatur desa seperti terpisah dengan kehidupan Ni Luh Candri, juga alasannya tinggal di tengah hutan seorang diri. Tetapi penulis justru tidak mempermasalahkan stereotype ini dengan mempermainkannya secara ironis, dengan penggambaran Ni Luh Candri justru mampu mengelabuhi orang-orang yang menerornya dengan cara berpura-pura memiliki ilmu gaib tersebut. Meski sepanjang novel ini, Ia tidak pernah menunjukkan kesaktiannya itu secara nyata.

Menjelang penghujung cerita, barulah pembaca akan memperoleh jawaban mengapa perempuan tua ini mau melewatkan usianya untuk menjaga hutan warisan tersebut. Ni Luh Candri, Damarwengi, dan Pendarayu akhirnya tiba di tengah hutan dimana sebuah makam tua tersebunyi disamping sebuah mata air. Sosok di balik makam itulah konon pemilik Kawasan hutan itu yang sesungguhnya. Secara simbolik kita dapat memahami bahwa ada alasan historis sekaligus ekologis di baliknya, meskipun tidak secara gamblang dipaparkan oleh penulis.

Dari segi penulisannya, alih-alih ditulis dengan plot linear, novel Kunang-kunang hitam justru memilih kisah dengan plot acak yang terbagi menjadi 22 bab ringkas. Di separuh awal, pembaca akan menemukan lompatan cerita yang tersusun secara teratur. Serta pengembangan karakter tokoh di masing-masing bab yang seolah saling terpisah, tetapi kemudian memiliki pertalian pada paruh kedua novel ini. Teknik penulisan semacam ini tentu sangat membantu pembaca mempertahankan rasa keingintahuannya hingga ke akhir cerita, apalagi didukung dengan narasi yang mengalir lancar. Meski mengankat problematika sosial yang serius, namun teknik penuturannya yang sederhana membuat novel ini berpotensi untuk dibaca berbagai kalangan. Bacaan ringan yang mungkin bisa dituntaskan dalam sekali duduk.

Pada akhirnya, saya ucapkan selamat untuk mbok Geg Ary Suharsani atas terbitnya novel ini!

  • Tulisan ini disampaikan dalam acara Bedah Buku Kunang-Kunang Hitam di Jatijagat Kampung Puisi, Denpasar, Sabtu 19 Desember 2020

Previous Post

Suami Vegan || Cerpen Bulan Nurguna

Next Post

“Nyerod” ke Desa dan “Culture Shock” yang Menyenangkan || Catatan 2 Tahun Pernikahan

Dwi S. Wibowo

Dwi S. Wibowo

Penyair dan penulis seni rupa

Next Post
“Nyerod” ke Desa dan “Culture Shock” yang Menyenangkan || Catatan 2 Tahun Pernikahan

“Nyerod” ke Desa dan “Culture Shock” yang Menyenangkan || Catatan 2 Tahun Pernikahan

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

    Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Galungan di Desa Tembok: Ketika Taksi Parkir di Rumah-rumah Warga

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

HP Android dan Antisipasi Malapetaka Moral di Suku Baduy

by Asep Kurnia
May 21, 2025
0
Tugas Etnis Baduy: “Ngasuh Ratu Ngayak Menak”

DALAM beberapa tulisan yang pernah saya publikasikan, kurang lebih sepuluh tahun lalu saya sudah memperkirakan bahwa seketat dan setegas apa...

Read more

Mari Kita Jaga Nusantara Tenteram Kerta Raharja

by Ahmad Sihabudin
May 20, 2025
0
Syair Pilu Berbalut Nada, Dari Ernest Hemingway Hingga Bob Dylan

Lestari alamku, lestari desaku, Di mana Tuhanku menitipkan aku. Nyanyi bocah-bocah di kala purnama. Nyanyikan pujaan untuk nusa, Damai saudaraku,...

Read more

PACALANG: Antara Jenis Pajak, Kewaspadaan, dan Pertaruhan Jiwa

by Putu Eka Guna Yasa
May 20, 2025
0
PACALANG: Antara Jenis Pajak, Kewaspadaan, dan Pertaruhan Jiwa

MERESPON meluasnya cabang ormas nasional yang lekat dengan citra premanisme di Bali, ribuan pacalang (sering ditulis pecalang) berkumpul di kawasan...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

May 21, 2025
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

May 16, 2025
Anniversary Puri Gangga Resort ke-11, Pertahankan Konsep Tri Hita Karana

Anniversary Puri Gangga Resort ke-11, Pertahankan Konsep Tri Hita Karana

May 13, 2025
“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

May 8, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Menyalakan Kembali Api “Young Artist Style”: Pameran Murid-murid Arie Smit di Neka Art Museum
Pameran

Menyalakan Kembali Api “Young Artist Style”: Pameran Murid-murid Arie Smit di Neka Art Museum

DALAM rangka memperingati 109 tahun hari kelahiran almarhum perupa Arie Smit, digelar pameran murid-muridnya yang tergabung dalam penggayaan Young Artist....

by Nyoman Budarsana
May 21, 2025
I Made Adnyana, Dagang Godoh Itu Kini Bergelar Doktor
Persona

I Made Adnyana, Dagang Godoh Itu Kini Bergelar Doktor

“Nu medagang godoh?” KETIKA awal-awal pindah ke Denpasar, setiap pulang kampung, pertanyaan bernada mengejek itu kerap dilontarkan orang-orang kepada I...

by Dede Putra Wiguna
May 21, 2025
Ubud Food Festival 2025 Merayakan Potensi Lokal: Made Masak dan Bili Wirawan Siapkan Kejutan
Panggung

Ubud Food Festival 2025 Merayakan Potensi Lokal: Made Masak dan Bili Wirawan Siapkan Kejutan

CHEF lokal Bali Made Masak dan ahli koktail Indonesia Bili Wirawan akan membuat kejutan di ajang Ubud Food Festival 2025....

by Nyoman Budarsana
May 20, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Puisi-puisi Sonhaji Abdullah | Adiós

Puisi-puisi Sonhaji Abdullah | Adiós

May 17, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [15]: Memeluk Mayat di Kamar Jenazah

May 15, 2025
Puisi-puisi Hidayatul Ulum | Selasar Sebelum Selasa

Puisi-puisi Hidayatul Ulum | Selasar Sebelum Selasa

May 11, 2025
Ambulan dan Obor Api | Cerpen Sonhaji Abdullah

Ambulan dan Obor Api | Cerpen Sonhaji Abdullah

May 11, 2025
Bob & Ciko | Dongeng Masa Kini

Bob & Ciko | Dongeng Masa Kini

May 11, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co