Segerombolan pencuri bermobil suatu malam di masa pandemi melakukan aksi heroik. Mereka membongkar sebuah toko kelontong. Setelah susah-payah merusak gembok, mereka sukses masuk ke dalam toko. Satu orang bergerak cepat menggotong kotak besi di sudut toko. Kotak dibawa keluar, masuk mobil, lalu meluncur ke markas. Di markas, kotak besi dibuka paksa, ternyata isinya kosong. “Sial, ini kotak kosong!” pekik mereka.
Pelajaran yang bisa dipetik dari cerita fiktif itu adalah: Jangan sekali-sekali mencuri di masa pandemi jika tak ingin mendapatkan kotak kosong. Kotak kosong di masa pandemi memang sedang naik daun, termasuk kotak kosong di tempat-tempat usaha. Tak peduli usaha besar atau usaha kecil dan menengah.
Seorang penjual bubur di sore hari hampir selalu bersungut-sungut ketika menutup warung. Buburnya habis, tapi kotak tempat menyimpan uang selalu saja kosong sebelum warung benar-benar tutup. Pembeli masih ada, uang sesungguhnya sudah sempat masuk kotak, tapi selalu dirogoh kembali untuk bayar cicilan barang yang dibutuhkan selama masa pandemi. Dan sungguh aneh, barang yang dibutuhkan saat pandemi justru barang yang termasuk mewah bagi kantongnya yang primer. Salah satunya adalah laptop. Tiga anaknya harus belajar online, dan laptop adalah salah satu perangkat yang mewah.
Dari ajang Pilkada serentak 2020 yang tetap akan berlangsung di masa pandemi ini lamat-lamat terdengar juga kabar dengan tema kotak kosong. Komisi Pemilihan Umum Indonesia (KPU) mencatat, pada Pilkada Serentak 2020 ini terdapat 25 daerah yang menyelenggarakan Pilkada dengan hanya satu pasang calon, salah satunya ada di Bali. Karena hanya ada satu pasang calon, sesuai peraturan yang terus diatur-atur agar teratur, maka pasangan itu harus melawan kotak kosong.
Bukan kotak kosong karena tak isi duit, sebagaimana pemilik warung bubur di masa pandemi. Dalam pilkada, kotak kosong yang dimaksud adalah kotak tanpa isi nama calon kepala daerah. Kenapa bisa begitu? Ya, bisa saja. Ada seorang calon amat sakti, wikan dan wisesa, tak mendapatkan lawan tanding dalam pertandingan politik. Tak jelas, apakah memang tak ada yang berani melawan karena calon satu ini memang amat sakti, atau semua lawan sedang sibuk berdagang, misalnya sibuk berdagang “kayu papan”, “palu”, “paku”, dan “alat-alat lain”. Eh, untuk apa berjualan bahan-bahan kerja semacam itu? Ya, untuk membuat “kotak kosong”.
Meski sakti, sesungguhnya banyak kabar menyebutkan pada pilkada-pilkada sebelumnya banyak calon kepala daerah bisa kalah juga oleh kotak kosong. Saya punya teman seorang kepala desa alias perbekel yang sukses di Bali Utara. Kisah suksesnya tak perlu dikata lagi. Pada periode pertama ia sukses membangun desa, bukan hanya secara politik, melainkan juga secara ekonomi. Desanya banyak didatangi pengurus desa dari luar Bali untuk melihat langsung bagaimana warga desa itu bergerak ke masa modern tanpa menghilangkan jati diri sebagai warga desa yang ulet, warga desa yang menggarap potensi-potensi yang memang ada di desa itu. Sebagai perbekel, teman saya itu diundang ke mana-mana, terutama bicara soal Badan Usaha Milik Desa alias Bumdes, sebuah lembaga desa yang dikelola secara professional.
Syahdan, ia dicalonkan kembali sebagai kepala desa pada periode kedua. Karena tak ada yang berani melawan, akhirnya ia melawan kotak kosong. Dan teman saya itu menjadi cemas. Ia cemas karena kotak kosong bisa saja membuatnya menjadi malu. Kotak kosong bisa saja akan membuat seorang perbekel yang sukses membangun desa di periode pertama diberitakan kalah pda pemilihan pada periode kedua. Sialnya, ia kalah oleh kotak koosong.
Saya heran. Apa yang dicemaskan oleh teman saya? Ternyata ia cemas oleh politik yang tak serius, politik main-main. Orang-orang desa dikenal suka bermain, bahkan dalam dunia yang serius. Jangan-jangan ada banyak orang yang iseng memilih kotak kosong, lalu keisengan itu menular kepada banyak orang, lalu banyak orang mencoba-coba memilih kotak kosong, sekali lagi, hanya untuk main-main. Mungkin ada yang berpikir serius dalam permainan politik, misalnya ada yang dengan serius melakukan keisengan untuk menciptakan sejarah: “Biar pernah saja kotak kosong menang di desa kita”.
Syukurlah kecemasan teman saya itu tak terbukti. Ia menang di periode kedua dengan gemilang. Dan ia kembali membangun desa hingga sekarang. Tapi, ngomong-ngomong, kecemasan perbekel yang sukses itu setidaknya punya alasan yang masuk akal di tengah situasi politik yang kadang-kadang tak masuk akal.
Kotak kosong, meski tak punya juru kampanye, tampaknya bisa sakti juga. Mungkin karena tak berisi nama calon, tak punya partai, tak punya juru kampanye, dan tak punya akun di sosial media, kotak kosong bisa dijadikan mainan. Misalnya jadi mainan iseng-iseng bagi orang-orang yang putus asa. Dan di masa pandemi ini, mungkin, mungkin saja, banyak orang masuk pada taraf putus asa, sehingga kotak kosong bisa jadi mainan berharga. Seperti kotak kulkas yang jadi mainan anak-anak di halaman.
“Coba iseng-iseng coblos kotak kosong, siapa tahu dunia berubah,” kata seorang teman. Ia bersiap ikut pilkada. Teman itu tak punya tujuan, tak punya maksud apa-apa. Hanya iseng-iseng. Coba-coba. Tapi, pada situasi yang tak pasti di musim pandemi ini, jangan-jangan banyak orang punya niat untuk iseng. Banyak orang punya niat coba-coba. Alasannya mungkin terkesan main-main; “Serius-serius, akhirnya toh begitu-begitu saja”.
Maka, jangan remehkan kotak kosong. Kosong berisi, isi itu kosong, begitulah kata orang bijaksana. Ini misal, lho, misal. Jika kotak kosong nanti menang, jangan kecewa. Anggap itu sejarah yang akan jadi pelajaran di masa lalu bahwa politik bisa berubah tanpa bisa ditebak. Jika kotak kosong kalah, jangan juga merasa jumawa. Wong cuma kotak kosong, tidak bisa melawan, ya memang gampang untuk kalah. Habis pilkada, buang kotak kosong itu, karena memang tak akan harganya lagi untuk dilawan.
Tapi di luar pilkada, rakyat sepertinya akan terus melawan kotak kosong. Pedagang bubur, pemilik toko kelontong di los pasar tradisional, atau petani sayur, sepertinya susah menang melawan kotak kosong. Jika kotak diisi sebentar saja, isinya bisa dengan cepat menguap. Anak-anak minta kuota, minta HP, minta laptop, karena barang-barang yang dulu terkesan mewah itu kini sudah jadi kebutuhan mendasar.
Dengan begitu, ada atau tidak ada pilkada, pada saat pilkada atau pada saat pilkada berlalu, kotak kosong bisa akan selalu jadi hantu. Sebentar-sebentar isi, sebentar-sebentar puyung sing misi buyung. [T]
*Dengan sedikit variasi, esai ini pernah dimuat pada kolom Lolohin Malu di koran Bali Express (Jawa Pos Group) edisi cetak