Hujan, ia seperti sebuah perjalanan pulang. Perjalanan pulang selalu ditunggu-tunggu dan menyertakan rasa rindu. Rasa rindu senantiasa meminta sebuah pertemuan dan pertemuan adalah tempat bagi segala rasa untuk bermuara. Pertemuan dimuliakan karena dapat menciptakan kegembiraan, menghapus kesedihan, meredakan keangkuhan pun membina belas kasihan.
Demikianlah hujan, atom oksigen (O2) dan hidrogen (H) yang vital dan cemerlang di angkasa harus berangkulan untuk menjadi air (H2O) yang rendah hati turun ke bumi bersua ibu pertiwi, membagikan kegembiraan dan belas kasihannya, menghapus kesedihan bumi lalu bermuara di samudera luas. Samudera luas adalah realita keberagaman dan keberagaman hanya dapat terwujud dari sikap kerendahan hati.
Maka samuderalah yang telah menyatukan bumi kita yang bulat ini. Pantaslah hujan selalu rindu untuk pulang ke samudera meski sering kali mesti melewati perjalanan panjang melalui hutan dan pegunungan yang asri, desa yang damai, serta perkotaan yang pengap. Sebuah siklus yang senantiasa hadir dan selalu memberi pelajaran penting soal hakikat kehidupan.
Air, mungkin merupakan elemen alam dengan struktur kimia yang sangat sederhana juga penampilan yang terlampau bersahaja. Pada dasarnya, ia bening tak berwarna, tak berasa dan mengalir ke mana saja ke tempat yang lebih rendah. Antitesa sifat api yang senantiasa menggapai-gapai ketinggian semampu ia lakukan. Air dalam kesahajaannya, adalah sumber kehidupan.
Meski ia tak meriah berwarna-warni, tak menawarkan berbagai pilihan topping atau rasa. Demikianlah, alam berkali-kali mengingatkan, hidup ini ditentukan oleh hal-hal esensial yang sangat sederhana dan mudah. Ingatlah kemudian, saat masa kanak-kanak dulu kita pernah dengan tubuh telanjang berhamburan bersama sahabat-sahabat di kampung berloncatan ke luar rumah saat hujan turun.
Adakah permainan yang lebih bersahaja daripada itu? Sebagian lalu kena flu namun rasanya sebagian besar mendapat antibodi yang telah dititipkan alam. Jika saat ini Covid-19 membunuh lebih banyak penduduk Eropa dan Amerika Utara yang kaya dan modern, mungkin saja karena mereka tak pernah bermain hujan-hujanan saat kanak-kanak.
Hujan akan menjadi indah dan sempurna saat bulir-bulir airnya yang bening menimpa dedaunan, pepohonan dan rimba belantara. Perhatikanlah, detil saat tetesan air hujan jatuh tanpa ragu-ragu di atas sehelai daun hijau, kita akan segera sepakat, itulah keagungan lukisan ilahi tak ternilai. Tetes demi tetes menyapa dedaunan yang tak jemu bergoyang menyambutnya lalu membiarkannya menyusuri batang-batangnya menuju tanah, beristirahat sesaat dalam kerumitan akar-karnya. Akar-akar yang haus tak menyia-nyiakan kesempatan mereguk curahan berkat dari langit yang kelak akan dimasak menjadi zat tepung yang manis, sumber nutrisi untuk segenap mahluk fauna dan insani.
Hujan pun mengingatkan kita, pepohonan dalam diam telah bekerja tanpa lelah merakit puzzle kehidupan menjadi sempurna. Satu realita lain, kesederhanaan yang esensial untuk kehidupan. Itulah maka, merobek dedaunan, menghempaskan pepohonan sama saja menyia-nyiakan hujan, membuang-buang bakal zat tepung yang manis.
Hujan telah menginspirasi sedemikian banyak sisi keindahan dan romantisme manusia. Ia hadir dalam gubahan lagu-lagu, lukisan, pada banyak puisi bahkan film. Tak masalah apakan hujan telah mewakili persaan insani yang suram penuh duka atau sebaliknya ia dihadirkan untuk melukiskan keindahan yang memikat hati. Manusia memang piawai membuat apa saja sesuai dengan keinginannya. Hingga sering membawanya merasa selalu benar tak pernah keliru. Ini sungguh bukan perkara sederhana, sebaliknya ini jelas persoalan sangat rumit dan berbahaya.
Jika telah terjadi banjir atau longsor di sana sini, tentulah itu bukan kemauan hujan. Ia selalu kembali pada tugasnya sebagai penjaga kehidupan. Maka segala bencana yang terjadi adalah tak bukan karena ego manusia yang selalu merasa benar tak pernah keliru itu sendiri. Kita, akan selalu menunggu saat untuk pulang, meluruhkan ego dan keangkuhan kita. Seperti hujan yang pulang ke samudera, dan jika beruntung, sebelum usai curahannya, sesekali menjumpai kekasihnya, sinar surya yang hangat menjangkau dari cakrawala untuk menjalin seuntai pelangi.