Mari kita sepakati terlebih dahulu, bahwa keberadaan festival di masa pandemi begitu penting artinya, terutama dalam rangka menjaga kewarasan kita sebagai manusia. Di tengah wabah yang senantiasa mengintip di sela keseharian, pembatasan fisik, situasi ekonomi yang sulit, serta kebijakan pemerintah yang berbelit dengan berjibun wacana dan kontrofersi yang berkelindan di dalamnya, membuat segala hal jadi kehilangan akal sehat. Hampir-hampir jadi gila dibuatnya. Maka seni, dalam konteks Festival Bali Jani yang terselenggara pada 31 Oktober-7 November ini, boleh jadi ruang alternatif untuk menjaga kesadaran diri kita khususnya sebagai masyarakat Bali untuk tetap waras.
Bayangkan saja jika hari-hari di masa pandemi dilalui tanpa satupun tergelar tontonan, dimanakah masyarakat Bali mesti menari? Sementara hotel-hotel atau kawasan hiburan wisata yang biasa mengupah tari telah tutup lantaran tak ada tourist yang datang. Kapan para penabuh mesti memainkan gamelan, jika odalan di pura juga diharuskan untuk memberlakukan pembatasan fisik, jaga jarak, dan deretan keamanan protokol kesehatan lainnya? Jika tak ada festival, bagaimana seniman bisa mendulang pemasukan sementara bantuan pemerintah yang jumlahnya tak seberapa itu, tak jua kunjung datang? Maka, festival seni tentu menjadi jawaban atas segala persoalan. Bak menyelam minum air, sekali dayung dua tiga pulau terlampaui. Perayaan festival setidaknya mampu memberi bantuan sekaligus membuka ruang kreativitas bagi seniman, di sisi lain memberi hiburan untuk masyarakat luas.
Meski banyak juga seniman yang tak menggantungkan diri pada hotel-hotel atau kawasan hiburan pariwisata, meski banyak juga seniman yang meyakini ritual pentas tak hanya dapat dilakukan di pura, meski banyak juga seniman yang tak menjadikan acara seni pemerintah sebagai penopang hidup, keberadaan festival tentu tetap mesti diapresiasi. Dalam konteks Festival Bali Jani yang diadakan secara virtual, setidaknya ada hal-hal yang senantiasa dilontarkan sebagai masukan oleh sejumlah kawan seniman, kini secara ‘tidak sengaja’ telah dilakukan dalam penyelenggaraan festival. Saya katakan ‘tidak sengaja’, lantaran karena memang bukan dimaksudkan demikian. Semua tampak hanya dijalankan dengan motif bagaimana acara agar dapat terlaksana dengan baik. Adapun beberapa hal yang dimaksud adalah sebagai berikut.
Yang pertama adalah eksplorasi ruang yang tak lagi menjadikan Art Centre pusat situs pertunjukan. Sebagaimana yang umum diketahui, bahwa selama ini Art Centre boleh dikata menjadi satu-satunya tempat tergelarnya pertunjukan. Utamanya acara pertunjukan yang digelar oleh institusi pemerintah. Alih-alih menjadi pusat tempat pertunjukan, dalam format acara yang monoton, yang berulang setiap tahunnya, Art Centre hari ini justru kehilangan daya pukaunya. Di masa pandemi, ketika acara tak bisa lagi dilakukan di Art Centre, ketika tim panitia membuka ruang kreasi seniman sebebas-bebasnya dengan format virtual, penggunaan ruang alternatif tampak menjadi begitu beragam. Beberapa kelompok diantaranya, ada yang menggunakan gunung, laut, sawah, studio, bahkan kawasan pembuatan tembikar sebagai situs pertunjukan.
Hal ini menjadi menarik untuk disaksikan. Pertunjukan tak hanya menyuguhkan komposisi, gerak, bloking sebagaimana yang biasa hadir di panggung prosenium Art Centre. Pentas juga menghadirkan situs-situs unik yang sekiranya luput kita lihat dan sadari selama ini. Sayangnya, melihat beberapa teaser pentas yang sudah diunggah di laman youtube disbud bali, situs-situs ini tampaknya cenderung digunakan hanya sebagai latar. Tak banyak kelompok yang meniatkan diri merajut pentas berdasar pada penggalian teks-teks yang terkandung dalam situs itu sendiri. Alhasil, menonton pertunjukan tak ubahnya seperti menonton film asing atau menyaksikan video prawedding yang hanya menggunakan situs-situs Bali beserta oramen di dalamnya sebagai sebuah latar. Tanpa pretensi untuk menyajikan narasi-narasi yang hadir di balik situs.
Yang kedua, Festival Seni Bali Jani sekiranya telah mampu membuka ruang reuni bagi tubuh para penari Bali menyinggahi ruang primordialnya. Adapun ruang primordial yang dimaksud adalah bentang alam agraris yang sejatinya menjadi cikal bakal estetika seni Bali hidup, tumbuh dan berkembang. Merujuk pada foto-foto masa lalu para seniman Bali tempo dulu, dapat kita lihat bagaimana mereka menari di jaba Pura, beralas tanah serta melakukan ritual adat dimana pohon tumbuh dengan lebatnya, tak ada gedung, tak ada deru mobil kendaraan yang menghiasi. Berbanding terbalik jika melihat potret tubuh penari hari ini yang berloncatan dari panggung ke panggung, dari hotel ke hotel.
Reuni, barangkali menjadi kata paling tepat untuk digunakan. Hampir sama kualitasnya seperti acara reuni sekolahan, dimana kita bersiap sebaik, secantik, seganteng mungkin untuk tampil bertemu kawan masa sekolahnya. Pada video pertunjukan Festival Bali Jani, kita akan kembali menyaksikan para penari yang berusaha mengakrabi ruang primordialnya di tanah tandus, di air laut serta semak belukar. Bedanya, jika para penari dulu tampak hitam, berpeluh, dengan kostum sederhana, kini para penari tampak putih dengan bedak tebal, rias warna warni, dan hingar bingar kostum. Entah, bagaimanakah kemudian generasi selanjutnya mengenali para penari ini. Bisakah kemudian dikenali, sebagaimana kita hari ini yang berusaha menelusuri mana rupa I Mario, I Sampih, Ni Pollok dan sebagainya dalam potret Bali tempo dulu?
Yang ketiga adalah penyelenggaraan Festival Bali Jani yang sekiranya mampu menjadi cikal bakal kehadiran bentuk festival alternatif yang lain. Diakui atau tidak, yang dijadikan rujukan festival selama ini hanyalah Pesta Kesenian Bali semata, baik dalam konteks latar belakang, bentuk sampai indikator pencapaian. Festival yang sudah cukup tua usianya ini, yang berhasil menggait ribuan penonton di dalamnya dijadikan satu-satunya rujukan keberhasilan tanpa pernah sekalipun mempertimbangkan hal-hal lain di luar format dan bentuk acara, semisal kepada kalangan manakah sesungguhnya festival diselenggarakan? Apa tujuan festival? Bagaimana kemudian mesti mengkonsepkannya? Mestikah semua festival harus disamakan dengan capaian PKB?
Sebab setiap festival mesti punya visinya masing-masing, yang tak bisa disamakan satu dengan lainnya. Visi yang matang berpengaruh pada bentuk festival, berpengaruh pula pada pemilihan medium penyelenggaraan festival. Dalam konteks ini, platform youtube yang digunakan sebagai media penyelenggaraan Festival Bali Jani misalnya, tentu juga mesti dievaluasi kegunaannya. Sejauh manakah mampu berhasil membawa agenda festival? Bisakah youtube mengakomodir gagasan modernitas kekinian yang senantiasa dikumandangkan sebagai semangat Bali Jani? Terlebih lagi jika channel youtube dikelola seperti hobi. Diupload jikalau hanya ada waktu dan kuota.
Dalam konteks ini, realitas festival nyata tentu berbeda dengan realitas virtual. Diperlukan berbagai persiapan dan pertimbangan matang dalam pelaksanaannya. Pada ruang virtual yang cenderung menyetarakan segala hal, menempatkan produk kesenian dengan produk kerajinan, gossip, hoaks dalam ruang yang sama, maka kita pun mesti menyiapkan siasat agar produk festival tetap punya nilai penting diantara deretan konten yang hadir dalam ruang virtual. Alih-alih mengusung seni untuk menjaga kewarasan, jangan sampai membuat para seniman jadi lebih frustasi lagi.
Cih! Sudah buat susah-susah, berdarah-darah, tapi kok tak ada yang menonton pertunjukan kita ya?Males dah! Mending dah tik-tokan aja!
Denpasar, 2020