—Catatan Harian Sugi Lanus, 15 Oktober 2020
1. Umat Hindu sedari kecil diajak mengucapkan doa-mantra Gayatri yang isinya mendoakan kedamaian bhūr bhuvaḥ svaḥ. Lalu disebutkan bahwa bhūr bhuvaḥ svaḥ itu adalah tiga dunia. Ada yang memberi arti: Damai di bumi, damai alam leluhur, dan damai alam dewata. Pada pokoknya umat Hindu diajari sedari kecil untuk berkontribusi dan berikrar untuk menegakkan cita-cita hidup bersama dalam kedamaian, dengan terus mendoakan harmoni dunia, sampai berlapis-lapis dunia lain.
2. Selain bhūr bhuvaḥ svaḥ mengandung arti tiga lapis alam luar yang “menyangga kehidupan”, ada penjelasan lainnya yang membuat kita lebih merasa lebih dekat dengan doa-mantra ini: Di dalam diri kita ada bhūr bhuvaḥ svaḥ.
Pembagiannya sebagai berikut:
(a) bhūr adalah “ketika kita terjaga” atau “kesadaran terjaga”;
(b) bhuvaḥ adalah “ketika kita bermimpi” atau “kesadaran ketika bermimpi dalam tidur”; dan
(c) svaḥ adalah “kesadaran tidur terdalam tanpa mimpi”, “hening sunia dalam tidur” atau “deep sleep”.
Penjelasannya sebagai berikut:
(a). Bhūr adalah “ketika kita terjaga” atau “kesadaran terjaga”. Ini adalah situasi manusia melek atau terjaga, ketika berinteraksi dan berpikir, menghayal, atau ketika dalam marah, bentuk sesal dan penderitaan karena sakit dan atau senang. Ini bisa disebut sebagai “dunia paling nyata” atau kasat mata yang dialami manusia. Di sini pikiran dan tubuh harus saling menjaga dan mendukung, kalau tidak tubuh akan menjadi sakit. Jika tubuh diperalat oleh kecerobohan pikiran dan ego, ambisi dan nafsu, serta berbagai gundah-gulana manusia, tubuh akan mengalami derita dan mudah jatuh sakit atau tidak bisa berpikir jernih. Dalam “kesadaran bhūr” peran pikiran sangat penting. Pikiran bahkan bisa dikatakan mendominasi dan berebutan dengan nafsu hayali dan keinginan tubuh yang mudah tergoda.
Seseorang menunggu tumbuhnya kedewasaan pikiran dan pertumbuhan batin untuk bisa mendamaikan pikiran, ego dan nafsu badaniahnya. Berdamai dan arif bijak mendamaikan kesehatan tubuh, loncatan dan ambisi pikiran yang suka ngelantur, atau dorongan fisikal, seperti nafsu dan keinginan ketubuhan lainnya; kesemuanya membutuhkan kedewasaan memahami, agar tidak saling mengorbankan. Tubuh, pikiran, imajinasi, semuanya ingin mendapat tempat masing-masing. Seiring bertumbuhnya kedewasaan, seseorang baru bisa mendamaikannya. Jika telah muncul kedewasaan, seseorang baru bisa memahami proporsi berbagai tarikan ego, pikiran dan ketertarikannya pada berbagai hal. Membutuhkan latihan kesadaran penuh untuk bisa mendamaikan semua letupan-letupan berlebihan yang tidak penting dari segala penjuru pikiran, nafsu, imajinasi dan segala kemalasan.
(b). Kesadaran bhuvaḥ adalah kesadaran ketika kita memasuki tidur dan menemukan diri dalam mimpi. Ini adalah kegelisaan yang memenuhi pikiran ketika tidur. “Ketika mimpi” atau “sang diri” dalam tidur kita sulit sekali dihandle atau dikontrol oleh pikiran. Ketika tidur pikiran kita seperti tidak berkuasa atau hilang. Padahal pikiran tidak tidur, tapi tetap bekerja dan berproses, mewujud dalam bentuk mimpi, yang tak lain bentuk kegelisahan berpikir. Dalam mimpi ini pikiran seperti memasuki hayal dalam tidur. Mimpi seperti halayan atau lamunanan ketika tubuh tertidur.
Tubuh tidur, pikiran melamun dan menghayal, dan atau kemana-mana tidak jelas, maka terjadi kegelisahan tidur. Bisa saja ketakutan dalam dunia nyata ketika kita terjaga, punya tanggungan kerja belum selesai, punya tunggakan, atau perasaan khawatir pada pasangan, atau kepemilikan berlebihan yang membuat kita takut kehilangan, dstnya, dll; ini membuat kita menjadi memasuki “kesadaran mimpi” yang amburadur tidak terkontrol. Tidur penuh mimpi, sering merasa bermimpi tetapi tidak kita ingat, dan kalau ingat kita menjadi sangat tidak nyaman baik ketika bermimpi, bahkan ketidaknyamanan itu terbawa ketika terjaga.
Apapun alasan kita “masuk ke kesadaran mimpi”, entah ada yang percaya itu sebagai petunjuk atau pengalaman batin dll, itulah kesadaran manusia atau diri kita dalam dunia mimpi, atau kesadaran bhuvaḥ. Biasanya orang yang tidak nyaman atau tidak damai dalam kesadaran terjaga (kesadaran Bhūr) juga tidak damai dalam tidurnya. Kesadaran terjaga (kesadaran Bhūr) berkorelasi dengan tidurnya, biasanya menyebabkan ketika tertidur akan memasuki alam tidur yang penuh mimpi tidak jelas. Mereka yang tidak tertata di “kesadaran Bhūr” ketika memasuki “kesadaran bhuvaḥ” menjadi tidak nyaman dan banyak mimpi yang tidak terjelaskan, mengganjal hati dan menyandra pikirannya di alam mimpi. Sering kali ingatan mimpinya, ketikan terjaga atau bangun, membuat bangun tidur tapi kelelahan atau uring-uringan, atau mengalami ketidaknyamanan seperti baru mengalami peristiwa buruk, walaupun secara nyata ia baru bangun tidur.
(c). Alam svaḥ adalah “kesadaran tidur terdalam tanpa mimpi”, “hening sunia dalam tidur” atau “deep sleep”.
Bisa tidur tanpa mimpi dan bisa masuk “kesadaran tidur terdalam tanpa mimpi” adalah bonus besar dalam hidup. Ini dikatakan sama dengan pengalaman meditasi mendalam. Mereka yang tertidur pulas dan hening seperti bayi, sesungguhnya “terhubung” dengan “Sumber Kehidupan”.
“Alam svaḥ” dalam diri manusia itu antara ada, tapi juga tiada.
Dalam “kesadaran tidur terdalam tanpa mimpi” manusia menyentuh titik persentuhan dengan kesadaran terdalam alam semesta. Ini terjadi ketika memasuki ambang batas tidur tanpa mimpi, dan masuk ke dalamnya lagi terjaga di sana, dalam sunyi hening tiada terperi, gemilang dan damai yang paling dalam. Tidak terlukis kata tapi ada sesuatu yang sadar di sana. Tidak bermimpi, tapi keheningan pulas yang sangat dalam.
3. Terjaga, tidur bermimpi, tidur hening tanpa mimpi — itulah dalam diri kita sebagai bhūr bhuvaḥ svaḥ. Bisakah semuanya dalam “situasi damai”? Ketika kita damai dalam kenyataan hidup, dalam ambang mimpi pun damai, dalam ketiadaan-ingatan dalam tidur lelap kita damai. Tiga alam kesadaran itu damai. Nasihat pustaka leluhur, tiga alam kesadaran ini diharapkan bisa damai.
4. Ada pula yang menyebutkan bahwa ketiga alam ini terkait dengan SARIRA TRAYA: Sthula sarira (badan kasar); Suksma sarira (badan halus) dan Karana Sarira (tubuh lapisan terdalam sebagai ‘penyebab’).
Lapis alam, lapis kesadaran, lapis sarira, terangkum dalam ungkapan bhūr bhuvaḥ svaḥ di dan dalam diri manusia.
5. Lebih jauh, kenapa ada kata “dhīmahi” dalam doa-mantra Gayatri? “Dhīmahi” = Marilah bemeditasi padanya. Muasal katanya: “dhī”. Ada pula dalam kata “samadhī”. Berpusat pada “dhī” = pikiran. Seorang yogi atau sesorang yang menjalani disiplin mendalam dalam tradisi yoga, bergerak lebih jauh lagi. Setelah berhasil mendamaikan tiga lapis alam kesadaran itu— bhūr bhuvaḥ svaḥ— dalam yoga ia “melampaui tidur tanpa mimpi”. Alam kesadaran ini hanya bisa dimasuki lewat yoga. Baik yoga dalam sikap duduk dari terjaga, atau kesadaran penuh (mindfullness) dalam setiap langkah sehari-hari, atau yoga dengan memasuki tidur, atau disebut sebagai yoga nidra. Dalam pustaka yogi yang diwariskan di Bali dan Jawa, alam melampaui ketiga ini disebut “turya” — bagian keempat. Ini bukanlah terjaga, bukan bermimpi, ataupun bukan tidur nyenyak. Sebelum sampai ke sana, menurut para guru batin yang menulis ajaran tattwa kuno, harus dipahami bahwa di antara tiga alam tersebut ada semacam titik temu atau ambangnya. Atau persimpangan antara salah satu dari tiga kesadaran atau alam tersebut, yaitu: Antara bangun dan bermimpi, antara bermimpi dan tidur nyenyak, dan antara tidur nyenyak dan bangun. Ada semacam jembatan titik-titik hubung jadi perantara di sana. Tiga kesadaran itu ditambah dengan “turya” menjadi 4 alam atau bagian. Kemudian, mereka yang disebut sebagai mencapai tingkatan tertinggi manusia, setelah melampaui 4 alam ini, ia masuk ke tahapan ke 5, yang disebut “turiyatita” — alam atau kesadaran di luar Turiya. Turiyatita ini disebut juga sebagai “śunya” — keadaan di mana seseorang mencapai pembebasan atau dikenal sebagai “jivanmukti” atau “moksha”.
6. Doa sehari-hari yang berisi doa kedamaian bhūr bhuvaḥ svaḥ bisa bersifat keluar diri, sekaligus ke dalam diri. Bhūr bhuvaḥ svaḥ sebagai tiga dunia luar, sekaligus lapis dalam diri. Lalu ditutup dengan “dhiyo yo naḥ pracodayāt”
dhiyoḥ = intelek, kemampuan rohaniah di dalam tubuh, aktivitas hidup
yoḥ = yang
naḥ = milik kita, dari kita
pracodayāt = untuk bergerak ke arah tertentu
cod = untuk memindahkan (sesuatu / seseorang) ke arah tertentu
pra = awalan “maju, maju”
pracud = “untuk memajukan (sesuatu / seseorang)”
Puncak doa-mantra ini memberi petunjuk dan arahan agar dunia di luar diri didamaikan dalam doa, lalu dunia atau alam di dalam diri didamaikan, menuju pemanunggalan luar-dalam, menaiki tangga diri memasuki dan menaiki kesadaran, “dhī” dan “dhiyoḥ”. Dari intelek yang mendalam dan bercahaya menuju esensi cahaya — “śunya” — atau “Turiyatita”.