Layangan adalah salah satu permaianan masa kecil yang tidak pernah lekang oleh waktu. Dari masa ke masa tetap saja ada layangan yang terbang di langit, apalagi di setiap bulan Juli akhir sampai pertengahan November adalah saat layangan banyak sekali menghiasi langit. Dari layangan yang terlihat biasa saja dan layangan yang bercorak indah terlihat berterbangan. Biasanya di setiap sisi jalan ada dagang layangan yang sudah bersiap untuk menarik minat anak-anak, meskipun kadang layangan-layangan itu tidak terlalu sempurna saat diterbangkan. Meskipun begitu, layangan-layangan itu tetap saja laku.
Tetapi selama pandemi ini, layangan menjadi sangat banyak di kampuang saya. Dari biasanya layangan hanya diterbangkan oleh anak-anak desa, kini remaja-remaja juga ikut menerbangkan layangan. Sawah adalah salah satu tempat yang paling ramai dituju pemuda-pemuda desa. Karena selama pandemi, pekerjaan mereka adalah membuat layangan, berbedas ketika sebelum pandemi ini, mereka banyak yang bekerja, sibuk mementingkan uang dan berpikir untuk makan sehari-hari, mereka juga sibuk belajar dan mengerjakan tugas sampai pagi. Tetapi sekarang, mereka malah mementingkan layangan, sibuk bekerja membuat layangan dan belajar membuat layangan sampai pagi.
Ketika mendekati akhir bulan Juli, pemuda-pemuda di desa saya sedang gencar-gencarnya membuat layangan. Ada yang satu hari sudah selesai, satu minggu bahkan satu bulan. Kadang ada beberapa layangan yang bertaksu, kepercayaan agar layangan itu dapat menari di langit ketika terbang.
Setelah beberapa kali memperhatikan layangan dari satu daerah ke daerah lain, ternayata di setiap daerah itu berbeda jenis layangan dan gaya permainannya. Entah itu dari lekukan setiap bambu yang sudah diukur sedemikian pasti, pemasangan corak kain dan juga permainan layangan saat sudah terbang.
Dari beberapa daerah, Buleleng adalah salah satu yang paling unik. Buleleng menurut saya masih benar-benar bermain layangan, anak-anak di sawah sebelah kos sering saya lihat sedang bermain layang. Mereka saling beradu layangan dengan menarik ulur talinya, tertawa seperti tidak ada ketersinggungan ketika salah satu layangan mereka putus, itu seperti kepuasan mereka sendiri ketika salah satu layangan yang mereka adu putus. Setelah putuspun, layangan itu tidak dicari, mungkin ada beberapa yang dicari, tetapi kadang mereka membeli kembali layangan dan diadu kembali. Lain halnya, Jembrana, Tabanan, Gianyar, Badung dan Denpasar.
Layangan-layangan di sana sangat mementingkan estetika dari layangan, mulai dari layangan yang berbentuk burung atau bebean. Dari bambu dan pilihan warna layangan sangat diperhatihan, tali layangan dan juga layangan yang terbungkus dengan kain tidak lagi dengan plastik ataupun daun pisang. Tarian layangan yang mereka sebut ngegol di langit sangat diperhatikan, juga ketika langit sudah mulai gelap layangan-layangan itu masih tetap berada di langit dengan dihiasi lampu-lampu yang bertenaga angin.
Bermain layangan yang sebenarnya adalah ketika beradu layangan, memilih yang terkuat dan bersenang-senang sampai kulit menjadi hitam, kaki penuh luka dan baju yang lusuh karena bermain dan mengejar layangan yang putus, entah itu milik teman ataupun layangan sendiri.
Sepertinya, layangan adalah sesuatu yang selalu abadi meskipun di tengah dunia yang serba digital ini. semoga saja, ketika dunia sudah dipengaruhi dengan berbagai jenis aplikasi layangan masih tetap menari di langit dan saling beradu.