Catatan Harian Sugi Lanus, 5 September 2020
1. Pakar Sanskerta ternama berkebangsaan India Prof. Dr. Raghu Vira, M.A., Ph.D., D.Litt.&LPhil., datang ke Bali dengan tujuan utama ke perpustakaan lontar Gedong Kirtya Buleleng. Peristiwa itu terjadi 8 Agustus 1951.
Siapa beliau? Apa tujuannya? Kenapa seorang pakar Sanskerta terbaik di zamannya datang khusus ke Gedong Kirtya Buleleng?
2. Raghu Vira (1902 – 1963) adalah tokoh besar India yang kagum dengan Indonesia, khususnya Bali yang dinilainya telah berjasa menyelamatkan lontar-lontar Hindu Nusantara.
Reputasi besar karena ia adalah pakar yang bertumpu atau merujuk langsung pada edisi manusript kuno yang berisi teks-teks Sanskerta kuno, yang ditemukan budaya Mongolia, Cina, Asia Tengah, Asia Selatan, Asia Timur dan Indonesia — beberapa lontar-lontar ia peroleh dari salinan dan atau copy dari Gedong Kirtya.
Namanya sebagai tokoh besar India dikenal berjejer dengan nama Jawaharlal Nehru (Pejuang dan Perdana Menteri India pertama). Ia dikenal seorang ahli bahasa dan pejuang nasionalis India, sahabat dan rujukan Nehru dalam membahas urusan politik dan kebudayaan India. Ia terlibat dalam mengorganisir para pemimpin India melawan monopoli imperialis Inggris. Riset-risetnya didukung oleh pimpinan negara-negara seperti: Jawaharlal Nehru, Chou En-lai dan Sukarno.
Profesor Raghu Vira mengoleksi manuskrip Sanskerta dari berbagai negara di luar India, termasuk lontar-lontar dari Bali. Pemikiran dan riset-risetnya menjadi rujukan para pakar India dalam mempelajari Hinduism.
Ia adalah pakar berbagai bahasa, seperti Hindi, Sanskrit, Persia, Arab, Inggris, Urdu, Bengali, Marathi, Tamil, Telugu dan Punjabi, dll. Menciptakan sekitar 150.000 istilah ilmiah dan peristilahan parlementer dengan bahasa Sansekerta sebagai pijakan umum peristilahan politik di India. Kamus Besar Bahasa Inggris-Hindi karyanya tetap memberikan kontribusi fundamentalnya untuk tujuan bahasa India.
____
___
3. Sebelum ke Gedong Kirtya, Prof. Raghu Vira berjumpa dengan Soekarno dan dijamu sebagai tamu khusus kehormatan. Mereka berdiskusi berbagai hal hubungan kebudayaan India kuno dan Nusantara kuno. Diskusi dan tulisan tangan Soekarno ada di buku perjalanan Prof. Raghu Vira. Disamping karena mereka sama-sama bersabahat dengen Nehru, Soekarno secara pribadi yang sangat tertarik belajar Sanskerta dan telah mengetahui kemahsyuran nama Prof. Raghu Vira sebagai pakar dunia yang disegani dan sebagai pejuang India dalam mengusir penjajahan Inggeris. Presiden Soekarno sempat bersurat ke Prof Raghu Vira agar dikirimi kamus Sanskerta untuk dijadikannya panduan medalami Sanskerta. Selama di Indonesia, hampir sebulan Prof. Raghu Vira dijamu dan ditemani oleh Soekarno, baik di Jakarta dan Sumatra. Ketika Prof. Raghu Vira ke Bali, Presiden Soekarno meminta kepada kepala daerah di Bali untuk menjamunya, meminta cendikiawan terbaik Bali menemani selama riset di Gedong Kirtya. Dari Denpasar ke Singaraja diajak melewati Kintamani oleh Resident Bagoes Oka (suami dari Ibu Gedong Bagoes Oka — kakek dan nenek Ratu Ayu Isyana Bagoes Oka, jurnalis yang sekarang aktif di PSI). Seorang tokoh besar dan pakar lontar yang fasih berbahasa Inggeris dan Belanda dari Buleleng bernama I Wayan Bhadra menemaninya selama riset di Gedong Kirtya. Selama di Buleleng ia menginap di rumah Bagoes Oka, dan Prof Raghu Vira 2 kali memberikan kuliah Perbandingan Agama Hindu India dan Bali. Saya membayangkan Ibu Gedong Bagoes Oka kemungkinan bertindak sebagai penterjemah kuliah itu, mengingat Ibu Gedong adalah pengajar bahasa Inggeris dan seorang Gandhian. Profesor Raghu Vira bukan hanya pakar riset Sanskerta, tapi pembicara ulung, yang Soekarno saja terpikat. Saya mendapat kesaksian dari Ibu Gedong dan putranya atas kekagumannya terhadap Prof Raghu Vira, sampai-sampai Ibu Gedog memberi nama putranya nama Vira.
4. Prof Raghu Vira ke Buleleng mencari lontar-lontar berbahasa Sanskerta. Ia memang melanglang dunia melakukan pencarian pada kitab-kitab suci Hindu kuno yang tersimpan dan terselamatkan di berbagai tempat di dunia.
Dari kunjungan ke Gedong Kirtya Prof. Raghu Vira bersaksi bahwa: “The Kirtya collection is also unparalleled.” (Koleksi Kirtya juga tidak tertandingi).
Kutipan catatannya saya terjemahkan dari buku yang ditulis Prof Lokesh Chandra (putra Prof Raghu Vira) berdasarkan catatan tangan yang ditulis Prof Raghu Vira, sebagai berikut :
“Saya telah menghabiskan seminggu di Bali, tanah pesona, permata Indonesia, di mana orang-orang masih menulis dan mengukir di atas lontar, dengan kedalaman jiwa manusia yang unik, menakjubkan, dan saleh berkembang dalam tarian dan perayaan ritual. Barong mengilustrasikan kepada rakyat sederhana yang bersahaja tentang kemenangan kebaikan atas kejahatan. Jika seseorang mencari orang yang artistik sampai ke inti batinnya, inilah orang Bali. Di sini orang dapat melihat kehidupan Jawa Kuno, agama, upacara, relief bergambar di batu, bahkan mendengar lagu-lagu Jawa Kuno”
“Saya mendapat banyak manfaat dari lembaga penelitian, seperti Kirtya Liefrinck van der Tuuk di Singaraja … Koleksinya sudah lama dikumpulkan dan di sini orang bisa mempelajari berbagai aspek seni dan karya sastra… Koleksi Kirtya juga tak tertandingi. Saya merasakan kebutuhan yang besar dari publikasi mereka dalam edisi yang tepat dilengkapi dengan esai kritis…”
“Beberapa koleksi ini bersumber aslinya dari India, jadi wajarlah jika orang India terkesan melihat beberapa dari masa lalu negaranya sendiri dipelihara dengan setia beberapa ribu mil jauhnya”
____
___
5. Di Gedong Kirtya, dengan ditemani I Wayan Bhadra, Profesor Raghu Vira mengumpulkan lontar-lontar Bali berbahasa Sanskerta.
Lontar-lontar penting berbahasa Sansekerta yang dibawa copy dan atau alihaksaranya antara lain: Ślokāntara, Sāra-samuccaya, Saṅ Hyaṅ Mahājñāna, Saṅ Hyaṅ Tattvajñāna, Gaṇapatitattva, Svara-vyañjaya, dll. Lontar-lontar selanjutnya digarap, diterjemahkan dengan sangat detail sebagai kajian disertasi dan buku, dalam bahasa Inggeris oleh putra, putri dan menantunya: Prof Dr. Lokesh Chandra, Dr. Sudarshana Devi, Dr. Sharada Rani, yang kesemuanya pakar-pakar besar ahli Jawa Kuno dan Sansekerta kuliah doktoral di bawah bimbingan Prof. Jan Gonda (1905—1991) profesor bidang Jawa Kuno dan Sanskerta dari Universitas Utrecht dan Leiden, Belanda.
Disertasi, terjemahan dan kajian mereka tersebut menjadikan lontar-lontar Sanskerta di Gedong Kirtya semakin terkenal di dunia peneliti internasional. Para pakar India atau indologist menjadikan karya kesarjanaan mereka sebagai acuan memasuki pemikiran Hindu di Nusantara. Sayangnya, masyarakat Bali dan Indonesia sendiri umumnya kurang serius membacanya.
Belakangan, saya temukan kajian lontar-lontar Sanskerta Nusantara yang dikerjakan oleh Prof Raghu Vira, Dr. Lokesh Chandra, Dr. Sudarshana Devi, Dr. Sharada Rani tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, tapi anehnya, nama penterjemahnya mentereng di sampul buku-buku tersebut. Kalau sepintas orang melihat buku tersebut seolah-olah nama yang tertera pada sampul yang mengerjakan kajian luar biasa tersebut. Padahal nama yang di sampul hanya penterjemah. Nama Prof. Raghu Vira, Dr. Lokesh Chandra, Dr. Sudarshana Devi, Dr. Sharada Rani, tidak ditulis di sampul, hanya dalam pengantar buku oleh penterjemahnya. Sungguh mengherankan. Jika saja nama Prof. Raghu Vira, Dr. Lokesh Chandra, Dr. Sudarshana Devi, Dr. Sharada Rani, ditulis di sampul buku-buku terjemahan tersebut tentu akan berbeda sekali, bisa menjadi penyadaran bagi orang Bali dan Indonesia bahwa para pakar Sanskerta berkebangsaan India papan atas saja tekun-serius, dengan kesungguhan luar biasa mempelajari lontar-lontar berbahasa Sanskerta; kenapa kita abai?
8. Dari mana Prof Raghu Vira mendapat informasi keberadaan lontar-lontar Sanskerta yang disimpan di Gedong Kirtya Singaraja?
Ketika rombongan Rabindranath Tagore datang ke Bali tahun 1927, ikut salah seorang ahli bahasa terbaik India ikut serta. Namanya Suniti Kumar Chatterji. Ia berdiskusi dengan Dr. Goris dan para pakar Belanda dan pedanda di Bali, serta menulis laporan panjang tentang Bali dan lontar-lontarnya dimuat di koran berbahasa Bengali secara bersambung.
Dalam sebuah konferensi penting di India, The Sixth All-India Oriental Conference, Patna, December19, 1930, Suniti Kumar Chatterji berpidato “HISTORICAL AND CULTURAL RESEARCH IN BALI” — isinya tentang keberadaan Gedong Kirtya. Pidato ini sangat berpengaruh pada masyarakat India yang ingin mengenal peradaban Hindu Kuno yang masih murni terwariskan di Bali. Di India sendiri ada yang tidak ditemu dan langka beberapa text dan mantra-mantra yang sebagian tersimpan dalam lontar-lontar di Kirtya. Kesimpulan dari Konferensi Oriental Seluruh India Keenam di Patna tersebut, mengucapkan salam kepada Gedong Kirtya dalam menyelamati sebagai anggota termuda yang memiliki cakupan atau subjek yang terhubung dengan Indologi sebagai subjek penelitian, dan merekomendasikan serta menghimbau kepada semua badan kajian dan organisasi kaum terpelajar di India yang menaruh minat serius dalam studi Kebudayaan Kuno India untuk memberi dukungan sepenuh hati dan kerjasama dengan Kirtya.
Semenjak kunjungan Rabindranath Tagore dan catatan Suniti Kumar Chatterji terpublikasi di India, para peneliti India menjadi bersemangat dan serius menaruh minat dan beberapa datang ke Bali.
9. Setelah percakapan Rabindranath Tagore di tahun 1927 dengan para pedanda dan raja di Karangasem, Gianyar, dan Ubud, Tagore menjanjikan akan mengirim pakar Sanskerta datang ke Bali setelah kunjungannya. Ternyata yang “dikirim” ke Bali adalah Sylvain Levi, pakar Sanskerta terbaik kebangsaan Perancis, yang sebelumnya memang dekat dengan kelompok Santiniketan yang dibentuk Tagore.
Prof Sylvain Levi (SL) datang ke Bali tahun 1928 untuk beberapa minggu melakukan riset yang lebih mendalam terhadap Surya Sewana dan berbagai text Sanskrit di Bali dari berbagai para pedanda dan para pakar terbaik.
Catatan Prof SL penting tentang Bali adalah kesaksiannya melihat adanya kesamaan ritual pedanda di Bali dengan apa yang dilakukan di India yaitu Sandhya Sevana, atau yang dikenal di Bali sebagai Surya Sevana. Tulis Prof. SL:
“lf the traveller happens to be admitted into the house of alocal priest, of a pedanda as they call him, he will witness the same worship that is practised all over India, a regular Sandhya sevana; he will hear Sanskrit mantras recited in the Indian fashion, with the regular Indian accompaniment of mystic gestures, mudras”
(Jika pelancong kebetulan diterima di rumah pendeta lokal, pedanda panggilan bagi mereka, ia akan menyaksikan pemujaan yang sama yang dipraktikkan di seluruh India, Sandhya sevana yang umum; ia akan mendengar mantra Sansekerta diucapkan dengan gaya India, dengan iringan gerakan mistik India yang umum, disebut mudra).
Catatan lainnya:
“The prime and chief interest of the documents I am editing here lies in the fact that they are a kind of holy relics of the time, long passed away, when Indian civilization had spread over the Indian Archipelago”
(Kepentingan utama dari dokumen-dokumen yang saya edit di sini terletak pada kenyataan bahwa text-text ini adalah sejenis relik suci waktu, waktu yang lama berlalu, ketika peradaban India telah menyebar di Kepulauan Hindia).
10. Hasil riset Sylvain Levi atas lontar-lontar mantra kependetaan di Bali tersebut kemudian dipublikasikan sebagai buku dengan judul “Sanskrit Text from Bali (1933).
Hasil penelitian ahli Weda dan pakar Sansekerta dunia terbaik di zamannya ini — yang saya yakin datang ke Bali atas dorongan Rabindranath Tagore karena mereka berteman— mengundang minat besar para pakar India untuk memperlajari kitab-kitab lontar di Bali. Tercatat datang ke Bali dan menetap Pandit Shastri, disusul Prof Raghu Vira datang untuk mengumpulkan lontar-lontar Bali berbahasa Sanskerta dan dijadikan kajian oleh Prof Lokesh Chandra, Sudarshana Devi, Sharada Rani, dkk membawa pengaruh penting terhadap cendekiawan Bali dan para pengurus Gedong Kirtya. Para cendekiawan seperti Tjokorde Rai Sudharta, I Gede Sura dll, membaca kembali lontar-lontar Bali berdasarkan perbandingan Sanskerta dalam lontar-lontar Bali yang ditemukan oleh Sylvain Levi dan Raghu Vira dkk.
11. Buku karya “Sanskrit Text from Bali” (1933) ini sangat penting bagi perkembangan keagamaan di Bali mengingat para sarjana agama, seperti I Gde Pudja, Tjokorde Rai Sudharta, I. B. Oka Punia Atmaja, dll mempelajari dan menyadur buku ini kemudian diterbitkan pada saat Eka Dasa Rudra tahun 1963 dengan aksara Bali (diubah dari versi Sylvain Levi yang beraksara Dewanagari). Saduran ini beredar secara terbatas bagi pandita dan pemuka adat di Bali, bahkan kemudian disalin ke dalam bentuk lontar — salinan lontar dari buku ini tersimpan di Pusat Dokumentasi Bali. Isinya mencakup pedoman sembahyang bagi pendeta Siwa dan Buddha di Bali, disertai Narayana Upanisad atau umumnya dikenal sebagai Weda Sirah. Demikian juga buku-buku dan disertasi serta artikel yang ditulis oleh Prof Raghu Vira, Lokesh Chandra, Sudarshana Devi, Sharada Rani, dkk, menjadi inspirasi besar para tokoh Bali yang serius dari Prof Rai Sudharta, Prof Mantra sampai generasi I Gede Sura dkk — yang kesemuanya tidak berlebihan bisa dikatakan berangkat dari titik tolak pengetahuan Bali kuno yang tersimpan dalam bentuk lontar yang dikoleksi oleh Gedong Kirtya.
12. Gedong Kirtya yang terletak di jantung kota Singaraja, Buleleng, adalah salah satu titik terpenting dalam kepustakaan manuskrip Sanskerta di dunia yang ada di luar India. “The Kirtya collection is also unparalleled.” seperti kata Prof Raghu Vira. Lalu, kenapa lontar-lontar Sansekerta dan berbagai lontar-lontar periode kejayaan kerajaan Hindu-Buddha Nusantara bisa berkumpul di sini? Secara resmi semenjak Juni 1928, dan secara tidak resmi sudah bergerak jauh sebelumnya dilakukan oleh va der Tuuk dan Liefrinck , para pedanda dan para peneliti Belanda mengumpulkan salinan lontar-lontar dibantu para raja dan cendikiawan Bali. Hasil pengumpulan lontar-lontar itulah yang kini tersimpan di Gedong Kirtya. Koleksi lontar-lontar Gedong Kirtya akan saya bahas pada kesempatan lain.
13. Kenapa Kirtya dibangun?
Kilas balik pendirian Gedong Kirtya adalah dua tokoh kunci: Herman Neubronner van der Tuuk (23 February 1824 – 17 August 1894) dan F.A.Liefrinck (1853–1927) yang telah bekerja sebagai petugas dan pejabat pemerintahan kolonial Belanda mengumpulkan data dan mengkoleksi lontar-lontar di Lombok dan Bali. Dari usaha rintisan mereka berdua ini kemudian dilanjutkan dengan membentuk team kurator pembentukan perpustakaan lontar. Para Resident Bali dan Lombok. Pemikir dan pendeta, antara lain: I Goesti Poetoe Mahajoen, Tjokorda Gdé Raka Soekawati, Ida Njoman Dangin, Ida Bagoes Tantra,Padanda Gdé Anom Manoeaba, Padanda Gdé Ketoet Boeroean, Padanda Gdé Pamaron, Anak Agoeng Anom, I Njoman Kadjeng, Raden Soedjono, I WAJAN BHADRA, Dr. C. HOOYKAAS, dll.
Hooykaas bersaksi bahwa pariwisata dan pembukaan jalan di Bali tahun 1920-an telah membuat banyak orang Bali menjual lontar ke para wisatawan ketika itu.
“Setelah pembangunan jalan dikeraskan dan dibangun jembatan besi di Bali, pembangunan hotel di Denpasar, dan pasanggrahan di perbukitan di Kintamani oleh KPM, para wisatawan mulai mengunjungi Bali. Mereka menunjukkan bahwa mereka (para wisatawan) sangat tertarik dengan naskah-naskah lontar yang ditawarkan orang Bali untuk dijual. Pada tahun 1928, Pemerintah menyadari keadaan tersebut, membentuk sebuah yayasan (Kirtya) untuk pelestarian lontar-lontar Bali. Sebuah bangunan tiga kamar didirikan di sudut halaman puri Anak Agung Bulèlèng, dia sendiri seorang kolektor lontar yang rajin. Di satu ruangan tempat para penyalin bekerja, di ruang kedua salinan mereka disimpan, dan yang ketiga disediakan untuk pembaca yang tertarik, yang datang dengan kunjungan yang tetap, seperti yang saya saksikan hampir setiap hari selama lebih dari dua tahun (Agustus 1939 hingga Desember 1941). Tak pelak lagi ribuan pengunjung Bali mendapat kesempatan ke ruang baca, meskipun mungkin kurang dari satu peneliti asing dalam setahun menggunakan fasilitas yang ditawarkan oleh Kirtya.”
“Selama kira-kira enam tahun Kirtya menerbitkan sebuah majalah yang membahas tulisan orang Bali secara berkala untuk para intelektual Bali. Majalah ini bernama Bhawanagara, ditulis dalam bahasa Melayu dan Bali. Mededeelingen yang berbahasa Belanda, yang juga meliput topik Bali, mencapai 14 edisi.”
Prof Hooykaas menyaksikan dibangunnya Gedong Kirtya sebagai perpustakaan lontar menjadi bukti bahwa lontar-lontar suci di Bali boleh dibaca dan diakses, dipegang dan disalin oleh semua golongan orang Bali. Tidak ada batas umur atau batas golongan atau latar belakang keluarga dan turunan. Semua orang Bali bisa dan bebas membaca lontar-lontar suci di Gedong Kirtya.
“Dari pengenalan pribadi dengan lontar-lontar yang dikumpulkan di bawah bimbingan mereka lebih dari empat puluh tahun yang lalu saya tahu bahwa persentase lontar-lontar Bali berisi tentang ritual, agama dan filosofi / metafisika, yang dapat diakses oleh semua pengunjung setiap saat, yang cukup besar. Tidak ada yang disembunyikan atau dirahasiakan.”
Salah satu alasan dibangun Kirtya adalah untuk penyelamatan lontar-lontar Bali agar tidak ambyar dan buyar kemana-mana diperjualbelikan oleh orang Bali ke para wisatawan yang meminati lontar-lontar. Ketika itu memang sedang tumbuh berkembang pariwisata Bali, yang mulai ramai, karena semenjak tahun 1914 secara resmi pemerintah Belanda membuka Pulau Bali sebagai pulau tujuan wisata dalam kebijakan pemerintah mereka.
14. Apa kontribusi Gedong Kirtya bagi Bali dan dunia?
a. Gedong Kirtya menjadi momentum terbukanya khazanah lontar Bali bagi semua masyarakat, terbuka umum. Tidak ada yang ditutupi lagi, semua masyarakat bisa memegang dan membaca lontar. Gedong Kirtya telah melenyapkan paradigma lama bahwa lontar dulu dianggap tenget dan magis, atau terlarang bagi kelompok di luar pendeta atau balian dkk, menjadi tidak berlaku lagi. Semenjak Gedong Kirtya ribuan masyarakat Bali, khususnya Buleleng, membaca dan menyalin lontar-lontar secara terbuka. Semua golongan tidak ada batasan membaca lontar. Tidak pandang usia dan latar belakang, semua gugon-tuwon bubar: Lontar-lontar suci kependetaan dan mantra-mantra suci bisa diakses oleh siapa saja, sepanjang punya kemampuan dasar yang tangguh untuk mampu membaca dan paham bahasa Sanskerta dan Jawa Kuno.
Adanya omongan atau kepercayaan keliru bahwa lontar tidak dibaca atau tidak boleh disentuh dipelajari masyarakat umum telah digugurkan oleh kehadiran Gedong Kirtya dengan koleksinya. Jasa Kirtya terbesar bagi masyarakat Bali adalah “mematahkan gugon tuwon” kalau lontar-lontar tidak bisa dipelajari masyarakat umum. Kirtya adalah monumen keseteraan dalam akses pengetahuan tradisional: Pengetahuan Sanskerta yang mengandung kandungan pengetahuan Wedanta, Upanisad, Purana, Itihasa, Parwa dan Kanda, yang diwarisi dan telah dijalankan tercatat dari minimal dari abad 8 di Bali berdasar temuan prasasti dan stempel mantra.
b. Lontar-lontar koleksi Gedong Kirtya menjadi rujukan utama penyusunan dan pedoman Parisada dan para pemuka agama atau sulinggih untuk menyusun buku-buku pengajaran dan penyuluhan Agama Hindu dari semenjak dibentuknya Parisada. Sebelumnya pun telah menjadi rujukan para pendeta di Bali dalam mempelajari dan memetakan prinsip-prinsip keagamaan di Bali. Menjadi rujukan kehidupan pengembangan sastra Kakawin, Kidung, dan berbagai pendukung kegiataan pemantapan nilai-nilai keagamaan di Bali. Semenjak berdiri Kirtya keterbukaan dan keinginan masyarakat Bali untuk belajar tradisi tulis atau literatur kuno menjadi meningkat drastis dan ini membantu dalam perumusan Agama Hindu di era kemerdekaan dan awal terbentuknya Parisada.
C. Koleksi Kirtya menjadi sumber-sumber mempelajari pemikiran filsafat, etika, sejarah kerajaan, teologi, sastra dan lingustik bagi para peneliti dunia dan masyarakat Bali, dari sebelum kemerdekaan dan sampai kini.
15. Jika Prof Suniti Kumar Chatterji dan Tagore serta rombongan, Prof Raghu Vira, Prof Lokesh Chandra, Dr. Sudarshana Devi, Dr. Sharada Rani, para pakar Sanskerta papan atas India saja “belajar Sanskerta” dan agama Hindu ke Gedong Kirtya Buleleng, apakah berlebihan jika judul catatan ini: JANGAN BELAJAR KE INDIA SEBELUM KE GEDONG KIRTYA BULELENG?
*Catatan Harian Sugi Lanus, 5 September 2020. Sebagian isi catatan ini sempat saya presentasikan dalam seminar “The Life and Legacy of Tagore”, Hanoi, 9-10 November 2010. Saya menulis catatan untuk ucapan terima kasih teruntuk Bunda Supriya Roy, seorang penjaga tulisan-tulisan tangan Rabindranath Tagore selama lebih dari sebagian hidup beliau, yang telah menterjemahkan surat-surat Rabindrantah Tagore yang ditulis dari Bali, mempublikasikannya, dan secara pribadi memberikan softcopy surat-surat berharga tersebut — beliau memperlakukan saya sebagai anak, dan saya memanggil beliau Ibu, ibu saya tentang Santiniketan. Catatan ini juga ucapan terima kasih mendalam saya untuk Profesor Lokesh Chandra beserta keluarga, terutama mendiang ayah beliau Profesor Raghu Vira, sekalipun tidak pernah berjumpa dengan beliau, tapi saya memetik pengetahuan luar biasa mendalam dalam belajar Sansekerta dari pengenalan beliau atas lontar-lontar Bali terkait Sanskerta yang dibukukan menjadi buku: Svara-vyañjaya. Tentunya juga terjemahan dan kajian dari Prof Lokesh Chandra beserta kajian Sharada Rani (mendiang istri beliau), dan Sudarshana Devi (sadari beliau).