Pura Bale Agung atau Pura Desa dalam formulasi Hindu Bali kekinian dikonsepsi sebagai tempat suci pemuliaan Tuhan dalam menifestasinya sebagai Dewa Brahma. Namun, saya kebingungan menjawab pertanyaan sederhana, palinggih mana di Pura Bale Agung di desa saya yang didedikasikan sebagai pemuliaan Dewa Brahma.
Ceritanya bermula saat pandemi Covid-19 datang dan membubarkan kelas-kelas di sekolah. Demi keamanan, siswa terpaksa belajar di rumah yang kemudian menjadi “petaka baru” bagi orang tua siswa. Kebijakan belajar dari rumah ini memang melelahkan, sebab memaksa orang tua—atau orang yang dituakan—turut berperan sebagai guru kelas bagi setiap anak. Orang tua dituntut mampu menjelaskan semua pelajaran yang diterima siswa di sekolah, mulai dari ilmu-ilmu eksakta hingga humaniora. Mulai dari matematika yang hasilnya pasti, hingga bahasa Mandarin yang bahkan tak pernah dipelajari orang tua.
Saya sendiri merupakan “korban” kebijakan belajar dari rumah. Selain sebagai mahasiswa yang belajar via daring, saya sering ditodong untuk dapat menjadi guru bagi sejumlah bocah di sekitar rumah. Padahal, dari sisi kepribadian saya terkenal sebagai orang yang kenyat. Artinya, saya sejatinya sangat tidak representatif untuk menjadi pembimbing belajar, khususnya bagi anak-anak yang perlu “dihadapi” dengan pendekatan halus dan lembut. Hanya saja, karena saya dianggap paling banyak memiliki waktu luang dibandingkan orang tua mereka, maka saya tak dapat mengelak apalagi menolak membantu mereka belajar.
Pada suatu ketika, seorang anak mendapat pelajaran Agama Hindu tentang tempat suci. Kebetulan saya masih cukup ingat konsep-konsep yang dijelaskan oleh sejumlah guru agama beberapa tahun silam. Awalnya kami belajar cukup lancar, hingga pertanyaan sederhana terlontar saat kami belajar tentang Pura Kahyangan Tiga. Anak yang menjadi murid dadakan itu dengan wajah polosnya bertanya, “di mana palinggih Dewa Brahma di Pura Desa kita?”
Saya mengerutkan dahi atas pertanyaan sederhana itu. Saya tak mampu dan berani memberikan jawaban, takur menyesatkan. Sebab, sepanjang pembacaan saya terhadap tanda-tanda di Pura Desa, tak pernah sekali pun saya temukan ada stana Dewa Brahma di sana. Artinya konteks yang ada di lapangan tidak sesuai dengan teks yang dituliskan di dalam buku ajar. Terdesak oleh pertanyaan seorang bocah polos itu, saya akhirnya mengeluarkan jurus mengalihkan pembicaraan sembari membuka kembali lembaran-lembaran tentang konsep Kahyangan Tiga yang dapat dijangkau.
Ketimpangan Konsep dan Realita
Gugatan tentang Pura Desa atau Pura Bale Agung sebagai stana Dewa Brahma dalam pengalaman pembacaan saya dimulai beberapa tahun lalu. Ketika itu, teks Kuttara Kanda Dewa Purana Bangsul memberikan wacana alternatif tentang konsep pemujaan Kahyangan Tiga yang ada di Bali. Teks Siwaistik ini memang tak menyebut Bale Agung sebagai stana Brahma, namun sebagai stana Bhatara Guru. Apakah kemudian entitas Bhatara Guru yang merujuk pada Hyang Pasupati disepadankan dengan Brahma? Saya tak berani menyimpulkan terlalu dini.
Jika dibandingkan, fungsi-fungsi yang dimiliki Brahma sebagai manifestasi Tuhan dalam tugasnya menciptakan semesta memang tampak memiliki persinggungan yang cukup banyak dengan entitas Bhatara Guru atau Hyang Pasupati. Merujuk sejumlah teks, seperti Usana Bali, beberapa kakawin, serta berbagai babad, Hyang Pasupati dituturkan sebagai asal mula Bali. Sosok ini secara mitologis dipandang sebagai Bhatara Kawitan, lantaran telah mencipta bumi [Bali] bersama manusianya melalui tapa yoga.
Hyang Pasupati di masa bahari dikisahkan telah memenggal puncak Gunung Mahameru untuk menyelamatkan Bali dari keterombang-ambingan. Kedua penggalan puncak gunung itu kemudian dibawa dengan kedua tangannya. Potongan yang dibawa dengan tangan kanan selanjutnya menjadi sebuah gunung yang begitu besar, yang puncaknya berhiaskan segala permata intan. Itulah Gunung Agung, pusat orientasi spiritual manusia Bali saat ini. Sementara itu, potongan yang dibawa dengan tangan kirinya menjadi sebuah gunung yang tidak terlalu besar, tapi memiliki daya energi panas bumi yang begitu dahsyat. Atas daya dahsyat yang dimilikinya, ia disebut sebagai Hyang Apui. Kini terkenal sebagai Gunung Batur.
Jasa-jasa Bhatara Guru dalam mengharmoniskan Pulau Bali tak berhenti hanya di tingkat ekologis. Setelah menstabilkan lingkungan Bali, langkah selanjutnya adalah menguatkan batin manusia Bali dengan menurunkan para putra dewata dan juga para rsi untuk mengajarkan ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan. Pada akhirnya, merekalah yang dinobatkan oleh masyarakat Bali sebagai manifestasi Tuhan dengan segala fungsinya.
Putra Hyang Pasupati yang memiliki kuasa atas tumbuh-tumbuhan tersohor dijunjung sebagai Hyang Tumuwuh. Beliau yang ibarat Mahadewa berstana dan dihormati di Gunung Batukaru. Putra Hyang Pasupati yang berkuasa atas sawah (swi kreti) bergelar Hyang Jaya Sadana dan berstana di Pura Rambut Pakendungan. Putra Hyang Pasupati yang menyusun ajaran mistis Gagelaran Kasakteng Kawisesan Maya Sandhi sebagai anugerah Bhatara Samodaya bergelar Hyang Mpu Mahameru. Demikian seterusnya dijelaskan satu per satu.
Berlandas pada jabaran teks tersebut, penyebutan nama dewa-dewi ala Weda sebagaimana yang terkonsep dalam struktur pengetahuan Hindu Bali kekinian tampak sangat minim dilakukan. Justru, yang banyak ditemukan adalah pengandaian-pengandaian sosok bhatara “bercita rasa lokal” sebagai dewa menurut fungsinya di dalam teks Weda. Misalnya, Hyang Narakresna ibarat Wisnu, Hyang Tugunatha ibarat Brahma, Hyang Manik Gumawang ibarat Sangkara, Hyang Danawa ibarat Siwa, dan seterusnya.
Konsep tersebut sejatinya merupakan local genius masyarakat Bali yang memformulasi pemujaan berbasis lingkungan. Leluhur terdahulu tampaknya memiliki konsep analogi yang brilian untuk menjabarkan uraian teks ke dalam konteks sesuai lingkungan alam yang cocok dengan cita rasa dan nafas Bali. Lalu, ketika di era ini ada arus yang sekan menghimpit bahkan berupaya menggantikan konsep hasil formulasi ribuan tahun itu, dapatkah ia bersesuaian dengan alam fisik dan alam pikir manusia Bali?
Ruang Pertemuan
Saya memiliki dugaan yang kuat bahwa Pura Desa atau Pura Bale Agung pada masanya adalah tempat pertemuan. Namanya saja Bale Agung yang artinya balai yang besar. Pertemuan yang dimaksud dapat berupa pertemuan niskala para bhatara maupun pertemuan sekala masyarakat desa. Asumsi ini muncul setelah pengamatan terhadap bangunan-bangunan suci yang ada bersama fungsi-fungsinya.
Puncak yadnya di Pura Bale Agung Batur diadakan pada Purnama Badrawada atau Sasih Karo. Perayaannya disebut sebagai Ngusaba Desa. Ketika yadnya digelar, seluruh pralingga atau arca yang kami puja turun kabeh dan disatukan pada Bale Palinggih yang ada di hulu Bale Pasamuhan. Saban dua tahun sekali, yakni setiap tahun Saka ganjil, usai pelaksanaan yadnya selama tiga hari di pura tersebut, rangkaian ritus Ngusaba Dimel dilanjutkan. Ketika Ngusaba Dimel, seluruh arca akan diarak mengelilingi Gunung Batur dengan putaran melawan arah jarum jam.
Naskah Pangeling-eling Wong Batur lembar 28a-30a sebagai bagian dari naskah Raja Purana Pura Ulun Danu Batur,menyebut sejumlah bhatara yang patut dihormati selama rangkaian yadnya pada Bulan Badrawada di Bale Agung. Para bhatara itu adalah Ida Ratu Bhatara Sri, I Ratu Ulun Bale Agung, I Ratu Rambut Sedana, I Ratu Pahumbukan, I Ratu Ayu Solas Lubang, I Ratu Suara, I Ratu Bhatara Guru, dan I Ratu Hyang Surya-Candra. Dari deratan nama bhatara ini, tak satu pun menyebut Bhatara Brahma.
Dari sisi bangunan suci yang ada, kawasan Pura Desa terdiri dari beberapa bangunan palinggih. Strukturnya memang tak bisa disamakan dengan tatanan Pura Desa di desa-desa lainnya di Bali. Ketika desa adat pada umumnya memiliki satu buah Bale Agung, di desa kami ada dua buah Bale Agung. Di sebelah kanan, yang bentuknya sedikit lebih besar adalah Bale Agung Badanginan, sedangkan di sebelah kiri, yang bentuknya sedikit lebih kecil merupakan Bale Agung Badawanan.
Keberadaan dua Bale Agung ini pada tatanan selanjutnya terkait dengan ulah tegak atau tata linggih—tananan klasifikasi sosial—masyarakat adat. Masyarakat Batur tidak dibagi berdasarkan kasta atau wangsa, namun hanya dipilah sebagai krama badanginan dan krama badawanan. Klasifikasi tersebut lebih pada pembagian tugas dan tanggung jawab. Pada level paduluan atau karaman –tingkatan tetua desa—seorang badanginan memiliki tanggung jawab yang lebih banyak ke bidang parahyangan desa atau aktivitas-aktivitas ke hulu. Sementara itu, seorang badawanan tugas-tugasnya terkait dengan pawongan dan palemahan atau aktivitas-aktivitas ke teben.
Seorang tetua kami pernah menyatakan, Bali Agung pada awalnya adalah tempat rapat para paduluan atau karaman desa. Bentuknya yang memanjang mendukung konsep tersebut. Di desa-desa kuno lainnya di Bali, misalnya di Tenganan Pagringsingan dan Sukawana, pola itu masih ditemui. Hanya saja, saya agak bingung, di Batur kedua bangunan itu tidak digunakan sebagai tempat rapat para paduluan, melainkan murni diwujudkan sebagai bangunan suci.
Selain ada dua Bale Agung, di areal pura ini juga terdapat palinggih yang ditujukan pada sejumlah bhatara dengan gelar dalem serta sebuah Bale Pasamuan. Pasamuan artinya dengan rapat, sehingga Bale Pasamuan tidak lain adalah tempat rapat, sedangkan dalem artinya raja. Bhatara-bhataratergolong dalem meliputi Dalem Maspahit, Dalem Mas Siem, Dalem Mekah, Dalem Madura, dan Dalem Pasamuan. Khusus yang terakhir, saya menduga sebagai gelar keseluruhan bhatara-bhatara itu.
Uraian naskah Pangeling-eling Wong Batur halaman 39b-40a, menjelaskan bahwa beliau-beliau ini datang ke Bali pada purnama Saptamaga (kapitu). Saat itu akan datang bhatara dari Mekah, Siem, Pasamuan, Dalem Pengungkungan, Dalem Labahan, sehingga masyarakat wajib mempersembahkan pangayu-ayu. Kepada Bhatara Dalem Mekah dihaturkan bebek rempah maserotutu, nasi duang cupak lengkap pangahiepsaha, tumpeng pangejeroan, ayam panggang, tumpeng pangahepsaha telung danan, seekor ayam, dua butir telur. Sedangkan, pada I Ratu dari Siem dipersembahkan di pasamuan, pada Ratu Maspahit dipersembahkan bebek telung jero yang diolah maserotutu, nasinya masing-masing duang cupak, tiga ekor ayam, tiga butir telur, pangejeroan lengkap pangahepsaha. Semua sarana itu didoakan oleh [Jero] Balian Desa.
Setelah kedatangannya, para bhataraitu akan tinggal selama tiga bulan. Mereka baru kembali ke kahyangan masing-masing pada tilem Kadasa, melalui bakti patetami atau ngantukang ida bhatara. Tentang bhatara–bhataraitu, kita bisa bicarakan di kemudian hari. Namun, ada asumsi jika Ida Dalem Mekah merujuk pada raja yang berkuasa di Mekah, Ida Dalem Siem merujuk raja yang berkuasa di Siam—Thailand saat ini, Dalem Maspahit adalah raja Majapahit, Dalem Madura adalah raja Madura—ada yang juga menduga raja Matura, India. Dengan demikian, ada kemungkinan jika dahulu kala terjalin hubungan internasional yang memadai antara para penguasa dunia dengan daerah kami. Pesan penting lainnya, para pemimpin-pemimpin dunia ini dihormati selayaknya pemimpin di Bali, membongkat tembok ras, suku, bahkan juga agama.
Di areal pura Bale Agung turut terdapat Palinggih Hyang Suara, yakni kentungan suci yang begitu dikeramatkan masyarakat. Kentungan suci ini ditabuh saban fajar sebanyak 45 kali, sebagai tanda bergantinya hari. Selain itu, kentungan suci ini juga dibunyikan ketika digelar upacara numpek dan mapragat—pernikahan—masyarakat. Pembunyian kentungan menjadi pengecualian ketika ada masyarakat desa meninggal dunia. Konon, kentungan suci ini merupakan lonceng yang patangi (pembangun) Ida Bhatari Sakti. Masyarakat memiliki kepercayaan tidak akan berani keluar desa sebelum kentungan ditabuh antara pukul 04.00-05.00 WITA. Jika melanggar, berpeluang menimbulkan hambatan dan musibah di tengah perjalanan. Oleh karena itu, bunyi kentungan ini pada akhirnya juga dimaknai sebagai anugerah dan perlindungan Ida Bhatari Sakti kepada masyarakatnya jika ingin bepergian ke luar desa.
Pura Bale Agung sebagai penanda tempat pertemuan semakin dikuatkan dengan pelaksanaan sejumlah ritus yang dilakoni dan dijaga masyarakat kami hingga kini. Ritus-ritus itu misalnya bhakti mainoman, numpek, hingga ngaturang ketekan. Bhakti mainoman semacam pelaksanaan ritual magibung yang digelar masyarakat dalam rangkaian upacara ngusaba. Numpek dilakukan setiap hari tumpek yang jatuh pada pertemuan Sabtu-Kliwon setiap bulannya. Esensi numpek sejalan dengan sangkep (rapat), yang dikuatkan praktik ngaturang kuskus (kue ketan)secara bergiliran oleh para pamangku dan prawalen.
Setiap pelaksanaan Ngusaba Desa pada bulan Badrawada, penduduk desa adat wajib mempersembahkan ketekan. Ritus inisemacam sensus tahunan yang digelar untuk mendata jumlah penduduk desa. Selama tiga hari upacara digelar setiap keluarga wajib menghaturkan uang kepeng sejumlah anggota keluarganya. Uang kepeng pada hari terakhir akan dihitung, yang menjadi referensi perkembangan jumlah penduduk desa adat setiap tahunnya.
Sampai di titik ini, tanda-tanda yang terbaca dari Pura Bale Agung semakin jelas menggiring fungsi pura ini—khususnya di desa saya—sebagai areal rapat atau paruman. Bahkan jika tafsiran lebih dibebaskan, tanda-tanda yang membangunnya cenderung mengindikasikan Pura Bale Agung sebagai sekretariat desa. Konsepsi Pura Desa sebagai stana Dewa Brahma dengan sangat menyesal belum didukung data-data yang kuat. Tapi, tidak menutup kemungkinan konsep itu diformulasikan menurut konsep penyepadanan. Artinya, entitas bhatara di Pura Bale Agung yang cenderung mewujud sebagai penguasa atau pemerintah, sejalan dengan fungsi-fungsi Dewa Brahma sebagai pencipta alam semesta. Apakah itu termasuk sepadan?