Malam itu, Grudug membuat janji bertemu dengan teman-teman SMA-nya di sebuah angkringan. Di sana mereka berbicara tentang pandemi, tentang kegiatan yang lama di dalam rumah saja, bahkan pendapat mereka tentang pandemi dibicarakan hingga berbuih-buih. Tapi pembicaraan yang menampar Grudug membuat segala obrolan menjadi tak menarik baginya: dampak keuangan mereka.
Di antara riuh obrolan teman-temannya yang terus berlanjut, terasa lama sekali Grudug tidak berpendapat apa-apa, padahal sebelumnya dia yang paling banyak gembar gembor masalah pandemi itu. Rupa-rupanya, ia memaku wajah lesunya tanpa ada yang membeperhatikan. Obrolan mengenai dampak keuangan membuat ia teringat kembali dan menyesali ceramah yang pernah ia berikan pada adiknya. Mengapa ia menyesal?
Kala itu, adiknya selalu saja sibuk bermain HP. Dengan jahil, Grudug mengintip pekerjaan adiknya, “jangan-jangan ia melakukan hal yang aneh-aneh” pikir Grudug dengan harapan dapat menghindari adiknya dari kegiatan buruk. Setelah berhasil mencari celah di antara pintu kamar adiknya, terdengar suara teriak-teriak kecil. Grudug semakin penasaran. Hingga dia mengambil kursi untuk melihatnya dari lubang ventilasi. Ketahuanlah apa yang dilakukan adiknya.
Adiknya sedang berbaring di atas Kasur. Badannya setengah duduk. Di depannya ia memegang HP dengan miring dan headshet besar terpasang di telinganya. Ia sibuk bermain game. Grudug merasa kesal, pasalnya suara kecil itu sering terdengar, bahkan ketika Grudug begadang, suara teriakan kecil itu terdengar lebih jelas, membuatnya takut, dan terbayang hal aneh lainnya.
Langsung saja, pintu digedornya berkali-kali. Tak dijawab. Ia memukul lebih keras lagi. Berkali-kali, hingga adiknya terkejut. Dibukakanlah pintu itu, lalu dengan lugu adiknya bertanya, “Ada apa?” Tanpa basa-basi Grudug menarik tangan adiknya. Disuruhnya duduk dan menanggalkan headshet serta meletakkan HP.
Kali ini melanjutkan ingatan pun membuat Grudug geli sendiri. Menyesal. Ketika itu, ia menceramahi adiknya yang sibuk main game. Dengan gagah ia bahkan mencontoh dirinya, “Makanya tiru aku” katanya sambil menepuk dada.
Sebenarnya, apa yang Grudug ceramahi pada adiknya, tak dipahami sama sekali. Adiknya hanya manggut-manggut dengan memasang wajah kecut. Tapi, begitu mendapat kesempatan, adiknya langsung membalas, “Aku ngasilin uang dari game ini, kau mana? Minta uang aja kerjanya”.
Merasa tersinggung Grudug berusaha mengendalikannya, “Kalau masih sekolah dan mau kuliah, memang waktunya untuk minta uang, tugasmu belajar, baca buku yang banyak. Bukan main game melulu. Sekarang bisa menghasilkan dari game, tapi besok masih bisa? Nanti tamat, aku akan menghasilkan banyak uang, bukan dari game, tapi dari kecerdasanku!” katanya sambil mendongakkan dagu runcingnya.
“Aku memang gak sengaja dapat uang. Tapi aku bersenang-senang, eh, dapat uang. Emang kamu, senang-senang dengan buku tapi gak dapat uang,” tangkas adiknya.
Dalam hati, Grudug merasa semakin kesal. Kali ini ia tak bisa mengendalikan kesal itu, nada suaranya meninggi, “Berhenti main game, itu gak bagus,” Grudug diam sejenak. Hening. Kemudian dilanjutkan, “Pokoknya itu kegiatan jelek, gak ngasilin apa-apa”.
Obrolan bersama adiknya itu berlangsung tiga tahun lalu. Sialnya, pandemi tiba, adiknya makin sibuk main game. Tapi yang paling sial dari kejadian itu menurut Grudug adiknya semakin masif main game, uang semakin banyak. Sementara Grudug, masih sibuk memikirkan cara menghentikan adiknya main Game.
Berhari-hari, selalu ia menyempatkan diri berpikir bagaimana cara membuat adiknya berhenti kecanduan game. “Kalau memutus bayi kecanduan susu kan gampang, oleskan yang pahit-pahit ke susu ibunya, maka kebiasaan menyusu perlahan akan hilang. Tapi kalau kebiasaan game, apa yang bisa aku lakukan?” pikirnya, tanpa ketemu pemecahan.
Masih sibuk memikirkan itu, Grudug melewati hari-harinya sambil diam-diam menyelipkan buku di kamar adiknya. Hingga hari-hari di rumah saja berakhir, belum juga ketemu solusi untuk membuat “kecanduan” itu hilang. Sementara adiknya sendiri semakin serius main game dan mampu membeli beberapa alat yang harganya cukup mahal dari hasil main game. Katanya ia mau jadi youtuber game yang serius. Buku yang diselipi Grudug pun bertumpuk, berdebu di pojok kamar adiknya.
Grudug terkejut, tangan temannya menepuk bahunya. “Hee!” sapa temanya. Seperti baru bangun dari tidur, ia keranjingan menatap satu per satu wajah temannya yang Nampak kebingungan. Grudug berusaha mengingat, obrolan terakhir yang masih ia sadari.
Sambil menarik naps, ia merasa sedikit lega karena obrolan terakhir itu diingat tentang satu per satu teman-temannya dirumahkan oleh pihak tempatnya bekerja. Rata-rata mereka sudah bekerja setelah tamat kuliah, dan kini diberhentikan. Mereka semua kena dampak pandemi. Mereka menyesal memberanikan diri mencicil rumah, mencicil mobil, bahkan ada yang mencicil biaya nikah dan kini tertatih-tatih membayar cicilan itu.
Tapi, karena mereka adalah teman-teman SMA, jadi tak ada yang tahu banyak satu sama lain. Makanya, ketika itu pula temannya bertanya, “Kau kena dampak? Kok gak lesu kayak kami”
Dalam situasi yang belum kembali pulih dari lamunannya, Grudug tergesa-gesa menjawab, “Enggak, kan bapak-ibuku PNS!”
“Bukannya kau sudah tamat 3 tahun lalu?” sambar temannya dengan wajah kecut seperti es jeruk tanpa gula yang masih utuh tak ia minum.