Syafii Maarif ketika menulis orasi ilmiah dalam acara Nurcholish Madjid Memorial Lecture mengutip satu pandangan menarik dari Bassam Tibi tentang politik identitas diaspora Muslim di Eropa. Dalam pandangan Tibi, ada dua kemungkinan yang akan berlaku dalam hubungan Eropa dan Islam.
Pertama adalah proses pengeropaan Islam dan kedua pengislaman Eropa. Di sini Tibi memilih yang pertama yakni pengeropaan Islam, karena memang itu yang paling masuk akal dan realistik. “Namun tak dipungkiri ada kelompok politik identitas Islam yang justru memperjuangkan opsi yang kedua—sebagai kelanjutan dari gagasan dar-islam periode klasik yang mempengaruhi prilaku sebagaian orang Islam masa sekarang,” tulis Maarif.
Maka dari itu, lanjut Maarif, jika opsi kedua ini terus dipegang, maka bentrokan berdarah tidak mungkin dapat dihindarkan. Sebab, pada dasarnya prikologi orang Eropa masih belum rela menerima kehadiran Islam di kalangan mereka.
Berangkat dari pandangan Tibi dan komentar Maarif tersebut, saya teringat pandangan Gandhi tentang perbedaan Jesus dan kebudayaan barat. Pertanyaan pejalan Nir-Kekerasan ini sangat sederhana, tentunya berhubungan juga dengan pandangan Tibi di atas.
“Bila agama Kristen memiliki pesan universal, mengapa ia harus disampaikan melalui bahasa Barat, dalam pengertian sejarah Barat dan dalam bentuk sudut pandang Barat?
Pertanyaan yang sederhana ini ternyata merangsang orang-orang Kristen di Asia menghadapi tantangan untuk mencari identitas Kekristenan mereka. Akibatnya, jalan menuju keaslian kekristenan Asia menuntun ke arah khusus untuk melakukan inkulturasi, kepada dialog antaragama dan pada solidaritas dari mereka yang tertindas.
Tidak heran bila Kekristenan di Asia, termasuk Indonesia tetap mengadopsi identitas dan budaya lokal setempat. Di sini ternyata pandangan Gandhi menjadi penting—untuk sebuah dialog agama.
*
Introduksi itu mungkin cukup untuk kita membuat analisa tentang Hindu yang Universal. Jika kita tiru cara pandang Tibi, khususnya hubungan Hindu dan Indonesia, kira-kira mana yang kita pilih, antara meng-Hindukan Indonesia, atau meng-Indonesiakan Hindu?
Sejarah menunjukkan para leluhur nusantara memilih me-Nusantarakan Hindu atau secara lebih spesifik menjawakan Hindu, mem-Bali-kan Hindu melalui kecerdasan asimilatif mereka, sehingga Hindu di Indonesia memiliki ciri khas dan karakter kultural tersendiri.
Sebenarnya ini tanpa alasan, karena memang Hinduisme sendiri memiliki karakter dan pesan universal tersebut. Maksud dari universal di sini yakni Hindu tidak mesti diekspresikan dalam frame kultural India—termasuk dengan sistem teologi yang baku. Hindu bisa dibahasakan dalam frame kultural Jawa, Sunda, Kaharingan, dan Bali. Khusus di Indonesia, sebenarnya ini sudah dilakukan, karena Hinduisme memiliki semangat menyerap adat istiadat dan budaya lokal.
Artinya jika ingin belajar tentang Hindu yang universal, Indonesia adalah salah satu tempatnya. Jika ada gerakan-gerakan yang mencoba menghomogenkan Hindu di Indonesia yang memiliki sifat universal dalam heterogenitas mereka secara langsung akan menimbulkan resistensi.
Swamin Nikhilananda sebagaimana dikutip Tyagi dalam bukunya The Philosophy of Radhakrisnan menjelaskan bahwa sifat universal Hinduisme menggagalkan setiap upaya untuk membatasinya. Ia pun meringkas prinsip utama dari Hindu yang kuat karakter universalnya yakni Ketuhanan yang non dualitas, keilahian jiwa, kesatuan eksistensi dan harmoni agama.
Senada dengan itu, Ramaswamy bahkan menyebut Hindu sebagai “a great golden umbrella” yang melindungi segala bentuk pemikiran dan spekulasi.” Sharma lebih suka menyebut Hinduisme sebagai “a league of religions” daripada agama tunggal dengan keyakinan yang pasti.
Hindu ibarat rumah besar yang ramah, ada ruang untuk semua jenis jiwa dari yang tertinggi sampai terendah. Ketika seseorang tumbuh dalam kebajikan, cinta dan wawasan, seseorang dapat berpindah dari satu ruangan ke ruangan yang lain dan tidak pernah merasa bahwa suasananya pengap atau panas.
Di titik ini sepertinya menarik kita bahas klasifikasi ciri umum dari Hinduisme sebagaimana pandangan S. Radhakrisnan. Ciri pertama Hinduisme, menurut Radhakrisnan, yakni komprehensif. Hinduisme seperti pohon besar yang selalu melindungi siapa pun yang menemuinya, dan getahnya tetap mengalir tanpa henti tanpa kehilangan kemurnian dan vitalitasnya. Ia mampu memasukkan sejumlah ragam kepercayaan ke dalam jalinannya. Inilah yang disebut karakter komprehensif tersebut.
Kedua, Hindu memiliki karakter universal. Ia meyakini pengalaman bathin tidak bisa dibatasi, seperti burung bisa mengapung di udara, ikan berenang di laut. Ia tidak membatasi variasi kehidupan dan jalan. Penekanannya pada kehidupan spiritual menghindari kebingungan dan antagonisme dalam masalah agama yang disebabkan oleh klaim kita yang berlebihan atas pandangan kita sendiri. Doktrin universalitas yang melekat dalam Hinduisme telah membuatnya energik, dinamis, sederhana, dan tepercaya.
Ketiga, Hinduisme dicirikan sebagai non-historis—karena memang tak seperti agama lain di dunia. Tidak ada pendiri di dalam Hinduisme. Tidak ada manusia yang dikultuskan sebagai pendiri. Artinya Hinduisme tidak terletak pada kesejarahan sosok manusia tertentu, tindakan perkasa manusia, tetapi dalam “Kebenaran Abadi”. Inti dari Hindu terletak pada nilai-nilai yang kekal berorientasi kebenaran yang meliputi seluruh alam semesta menggantikan beberapa tokoh atau fakta sejarah.
Selanjutnya yang keempat, toleransi. Ciri keempat ini meniscayakan harmoni dan kesesuaian dari semua agama. Hinduisme telah menerima semua kepercayaan dan bentuk ibadah tanpa ragu sedikit pun. Dia menyadari dari ketinggian berawan, pemandangan spiritual di puncak bukit adalah sama, meskipun jalur dari lembah berbeda.
Kata Radhakrisnan: “Tolerance is the homepage which the finite mind pays to the inexhaustibility of the infinite”. Hinduisme lebih memilih untuk berpikir bahwa dalam masalah realisasi pribadi, kredo dan dogma, kata-kata dan simbol tidak lebih dari nilai instrumental, mereka hanya untuk menambah sesuatu untuk pertumbuhan jiwa dengan memberikan dukungan untuk suatu tugas yang sangat pribadi. Hinduisme memiliki cukup ruang untuk mengakomodasi keyakinan atau praktik apa pun dan menyesuaikan diri dengan apa yang telah ada.
Ciri yang kelima adalah kepekaan intuitif. Kepekaan intuisi ini menuntun seseorang untuk menyadari yang ilahi di dalam dirinya, tidak hanya sebagai formula atau proposisi, tetapi sebagai fakta sentral dari keberadaannya, dengan tumbuh menjadi kesatuan dengannya karena jiwa penuh dengan kemungkinan yang sangat besar .
Di sini, harus diperhatikan bahwa intelek dan intuisi adalah tidak bertentangan tetapi terjalin erat. Dalam sepanjang hidup, sisi intuitif dan intelektual manusia bekerja. Tidak ada pemisahan antara intuisi dan intelek. Bergerak dari intelek ke intuisi tidak berarti bergerak ke arah yang tidak masuk akal, tetapi untuk masuk ke rasionalitas terdalam.
Menurut Radhakrishnan, intuisi adalah energi kreatif dari semua manusia. “Kreativitas dalam aktivitas kognitif, estetika, etika, atau religius,” menurut Radhakrishnan “muncul dari pemikiran yang intuitif.
Ciri keenam adalah memiliki sikap etis, pendisiplinan spiritual. Ia tidak hanya menghormati sesama manusia dan hewan, melainkan juga tumbuhan. Kemajuan moral manusia tidak harus dinilai dari kekuatannya atas kekuatan alam, tetapi oleh kontrolnya atas hasrat diri.
Dan terakhir adalah sikap humanis. Radhakrishnan tidak pernah lelah menekankan perlunya landasan spiritual bagi tatanan sosial di mana semua manusia dari kasta dan keyakinan yang berbeda dapat hidup seperti komunitas. Ia mengajarkan untuk bekerja demi kebahagiaan dunia: bahujana hitaya bahujana sukhaya. Hinduisme menemukan hubungan kekerabatan dalam semua melalui pengalaman spiritual dan selalu berusaha untuk membuat mereka menyadari kesatuan jiwa. Visi bahwa umat manusia adalah keluarga akan menjadi solusi mengatasi semua problem konflik di dunia.
Di sini Vasudhaiva Kutumbakam menjadi relevan digaungkan dalam merespon berbagai persoalan kemanusiaan di dunia. [T]