Menjadi sesuatu yang luar biasa itu sangatlah mudah. Tetapi, kalimat itu ternyata belum selesai konteksnya. Harus ada tambahan implikasi yang menemaninya. Implikasi itu semacam suatu batu loncatan untuk menggali potensi diri lebih berkembang ke arah yang diinginkan. Batu loncatan tersebut bukanlah suatu harapan, tetapi lebih kepada arti keharusan. Misalkan, “bila” saya menulis satu lembar tentang ide pikiran saya saat ini, “maka” saya akan terbitkan itu dalam satu halaman majalah agar bisa dibaca banyak audiens. Contoh kedua, “bila” saya ingin menjadi professor, “maka” saya harus menjadi guru senior, peneliti atau dosen.
Contoh kedua di atas cukuplah menarik untuk dikaji. Mengapa harus menjadi guru senior, dosen atau peneliti? Apakah bisa bukan sebagai guru senior, dosen atau peneliti menjadi seorang profesor? Apalagi seminggu terakhir publik digoncangkan dengan isu penemuan ramuan yang bisa menyembuhkan COVID-19. Isu tersebut ada pada konten youtube milik youtuber Andji. Namun, sayang sekali, konten tersebut telah dihapus karena memunculkan pelaporan pada ranah hukum. Yang menemukan ramuan tersebut adalah seorang “professor”. Lho, kenapa diberikan tanda kutip pada kata profesor tadi? Ya, itu memang mesti dimaklumi berkaitan akhir-akhir ini gelar profesor yang dipakai oleh yang bersangkutan menimbulkan keresahan pada ranah akademisi. Bagaimana tidak, coba baca lagi dengan seksama beberapa kalimat pembuka paragraf kedua ini.
Saat public mendengar kata profesor, maka pastikan yang terlintas di pikiran pembaca bahwa profesor murni itu pasti berlatar belakang guru senior, dosen atau peneliti. Akhir-akhir ini pula di platform social media, salah satunya Instagram, banyak warganet yang sibuk mencari suatu arti istilah tertentu di KBBI atau kamus besar Bahasa Indonesia, entah daring atau buku. Salah satu contoh, mencari makna “kacung” dari konotasi kacung WHO. Nah, bagaimana dengan profesor? Yuk, simak penjelasan KBBI apa arti profesor. Menurut KBBI (bisa di-searching di Google®, ya!), profesor berarti seseorang yang dikenal oleh publik dengan berprofesi sebagai pakar, disingkat prof., adalah seorang guru senior, dosen dan/atau peneliti yang biasanya dipekerjakan oleh lembaga-lembaga/institusi pendidikan perguruan tinggi atau universitas.
Gelar profesor itu tidak asal semat. Di Indonesia, gelar Profesor merupakan jabatan fungsional akademik tertinggi. Coba perhatikan lagi isi dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pasal 1 butir 3, bahwa guru besar atau profesor adalah jabatan fungsional tertinggi bagi dosen yang masih mengajar di lingkungan satuan pendidikan tinggi. Sejak tahun 2007, hanya mereka yang memiliki gelar akademik doctoral saja yang bisa menjadi profesor. Cukup tidak mudah, bukan? Padahal menjadi seorang profesor itu adalah hal yang luar biasa. Apalagi saya masih muda terbilang usia di bawah 30 tahun. Sekali lagi, implikasinya yang penting. Yang patut saya syukuri sekarang adalah saya sudah menjadi dosen di universitas ternama di Bali. Kesempatan menjadi profesor itu bisa didapatkan hanya dengan mengumpulkan Angka Kredit Dosen terbaru yang telah ditentukan Kemendikbud RI, lho. Kemendikbud justru menekankan pentingnya Tri Dharma Perguruan Tinggi (PT) sebagai dasar menapak gelar profesor.
Tri Dharma PT tadi bersifat mengikat seorang dosen atau peneliti berupa syarat-syarat yang harus dilampaui untuk menjadi profesor. Pertama, harus ada ijazah Doktor (S3) atau yang sederajat; paling singkat 3 tahun setelah memperoleh ijazah tersebut; memiliki pengalaman kerja sebagai dosen paling singkat 10 tahun. Kedua, memiliki karya ilmiah tambahan yang dipublikasikan pada jurnal internasional bereputasi. Ketiga, bersifat tambahan, dosen yang berprestasi luar biasa; bila memiliki publikasi internasional bereputasi setelah memperoleh gelar doctor (S3) dan persyaratan lainnya, maka paling singkat 3 tahun tadi dianggap sebagai pengecualian. Kalimat-kalimat ini tertuang dalam Pedoman Operasional Penilaian Angka Kredit Kenaikan Jabatan Akademik/Pangkat Dosen 2019 per 1 Januari 2020. Jadi, jabatan profesor hanya berlaku ketika ia berada di lingkungan akademik. Apabila ia mengundurkan diri atau diberhentikan, maka tidak berhak lagi menyandang jabatan Profesor.
Bila kita bandingkan dengan konotasi “profesor” di dunia maya akhir-akhir ini. Gelar profesor tidak bisa didapatkan dengan modal kasih sayang atau modal terkenal untuk urusan promosi kesehatan khususnya. Parahnya lagi, seseorang dengan berani menyebut dirinya profesor dan memperkenalkan ramuan tertentu yang diklaim manjur untuk terapi COVID-19. Disini sangat kentara terdapat dua hal yang sangat bertentangan dengan norma serta etika akademis dan penelitian. Hal pertama, ia yang menggunakan gelar profesor apakah memiliki latar belakang dosen atau peneliti? Jika tidak, apakah kita mudah percaya dengan ajakan youtuber yang memiliki subscriber yang melimpah? Bukan jaminan. Hal pertama ini sangat mudah ditelusuri di dunia daring. Ketik saja nama orang yang mengaku profesor di situs Google Scholar atau Google Cendekia. Bila mau yang lebih ampuh lagi, cek registrasi peran dosennya pada halaman website forlap dikti.
Hal kedua, etika dan prinsip penelitian, tentu ini ranah nya sangat banyak. Mulai dari persiapan, selama riset, dan akhir riset. Masing-masing tahapan memiliki kaidah yang mengikat sehingga pada akhirnya aman pada manusia dan mensejahterakan kehidupan orang banyak. Daripada panjang lebar saya bertutur kata disini, intinya pembaca bisa dengan mudah menelusuri apa hasil riset orang yang mengaku profesor tadi di laman situs Research Gate, Google Scholar atau Google Cendekia, atau ORCID. Sebenarnya masih banyak, tetapi itu sudah cukup. Bila temuan riset dengan nama pengaku profesor tadi tidak ada dan nihil sama sekali, pembaca yang cerdas pasti tahu harus berkesimpulan apa.
Akan tetapi, apa yang terjadi bila rasa harga diri orang pengaku profesor tadi diserang dengan berbagai kualitas syarat demikian? Jawabannya ada pada orang pengaku profesor tadi. Apakah menyadari tabiat buruk atau baiknya. Segala sisi kehidupan dunia ini adalah pilihan. Dengan memilih jalan kebaikan, kebaikanlah yang dipanen, begitu pula sebaliknya dengan keburukan. Urusan ceramah rohani ini kita diskusikan lain waktu, ya! Yang pastinya, saya hanya menekankan, saya susah payah untuk naik pangkat jadi profesor. Tapi bukan tidak mungkin saya bisa menjadi prosefor sesuai amanat UU dan kementerian, demi rasa pengabdian pada masyarakat luas. Lengkap sudah Tri Dharma PT tadi. Long-life learning. [T]