Dalam beberapa hari ini, berbagai media cukup gencar membahas tentang perkembangan perlawanan beberapa elemen masyarakat Hindu Bali terhadap pergerakan paham Hare Krishna yang masuk ke Bali. Beberapa dalil dan pendapat tidak setuju makin bergeliat melawan paham –paham aliran kepercayaan dari India. Saya tidak masuk dalam ranah mengulas perbedaan Hindu Bali dan Hindu India, namun mendengar Kata “India”, sejenak Saya teringat akan kejadian kedatangan Presiden India pertama (Rajendra Prasad) ke Desa Saya di Ubud pada Tahun 1958 sesuai yang tersirat pada naskah “Geguritan Rajendra Prasad”.
Sebelumnya, Saya perlu mengucapkan terima kasih kepada Saudara Putu Eka Guna Yasa, salah satu Dosen Sastra Bali Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana yang memberitahu dan memperkenalkan Saya dengan “Geguritan Rajendra Prasad”pada saat acara Rembug Sastra Ubud Royal Weekend (URW) dan Puri Anyar Heritage di Musuem Puri Lukisan Ubud pada hari Tumpek Landep tanggal 18 Juli 2020 dengan topik “menggali makna WISATA dalam naskah kuno dan peluang praktis menuju wisata berbasis ketenangan jiwa”. Dan Saya pun ditugaskan oleh Chairman URW untuk memandu jalannya diskusi.
Acara rembug pada sore itu berlangsung cukup santai dengan menghadirkan tiga narasumber, yaitu: Putu Eka Guna Yasa, Tjokorda Gde Bayuputra Sukawati, dan Ida Bagus Purwadita serta dibuka langsung oleh Wakil Gubernur Bali (Prof. Dr. Ir. Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati, M.Si). Putu Eka Guna Yasa dalam paparannya mengulas beberapa makna kata Wisata seperti yang tertera pada Tantri Kamandaka, Kakawin Sumanasantaka dan Kakawin Ramayana. Lebih lanjut disampaikannya bahwa spirit Wisata yang mengarah pada ketenangan jiwa sesuai Tantri Kamandaka didapatkan salah satunya pada Telaga (kolam) dengan air yang jernih dan menyejukkan.
Maka, tak heran keberadaan telaga tersebut telah ditangkap oleh insan pengarang Ubud di masa lalu salah satunya melalui Geguritan Rajendra Prasad yang dikarang oleh Tjokorde Gde Ngoerah. Merasa asing mendengar penjelasan Saudara Guna tersebut, langsung saja setelah selesai jalannya diskusi Saya meminta fotokopian Naskah Geguritan tersebut. Terlebih, Saya merasa para Penglingsir di Puri jarang sekali menceritakan tentang adanya Geguritan dengan nama yang sama dengan nama Presiden India di masa lalu tersebut.
Dalam Geguritan Rajendra Prasad tersebut, Tjokorde Gde Ngoerah mengisahkan kedatangan Presiden India (Rajendra Prasad) bersama Presiden Soekarno ke Pura Maha Saraswati (sesuai naskah geguritan Rajendra Prasad) yang lebih dikenal kemudian oleh masyarakat Ubud dengan nama Pura Taman Kumuda Saraswati. Sungguh menjadi terasa sangat spesial lagi, karena Saudara Guna mengutarakan penjelasan Geguritan Rajendra Prasad tersebut tepat pada saat hari Raya Tumpek Landep, yang juga bersamaan dengan hari piodalan di Pura Taman Kumuda Saraswati Ubud.
Pura Maha Saraswati mungkin tidak asing lagi bagi wisatawan mancanegara karena merupakan salah satu tujuan wisata bagi pelancong yang datang ke Ubud selain Monkey forest, Pasar Seni dan Puri Ubud. Oleh beberapa tamu asing, Pura ini sering disebut dengan Lotus Garden atau Kebun Lotus. Ya,,,,!!! mungkin karena areal jaba sisi Pura ini merupakan hamparan telaga (kolam) yang cukup luas dipadati oleh tanaman ‘Lotus”.
Karena indahnya pemandangan kolam dan Candi Pura Maha Saraswati tersebut acapkali wisatawan mengabadikan moment indahnya di Ubud dengan berfoto ria di areal jaba sisi Pura Maha Saraswati. Pura ini terletak di utara jalan, kurang lebih 100 meter kearah Barat dari Catuspata Ubud. Saya belum bisa memastikan kapan Pura ini dibangun, namun dari beberapa analisa dan pandangan para informan, Pura ini diperkirakan selesai sebelum Tahun 1951 oleh Tjokorda Gde Ngoerah bersama para seniman dan undagi Ubud kala itu.
Dalam kunjungannya dihari ketiga tanggal 16 Desember 1958, Presiden India (Rajendra Prasad) diceritakan disambut dengan gegap gempita di Ubud. Jalanan protokol di Ubud dihiasi penjor di kanan kirinya. Memasuki areal jaba pura, Presiden Rajendra Prasad dan Presiden Soekarno disapa dengan pagar betis para yowana dari Ubud, Gianyar, Payangan, Blahbatuh disertai dengan lemparan bunga yang harum menuju tempat “banten byakaon”. Banten byakaon yang berada dihadapan kedua Maha Mulya tersebut digunakan untuk memohon kekuatan Sang Hyang Agni agar segala perilaku terhindar dari hal-hal yang tidak baik atau yang membahayakan. Suara pancoran air telaga begitu ramai bersuara seakan turut menyambut para tamu yang hadir.
Di Utama Mandala Pura Maha Saraswati, Pendeta Siwa dan Budha menghaturkan puja kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa serta memimpin jalannya persembahyangan para tamu dan masyarakat yang hadir. Presiden Soekarno dan Presiden Rajendra Prasad sangat terkesan dengan penyambutan dan keindahan Pura Maha Saraswati. Keduanya dipercikan tirtha dan diberikan kenang-kenangan dua buah emas berbentuk teratai. Selanjutnya, setelah selesai upacara penyambutan di Pura Maha Saraswati, pimpinan kedua negara beserta rombongan menuju Museum Puri Lukisan Ubud dan selanjutnya disambut oleh Tjokorda Gde Agung Soekawati.
Tjokorde Gde Ngoerah (wafat 1 Januari 1967 di Puri Agung Pesaren Kauh Ubud) terlahir sebagai seorang yang mulititalenta. Beliau turut merasakan perjuangan membesarkan Ubud melalui beberapa kali peperangan bersama-sama dengan keluarga dan masyarakat pada era 1880-1900. Dalam situasi sulit setelah Gempa 1917 yang melululantahkan Ubud, Beliau dipercayai oleh Punggawa Tjokorda Gde Soekawati menjadi arsitek Pembangunan Kembali Kori Agung Puri Ubud bersama Gusti Ketut Sedahan, Gusti Njoman Lempad, dan Nang Kranjit. Pura Maha Saraswati yang disebutkan sebelumnya juga salah satu Karya arsitektur terbaik Beliau yang mencerminkan wujud bhakti kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi Beliau sebagai Dewi Saraswati yang telah menuntun dalam berkesenian dan berkehidupan. Arca Dewi Saraswati di utama mandala Pura Maha Saraswati menyiratkan pesan bahwa Tjokorda Gde Ngoerah merupakan pemuja Saraswati yang taat.
Geguritan Rajendra Prasad hasil karya Tjokorda Gde Ngoerah dengan sangat detail menjelaskan masing-masing Palinggih yang terdapat di Utama Mandala Pura Maha Saraswati. Jajar sebelah timur terdapat Padma Agung Merong Tiga yang menjulang tinggi, stana memuja kebesaran “Sang Hyang Tiga Pasupati”. Palinggih “Padma Agung” tersebut diapit “Meru Tumpang Tiga” penyawangan “Ida Hyang Bhatara Goa Lawah” dan “Ida Hyang Bhatara Uluwatu”. Sebelah Kaja Kangin berdiri Bale Pesamuhan Ida Bhatara pada saat pujawali atau piodalan berlangsung. Di Sisi Utara terdapat dua palinggih Ratu Sedahan Nglurah mengapit “Gedong Ageng”. Ratu Sedahan Nglurah tersebut sebagai penjaga areal wewidangan Pura. Uniknya lagi, terdapat pula satu buah patung berukuran besar berwajah seram di utama mandala beratapkan dari Kayu Kemoning stana “Jero Gde Nusa-Bhuta Raja Nusa Pati”.
Pura Maha Saraswati yang dikenal juga dengan sebutan “Pura Langon” ini diempon oleh keluarga Puri Ubud serta merupakan sungsungan masyarakat Ubud sesuai yang termuat dalam awig-awig Desa Adat Ubud. Dalam perjalanannya, selain sebagai saksi sejarah penyambutan Presiden Soekarno dan Presiden Rajendra Prasad pada 16 Desember 1958, tercatat juga beberapa kali Upacara Besar pernah dilaksanakan di Pura Maha Saraswati tersebut seperti: Karya Maligia pada tanggal 25 Juli 1951, Karya Mamungkah 11 April 1953, Karya Piodalan Mapedudusan 1 Oktober 1960, dan yang terakhir Karya Agung Dirgayusa Bumi Mamungkah Ngenteg Linggih Tawur Agung Pedanan pada tanggal 21 September 2002.