Ok. Siap. Baik. Saya mulai dulu percapakan ini dengan sebuah kalimat dari seorang sepuh bernama Nang Kedel dengan kedua huruf e pada namanya yang berada di antara huruf k, d, dan l yang mesti dibaca dengan ē. Katanya, ‘Iraga uling lekad suba ngaba ukuran, mati masih ngaba ukuran. Dadine, yen dot ngukur idup, ukur uli matin iragane. Kalau diterjemahkan secara bebas dalam bahasa Indonesia, kira-kira artinya: manusia Bali itu sedari lahir sudah membawa ukuran, matipun juga ada ukuran. Jika ingin mengukur kualitas hidup, ukurlah bagaimana cara kita mati. To be nak Bali. Itulah orang Bali. Imbuh Nang Kedel.
Siapakah sesungguhnya sepuh bernama Nang Kedel ini? Dari mana asalnya? Tak perlulah kiranya dijelaskan lebih lanjut. Sebab tak penting juga untuk kita mengetahui. Sama tak pentingnya dengan alasan saya memilih nama Nang Kedel. Kenapa bukan Nang Kedal, Nang Kedol, Nang Kodol, atau Anton tanpa embel-embel nang saja sekalian? Tak penting juga untuk menelisik apakah benar yang mengucapkannya adalah Nang Kedel? Apalagi bagi kehadiran novel ‘Kulit Kera Piduka’ ini, yang sama sekali tak mencantumkan nama Nang Kedel di dalamnya. Apalagi bagi Juli Sastrawan selaku penulis novel, apalagi bagi pembaca yang sebenarnya lebih ingin mengetahui isi novel ‘Kulit Kera Piduka’ karya Juli Sastrawan daripada mendengar ocehan dari Nang Kedel.
Sosok Nang Kedel, saya pinjam hanya untuk mensejajarkannya dengan sosok Piduka, Piranti, Kenanga, Parwa, Arsa, dan sebaris nama-nama lain yang tertuang dalam novel di tangan pembaca sekalian. Pendeknya: jangan tanya bagaimana nama-nama itu membentuk latar, psikologi, kondisi para tokohnya. Tak penting kenapa orang tua Piduka yang diceritakan berasal dari wangsa brahmana memberi nama anaknya piduka, yang kesannya mirip dengan kata berduka. Dalam konteks Bali mengingatkan kita juga dengan istilah guru piduka, sebuah upacara yadnya permohonan maaf kepada leluhur atau Ida Bathara.
Tak penting mengapa Piduka dan Piranti, pasangan suami istri beda wangsa ini memberi nama anaknya Kenanga, sebagaimana yang biasa muncul pada penamaan tokoh perempuan dalam karya sastra Bali yang cenderung menggunaan nama bunga. Tak penting juga kenapa anak dari hasil hubungan gelap Piranti dan Arsa diberi nama Parwa, yang dalam kesusastraan Bali diartikan sebagai bagian cerita. Begitu seterusnya. Begitu seterusnya.
Meski tokoh-tokoh dalam novel ini hidup dalam dunia rekaan, nama-nama mereka saya kira diciptakan bukan dalam kerangka logika berpikir dunia yang tertuang dalam cerita. Kehadiran nama-nama mereka tak diberikan oleh ‘orang tua tokoh’ dalam novel, melainkan oleh Juli Sastrawan sendiri sebagai penulis. Kita akan menyaksikan kehadiran penulis yang muncul samar-samar untuk kemudian memberi nama pada tokohnya, sekaligus mengguratkan sejarah, sekaligus meng-ketokpalu-kan nasib mereka. Artinya, tokoh-tokoh dalam novel tidak tumbuh secara organis dalam dunia rekaan penulis yang disusun atas dasar motif para tokoh untuk menghasilkan alur cerita sebab-akibat yang ketat dan rigid.
Eksistensi tokoh boleh jadi berangkat dari hasil negosiasi, antara pemotretan, pengguntingan realitas dengan sejarah ketubuhan dan paradigma penulis yang dicampurbaurkan jadi cerita. Dari kehadiran nama-nama ini, tampak novel menyajikan pola relasi interteks dengan realitas sebenarnya atau dunia di luar cerita. Tak berdiri sendiri sebagai sebuah karya novel. Melainkan juga berada pada persimpangan antara karya, penulis, dan konteks sosial khususnya yang terjadi di Bali.
Sebagaimana yang marak hadir dalam wacana Bali yang berkembang dewasa ini, konteks pariwisata boleh dikata menjadi bahasan utama. Senantiasa menjadi bahan pergunjingan. Diteguhkan sekaligus dikritisi. Dipuja juga dicela. Di kota-kota besar seperti Denpasar, Badung, dan Gianyar, ketegangan semacam ini begitu kentara terasa dibandingkan dengan daerah pedalaman lain. Sebab di kota-kota inilah dampak buruk pariwisata hadir. Mulai dari lahan yang terkikis, kerusakan lingkungan, serta konstruksi ruang yang mulai menghimpit. Semuanya berdampingan dengan aktivitas sosial ekonomi masyarakat. Yang secara tidak langsung mempengaruhi pola kerja koreografi tubuh penghuninya. Konsekuensi logis yang hadir kemudian adalah suara-suara kritis lebih banyak menggema di kota-kota itu saja, baik melalui gerakan dan akitivas sosial, juga produksi karya seni yang dihasilkan.
Saya kira, di sinilah kehadiran Juli Sastrawan sebagai penulis penting untuk dimunculkan di tengah novel dan konteks sosial yang melatari. Di luar kerja sebagai penulis, Juli Sastrawan kerap berbaur dengan pergaulan aktivis, zine bahkan anak punk. Dimana ketiga hal ini sedikit banyak beririsan dengan ruang produksi wacana kritis memandang realitas Bali, khususnya dalam konteks pariwisata. Alih-alih mengkonstruksi novelnya atas dasar pengalaman ketubuhan yang dimiliki, Juli malah mejatuhkan pilihan tokohnya untuk hidup di pedalaman desa Bali yang jauh jaraknya dengan hiruk pikuk pariwisata. Bahkan boleh dikata, tak tersentuh sama sekali. Saking berjaraknya, masyarakat desa melihat kehidupan kota sebagai surga impian.
Salah satu gejala yang ditunjukan dalam novel adalah para penghuninya yang mulai meninggalkan desa untuk merantau ke kota. Pada latar desa yang lenggang dan sepi karena ditinggal merantau ini, Juli Sastrawan justru tak menyajikan bagaimana lemah lunglainya desa setelah ditinggalkan. Novel justru bercerita tentang upaya-upaya masyarakat untuk dapat bertahan bahkan berusaha untuk mencapai kedudukan yang sejajar dengan apa yang didapat dari industri pariwisata di kota. Hasilnya adalah perwatakan tokoh-tokoh dalam novel yang tegang, yang hidup di desa dengan impian-impian kota. Menumbuhkan laku-laku kolot-rapuh, intelek-naif, kokoh-melankolis, serta laku-laku oposisi sejenisnya. Yang rentan dengan ketidakstabilan, dengan tikungan emosi yang berubah meledak seketika di tengah visi hidup cita-cita tokohnya yang gempal dan kuat. Alhasil, segala laku yang hadir pada novel tampak amat perfomatif. Ceritanya tampak begitu hidup meski pada suatu bagian ditulis dengan kalimat langsung, tanpa disertai detail narasi yang berkepanjangan.
Pendapat saya bisa jadi benar, bisa jadi salah. Bisa jadi benar, jika pembaca juga merasakan hal yang sama setelah membaca novel ini. Bisa jadi salah lantaran pembacaan saya yang barangkali sangat subjektif sifatnya. Begitu subjektifnya, lantaran karena sosok Juli Sastrawan adalah kawan saya sendiri. Begitu subjektifnya, lantaran novel berkisah tentang kehidupan masyarakat Bali dimana Juli dan saya menjadi bagian di dalamnya. Begitu subjektifnya, lantaran saya sendiri tak berusaha untuk mendedahkan pembacaan pada satu ukuran bangunan interpretasi yang pejal.
Melalui peminjaman realitas masyarakat Bali yang secara sadar dilakukan oleh Juli, pembaca tak hanya mengalami katarsis. Pada satu momen tertentu juga akan merasa teralienasi. Kadang didorong untuk hanyut dalam konflik batin para tokoh, semisal ambisi Piduka untuk meraup keuntungan dari hasil menari joged Kenanga, keinginan Kenanga untuk berhenti menari dan bekerja di kota, kebimbangan Piranti untuk kembali pada Arsa atau bertahan bersama Piduka, juga keluguan Parwa yang masih kanak di tengah carut marut konflik keluarga yang berkelindan. Di sisi lain, kita juga akan ditarik kembali untuk merefleksikan cerita dengan realitas kehidupan Bali: soal kasta, soal pariwisata, soal patriarki, soal joged, soal kejahatan seksual dan persoalan lainnya. Semuanya terekam pada satu ruang tinggal yang disebut rumah.
Maka, bukan tanpa alasan banyak peristiwa dalam novel terjadi di rumah. Mengingat rumah bagi orang Bali adalah representasi dari tubuh penghuninya. Rumah Bali dibuat berdasarkan Asta Kosala Kosali yang merupakan ilmu arsitektur Bali dengan menggunakan ukuran-ukuran tubuh yang disebut sikut sebagai alat ukur. Hal ini memungkinkan penghuninya mempunyai ikatan kuat dengan rumah. Struktur rumah Bali yang luas terbuka, memungkinan terjadi begitu banyak aktivitas dan pertemuan antara sesama penghuni rumah, antara pemilik dengan tamu yang datang. Maka rumah Bali adalah pertemuan-pertemuan berbagai jenis ukuran. Maka bagaimanakah ukuran-ukuran ini kemudian bertemu? Maka bagaimanakah ukuran-ukuran yang kemudian bertemu ini mempengaruhi kehidupan di dalam rumah?
Rumah Piduka adalah persimpangan ukuran-ukuran yang menjejali para penghuninya. Ukuran ekonomi, ukuran sosial, ukuran budaya, ukuran agama, ukuran moral dan etika saling gesek berhimpitan satu sama lain tanpa adanya kalkulasi jawaban pasti. Menjadikan penghuninya gegar dan gagap mengartikulasikan kehendak-kehendaknya. Rumah Piduka adalah sub terkecil yang teraniaya, ketika soal-soal Bali yang dianggap kecil tak pernah jadi hitungan besaran dampak pariwisata. Maka, kehadiran novel ini menjadi penting artinya sebagai ruang refleksi menatap rumah, diri, dan Bali. Apalagi jika dikaitkan dengan fenomena pandemi yang merebak belakangan ini.
Saya rasa bukanlah suatu kebetulan novel ‘Kulit Kera Piduka’ di tangan pembaca ini hadir dalam situasi yang membuat diri menghabiskan banyak waktu di rumah. Di tengah ketakutan untuk ke luar, yang memaksa kita berdiam diri di rumah, ada ketakutan lain yang diam-diam menyelinap di dalam. Setelah membaca novel karya Juli Sastrawan ini, saat mengetik tulisan ini, saya jadi dibuat bertanya. Apakah rumah kami sedang baik-baik saja? Bagaimana dengan rumah tetangga? Bagaimana dengan rumah di kampung halaman? Dengan rumah kawan-kawan sekalian? Juga dengan rumah Nang Kedel?
Jika benar kata Nang Kedel bahwa manusia Bali itu sedari lahir sudah membawa ukuran, matipun juga ada ukuran, mungkin yang paling sulit diukur adalah kehidupan Piduka atau Piranti atau Kenanga atau Parwa atau tokoh-tokoh lain sebagaimana yang tergambar dalam novel. Berhati-hatilah, bisa saja kita akan atau sedang atau sudah menjelma diantaranya!
Denpasar, 2020