“Bukan main rasanya,” saya membatin setelah tembakau Bondowoso saya hisap untuk pertama kalinya. Waktu seperti berhenti sejenak. Untuk kemudian mematung. Sementara, kenikmatan ini menari-nari. Benar-benar sensasi yang luhur.
Saya mendapatkan tembakau ini dari kawan saya Omexo—panggilan untuk Om Eko—di beranda rumah saya manakala pengajian budaya kami laksanakan. Ya, setiap seminggu sekali kami rutin mengadakan acara semacam diskusi budaya, yang bersifat non formal dan woles, beranggotakan Omexo, Udin, Arisko, dan saya sendiri. Nama lingkar diskusi ini: Majelis Kopitayan. Taglinenya: Mampir ngopi lan ngebul. Keren bukan?
Kembali lagi pada tembakau Bondowoso ini. Ketika saya menghisapnya, jujur, banyak kata-kata yang tidak bisa keluar dari hati saya. Bukan apa-apa, karena saking enaknya! Rasanya bahkan jauh lebih enak dari rokok mainstream a.k.a rokok bungkusan. Rasanya lebih alami, harumnya wajar, dan seakan membuat diri kita lupa akan sengkarut hidup. Ini benar-benar mencengangkan. Kenapa saya baru merasakan tembakau ini! Gerutu hati saya.
Dan yang tak kalah menarik, adalah proses pelintingan atau penggulungannya, yaitu dengan menggunakan alat berbentuk persegi yang saya beli di toko tembakau—dengan filter dan papir—anda bisa membentuknya seperti rokok bungkusan. Persis! Anda hanya memerlukan kotak rokok dari bambu atau kayu yang dijual di marketplace untuk menyimpannya, agar lebih praktis jika sewaktu-waktu dibawa ke luar rumah, dan juga memberi efek yang elegan secara visual.
Dari Omexo akhirnya saya tahu, di mana ia membeli tembakau ini, dan ya, ternyata tak jauh dari rumah saya, yaitu di Pasar Induk Banyuwangi, tepatnya di sebuah toko, di sebelah barat persis Gedung Juang. Maka carilah dan hisaplah! Ini kredo bagi anda jika penasaran dengan cita rasanya.
Tembakau ini lazimnya dibagi menjadi tiga varian: Halus, keras, dan sedang. Saya sendiri kerap membeli tembakau Bondowoso varian halus dan sedang, saya oplos, dan dengan taburan cengkeh pilihan, tembakau ini benar-benar paripurna.
Pernah satu minggu saya menghisap rokok handmade ini, lalu saya kembali mencoba rokok bungkusan yang dijual di warung-warung itu, dan hmmm, rasanya memang jauh berbeda, Ferguzzo!
Ini barangkali seperti anda makan olahan daging beku dengan daging segar, jelas sangat beda cita rasanya. Anda tentu pernah merasakan sate yang diolah dari daging beku dengan sate yang dibuat dari daging segar—apalagi yang dombanya baru anda sembelih—pada saat hari raya kurban? Beda sama sekali bukan? Sudah pasti sate buatan anda lebih luhur rasanya. Begitu juga dengan rokok handmade ini jika dibandingkan dengan rokok pabrikan.
Oh ya, tiba-tiba ingat, dulu pernah juga saya mencoba menghisap rokok handmade kepunyaan saudara atau kawan saya, tapi lain memang rasanya jika dibandingkan dengan jenis tembakau Bondowoso ini.
Ada adagium yang mengatakan, “Ada harga ada rupa” atau barangkali “Ada harga ada rasa”, tapi sayangnya hal demikian tidak berlaku bagi tembakau Bondowoso ini. Dengan cita rasa yang unggul, harganya bisa dibilang sangat terjangkau. Harganya memang murah, tapi sanggup bagi dia untuk sekedar memberi anda kemewahan.
Untuk setengah ons tembakau Bondowoso—saya terbiasa membeli setengah ons agar cita rasanya selalu fresh—anda hanya perlu mengganjarnya dengan 9 ribu rupiah saja. Setengah ons itu semana, Ferguzzo? Ya kurang lebih setangkup tangan orang dewasa. Jika digulung, kira-kira bisa menghasilkan 100 batang rokok. Dan itu artinya, sekitar 6 bungkus rokok mild! Inilah yang dinamakan harga ekonomis, tapi rasa fantastis.
Dari pengalaman ini saya jadi tahu, ternyata banyak hal-hal luar biasa di luar sana yang belum pernah saya coba sebelumnya, tembakau Bondowoso ini adalah salah satunya. Makmurkan petani tembakau! Selamat mencoba, Ferguzzo!