Kebun adalah wahana melatih kesadaran, alasannya sederhana sekali, karena disinilah ruang untuk lebih mengenal diri, ruang perenungan diri, dan meditasi agar kita lebih bisa bersyukur, bertanggungjawab dan berempati terhadap kehidupan. Pagi yang indah, suara ayam berkokok laksana deburan ombak yang datang beriringan, sahut menyahut tak terputus, membangkitkan diri dari peraduan, tahu sekali jika jiwa ini perlu sentuhan meditatif setelah sepekan berjubel dengan rutinitas kehidupan.
Seperti biasanya, saya berkeliling di Kebun mengamati setiap pepohonan yang ditanam, sekaligus membersihkan ranting dan dedaunan kering yang menempel di dahannya. Rasa syukur, manakala bisa menyaksikan tunas-tunas yang bermunculan dari batang pohon, tunas itu laksana menyapa kita, seakan-akan itu bahasa tubuh yang bisa tertangkap dari indera penglihatan kita, mungkin saja pohon itu ingin berkata “sampaikan terimakasih karena sudah merawat aku”.
Gede dan Nindya, jika mereka mengetahui saya sedang di Kebun, mereka selalu datang menghampiri saya, mereka sepasang saudara yang sangat senang bermain di halaman rumah, tak terkecuali di Kebun, disana mereka bisa bermain dengan bebas, melempar batu, bermain tanah, mengambil daun kering, bermain air dan juga kadang membantu saya mencabuti rerumputan yang tak jarang menyelimuti petakan kebun kecil ini. Kegiatan seperti ini, secara tidak langsung mempertautkan ikatan bathin antara orang tua dengan anak-anaknya. Sungguh menarik bukan?
Sekadar bercerita, saat berusia dua tahun, Gede si sulung mengalami keterlambatan dalam berbicara, istilah baratnya “speech delay”, saya dan istri merasa sangat terpukul, sebab kesulitan dalam berkomunikasi membuatnya merasa lelah, dan terkadang mesti menggunakan isyarat tubuh untuk mengungkapkan keinginannya, ini adalah kealfaan kami, sebab sedari bayi Gede sangat lekat dengan berbagai macam tontonan di gawai, dan kami kurang memahami, jika pola hidup seperti itu, akan memberikan dampak buruk pada perkembangan komunikasinya.
Saya yang kala itu bercerita dengan sahabat saya, lantas mendapatkan nasehat untuk mengajak Gede untuk sering melibatkannya berinteraksi dengan alam, dan bermain di kebun menjadi pilihan dari nasehat itu. Singkat cerita, saya ikuti nasehat itu, dan kami di Keluarga merasakan perkembangan signifikan dari kemampuan komunikasi Gede.
Sebagai orang tua, kami ingin mewariskan nilai-nilai kehidupan melalui kegiatan berkebun, tidak mungkin tanaman itu akan tumbuh sehat, jika kita tidak sabar dalam merawat, tidak mungkin kita bisa memetik buah, tanpa ada bantuan lebah yang singgah, berkebun sarat akan nilai kesadaran dan kebijaksanaan tentang pentingnya menjaga keseimbangan alam.
Perkembangan teknologi saat ini begitu pesat, kemajuan peradaban telah mengantarkan umat manusia pada perubahan gaya kehidupan yang begitu modern, orientasi kepada materi yang menyebabkan perubahan laku keseharian yang serba cepat dan praktis, sangat bergeser dari laku masyarakat agraris yang sangat pelan dan menikmati setiap proses yang ada. Kita tidak bisa menghalangi, namun hanya mengimbangi, agar jangan sampai kehidupan ini hanya berpacu kepada materi yang minim akan esensi penghargaan terhadap diri, hidup bergelimang harta benda namun tetap merasa hampa. [T]