I. Tubuh Yang Menjelajahi Lipatan
Selamat sore Bapak dan Ibu yang terhormat. Semoga anda dalam keadaan sehat di mana pun anda berada.
Manusia tidak siap saat wabah datang menyuruk memasuki kehidupan. Ia menyergap lalu menguasai rumah, jalanan, perkantoran, pusat perbelanjaan, sekolah, kampus. Mencengkram seluruh tatanan yang ada, mengosongkan keramaian, melambankan gerak tubuh. Segala yang kita anggap sebagai kebiasaan yang terberi, seluruh sistem politik, ekonomi, hingga sosial, layuh tak berdaya, tunduk pada pembatasan. Tidak terkecuali untuk Dies Natalis IKJ tahun 2020 ini, pidato seni ini saya sampaikan di podium yang menghadap ke kursi-kursi kosong. Hari jadi yang semestinya menjadi perayaan jubilasi, suatu titik penting dalam hidup, saat ini menyisakan kita dengan pertanyaan yang menggantung, hingga kapan pandemi ini berlangsung? Dalam bayang-bayang pandemi ini, detik demi detik dilalui dengan rasa gundah, takut dan tidak menentu. Menatap pemberitaan di media dengan mata yang sayu, kurva tidak kunjung landai, kita belum bisa melepas kewaspadaan.
Pada hari-hari terberat ini, di mana waktu bergulir perlahan, saya mencoba memahami kembali tentang seni dan apa maknanya dalam kondisi wabah. Berkesenian adalah proses simultan internal dan eksternal seseorang, yang berurusan dengan sisi privat, refleksi dan ekspresi diri, namun pada sisi yang lainnya seni adalah intensionalitas diri dengan orang lain, keterlibatannya dengan dunia. Berbagai upaya dipertahankan oleh orang-orang agar dapat berkesenian. Namun, kenikmatan berkesenian; di gedung pertunjukan, berbagi tarian dengan tubuh-tubuh yang lainnya, menyanyi begitu dekat sambil berpegangan tangan, selama 3 bulan terakhir ini tidak dapat dilakukan, dan entah sampai kapan ?
Tetapi, tidak semuanya hampa, seperti auditorium yang hening hanya dihuni hantu-hantu tokoh lakon yang pernah dipentaskan. Orang-orang berusaha menghibur dirinya melalui layar-layar gawai. Entah menari secara terpisah melalui zoom, atau menyanyi di instagram live, mementaskan puisi di youtube. Intinya, hasrat artistik masih dapat dilakukan meski acapkali dibuat simpang siur oleh jaringan yang buruk, koneksi putus-sambung-putus-sambung, membuat kreativitas terhambat.
Amat sangat wajar jika seniman merasa terperangkap, mereka terampas kebutuhannya untuk berinteraksi, menyentuh, mencium, melihat dunia dengan bebas. Masa swa-karantina dan pembatasan sosial yang terjadi sangat mempengaruhi psikososial, masyarakat mengalami berlapis-lapis kesengsaraan, kefrustasian menghadapi virus dan ancaman kematian, rasa tertekan mengkhawatirkan kesinambungan ekonomi, hingga rasa terisolir berjauhan dari keluarga dan sanak keluarga yang terpencar di berbagai tempat. Lantas, masih adakah yang indah di dunia ini? Atau masih dapatkah kita merasakan keindahan dalam keadaan yang penuh ketakutan ini.
Dalam esainya yang berjudul “Tentang Jatuh Sakit”[1], Virginia Woolf seorang penulis dan feminis dari Inggris mempersoalkan mengapa sedikit sekali karya sastra yang didedikasikan untuk berkisah tentang penyakit. Mengapa tema utama sastra seringkali bercerita tentang, cinta, peperangan, atau kecemburuan, tidakkah penyakit adalah sesuatu yang umum terjadi pada semua manusia? Mari kita bayangkan novel tentang influenza, prosa mengenai tipus, dan ode syahdu bagi radang paru-paru, demikian keheranan Woolf. Ia memprotes bahwa sastra terlampau mengagungkan pikiran, soneta digubah demi menggambarkan perihnya jiwa.
Bagaimana dengan tubuh? Tubuh selalu dipinggirkan. Tubuh sesekali disebut khususnya terkait dengan keserakahan dan nafsu. Padahal menurut Woolf betapa eloknya tubuh itu, kita merasakan tegur sapa musim demi musim melalui tubuh, kuncup-kuncup bunga yang menyebabkan senyum di bibir, seluruh warna, aroma, bentuk, gerakan, dapat dirasakan karena tubuh. Esai ini ditulis tahun 1925, dan saat itu Woolf sedang menderita depresi. Woolf kerap jatuh sakit, dari influenza hingga radang paru-paru. Rasa sakit itu, yang membuat tubuhnya lemah di ranjang tanpa kesanggupan untuk beraktivitas. Ketika tubuh dipatahkan oleh penyakit, bagi Woolf, pada situasi itulah manusia diingatkan betapa angkuhnya proyek-proyek kemanusiaan yang bergerak atas nama akal budi. Sembari tergolek dengan demam tinggi, seseorang hanya bisa meratapi gagasan gemilang tentang pencerahan.
Bilakah keringat dingin, gemeletuk gigi yang menggigil membentuk bahasa baru dalam memahami diri pada saat wabah? Bahasa yang selama ini ada terlampau ambisius meletakan manusia di pertandingan untuk memenangkan tampuk kekuasaan. Di pertandingan ini, peradaban demi peradaban bangkit lalu runtuh, sejarah mencatat prestasi-prestasi itu. Sejarah mewartakan keunggulan manusia yang berbekal peralatan teknologis di satu tangannya, kitab ideologis di tangannya yang lain, ia siap siaga menaklukan dunia. Sedangkan, tidak ada yang menceritakan ketertundukan manusia pada wabah. Woolf mengatakan, prosa tentang influenza akan dipikir oleh pendengarnya sebagai cerita yang miskin plot! Padahal, kosa kata kita yang begitu miskin untuk menggambarkan betapa mencekamnya teror sesak pernafasan, begitu sunyinya bangsal karantina, pasien hanya ditemani kesepian.
Virus Corona memupuskan rancangan yang telah disusun secara apik oleh manusia; mantra modernisme produksi, konsumsi, distribusi, terus menerus tanpa henti secara kekal. Virus ini meluluhlantakkan pakem kita, khususnya soal waktu yang harus cepat, efektif dan efisien. Kita dipaksa terbiasa dengan kelambatan, mengurung diri di rumah melihat waktu mengalir tanpa tergesa-gesa. Virginia Woolf menggambarkan pengalamannya menerawang dari jendela, tersungkur dengan rasa sakit, ia membaca kembali puisi-puisi yang sudah lekat dengan dirinya. Puisi-puisi itu ditiupkan nyawa baru. Dunia di luar jendela pun tidak lagi nampak seperti rutinitas yang dangkal. Seolah-olah ada yang retak di permukaan realitas, sehingga kita dapat mengintip dunia yang saturasinya lebih penuh. Woolf melihat keindahan melalui penderitaan ragawi, keindahan ini tidak harus masuk akal. Berbeda dengan bagaimana teori estetika modern mencari rasionalisasi geometris, kesepadanan antar objek-objek.
Bersumber dari rasa sakit ini, persepsi terhadap keindahan tidak lagi berkutat pada jarak yang dibentuk seseorang dengan objek tersebut. Sebaliknya, pengalaman kedirian seseorang digeluti kala ia sedang berjuang diliputi rasa sakit. Tidak ada lagi jarak tatkala penyakit yang merundung tubuh. Menurut Woolf inilah kedirian yang mutlak, saat aku menyadari tubuhku yang kesakitan, rapuh, dan rentan. Jika dikaitkan dengan pandemi yang sedang berlangsung, masa-masa penyepian ini mengasah seseorang untuk mempertanyakan dirinya sendiri. Ia terpojok dan harus bersemuka dengan kesadarannya sendiri, mempersoalkan tentang arti dan tujuan hidupnya.
Apakah pengalaman estetis semacam ini tidak dapat dirasakan pada masa sehat? Woolf mengatakan dalam kondisi sehat, seseorang sering terbelit oleh ilusi bahwa dunia sempurna adanya. Intelektualitas kita akan menata realitas ini penuh dengan asumsi-asumsi teoritis, kategorisasi, klasifikasi beserta segala penalaran tentang kerja. Berbeda dengan keadaan sakit, di mana tubuh tidak memikul predikat-predikat yang dibentuk oleh sistem sosial yang rumit. Tubuh kembali pada azalinya yang primitif. Tubuh yang terlahir dengan pengalaman pertamanya meronta menangis
Seni terus menyala meski dalam sejarah tergelap kehidupan manusia. Federico Campagna[2] seorang filsuf kelahiran Italia menjelaskan bagaimana kesenian Barok berkembang pada situasi zaman saat Eropa diterpa berbagai macam problem; peperangan, kelaparan, dan wabah. Campagna membahas beberapa komposisi musik Barok seperti karya Vivaldi yang berjudul La Tempesta di Mare, lalu oleh Nicola Porpora yang berjudul De Profundis Clamavi, dua karya ini menunjukkan pertentangan eksistensial manusia yang menghadapi kesengsaraan tidak dengan lamentasi, tapi dengan gempita. Menelisik dari kitab Mazmur 130 yang berbicara mengenai seruan dalam kesusahan, “Dari jurang yang dalam aku berseru kepadamu ya Tuhan!” Nicola Porpora mengolah ayat suci De Profundis Clamavi yang biasanya begitu kelam menjadi penuh dengan sukacita.
Begitupula dengan La Tempesta di Mare, yang berkisah tentang sengitnya amukan samudra. Laut bergejolak mengerikan, gelombang bergulung-gulung mengantam kapal yang patah berserah pada badai itu, akan tetapi, simfoni Vivaldi terdengar seperti menyongsong marabahaya itu. Serupa dengan Porpora, musik Barok adalah letupan emosi yang mencintai hidup beserta keseluruhan bala, petaka juga kenaasannya. Para seniman Barok adalah representasi paradoks dunia yang rawan celaka, penyakit, konflik, dengan dunia yang ringan, indah, ranum akan harapan.
Kesenian Barok memang sangat distinktif, baik dari arsitektur, seni lukis, hingga musik, bahkan membuat filosof pos-strukturalis, Gilles Deleuze terkesima. Dalam pandangan estetikanya, yang berjudul The Fold[3], Deleuze mengutarakan kejanggalan musik Barok terletak pada pesona lipatan-lipatannya. Apa yang dimaksud dengan lipatan ? Lipatan adalah cara Deleuze menjelaskan bahwa karya-karya masa Barok tidak perlu terjerembab dalam dualisme antara logika dan mitos. Pendekatan ini memungkinkan subjektivitas bergerak liar dari satu sumbu ke sumbu yang berlawanan. Seniman dapat melompat-lompat dari dunia yang mistik, memasuki dunia matematis, tanpa terbelenggu apapun. Memang mengherankan, jika kita bercermin pada kondisi pandemi ini, bagaimana membayangkan kebahagiaan saat keadaan terlalu getir?
Ada yang terbuka dalam lipatan-lipatan baru dikarenakan wabah yang sedang terjadi. Kita sedang menyingkap hal-hal baru dalam kehidupan yang mungkin selama ini sempat terbengkalai. Lipatan yang memunculkan katastrofe Covid-19, mengharuskan kita untuk mempertimbangkan kembali hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam, hingga manusia dengan tuhannya. Wabah menyadarkan kita kesia-siaan dan usangnya perdebatan politik. Politik yang terbius dengan narsisisme menyebabkan diremehkannya peringatan para ilmuwan tentang virus yang asing ini. Kita perlu mencermati lipatan yang lainnya, termasuk soal minimnya pengetahuan manusia tentang wabah dan penyakit.
Manusia sedikit menaruh perhatian tentang sejarah penyakit. Hippokrates merupakan orang pertama yang menggunakan kata epidemi dalam konteks medis. Sebelumnya, kata itu dicampuradukan untuk menggambarkan masalah yang melanda Yunani, (termasuk masalah konflik politik!), Hippokrates yang mengkhususkan epidemi sebagai urusan penyebaran penyakit.
Seberapa pahamkah kita tentang virus ini? Virus yang memporak-porandakan sistem kehidupan kita. ?
II. Pendidikan Seni Dan Empati
Bapak dan Ibu yang terkasih,
Sukarnya membayangkan hidup seperti sedia kala, atau mengadopsi anjuran untuk menjalani kenormalan baru. Kini kita harus menyesuaikan diri dengan perombakan besar-besaran makna institusi pendidikan, begitu juga dengan intitusi pendidikan seni seperti IKJ. Saya membayangkan para dosen-dosen di Fakultas Film dan Televisi, Fakultas Seni Pertunjukan, Fakultas Seni Rupa, hingga Sekolah Pascasarjana yang ruwet menyelenggarakan PJJ (pembelajaran jarak jauh). Selain itu pula, kegiatan-kegiatan kesenian telah beralih wahana menjadi daring. Program Studi Teater IKJ misalnya telah menyelenggarakan pertunjukan teater daring yang diambil dari naskah Sapardi Djoko Damono yang berjudul Ditunggu Dogot.
Peralihan pertunjukan seni ke media digital punya tantangannya sendiri, kendala teknis adalah satu hal, akan tetapi, hal lainnya adalah teater sebagai suatu peristiwa, kehilangan penghayatan sensasinya tanpa ada interaksi langsung dengan penonton. Tidak semua aspek seni berhasil dipindahkan ke ruang digital. Atmosfer pertunjukan seni pun, tidak semudah itu dialihkan jiwanya ke dalam peranti-peranti. Pertunjukan direduksi unsur pentingnya yakni spontanitas, yang tidak dapat sungguh-sungguh dirasakan oleh penonton. Para seniman mungkin bersungut-sungut harus beralih wahana, tetapi saat ini platform digital adalah pilihan yang paling memungkinkan.
Mengapa kegiatan seni harus terus diupayakan meski dalam situasi muskil seperti pandemi ini ? Saya ingin membahas dua peran seni yang justru mendasar pada masa-masa kritis. Pertama, seni adalah angan-angan tentang kebebasan, berkesenian adalah medium untuk mencari kebebasan. Lalu yang kedua, seni adalah pelipur nestapa di dunia yang kacau balau. Berkesenian adalah suatu ikatan antara satu individu dengan individu yang lainnya untuk berbagi kesengsaraan maupun kebahagiaan. Rene Magritte[4] seniman surealis asal Belgia mengatakan bahwa manusia menghidupi dunia yang inkoheren nan absurd. Dunia ini hingar bingar dengan kekerasan, pemusnahan, dan obsesi terhadap kepuasan material. Ia mengkritik deifikasi manusia yang berpusat pada uang, ras, nasionalisme, bahkan seni pun ikut tersangkut di dalamnya.
Surealisme bagi Magritte bukan perihal aliran, atau semata-mata gaya berkesenian. Baginya, surealisme adalah penjelmaan kekuatan protektif cinta yang melindungi manusia dari sinisnya dunia modern.
Surealisme membangunkan kesadaraan manusia tentang kebebasan. Ia menjelaskan karya-karyanya yang berwarna-warni mirip gulali di dalam mayapada mimpi. Surealisme meretas ruang-ruang baru, yang dikenal sebagai heterotopia. Ruang-ruang ini menempatkan seni tanpa terpasung oleh fatamorgana yang diciptakan mesin industri.
Wabah yang sekonyong-konyong ini memberikan kita banyak alasan untuk merenungkan lagi kedudukan seni bagi manusia. Sebelum kita melemparkan diri untuk segera membuka karantina, kembali pada kebisingan rutinitas, kita perlu memaknai jeda yang telah dialami secara kritis. Agar berkesenian tidak terburu-buru dipecut menjadi produktif demi mengisi tuntutan manufaktur. Oleh karena itu, sukma daripada pendidikan seni perlu diyakini seluas-luasanya. Pendidikan seni bukan dalam pengertian sempit untuk para seniman saja, namun lebih besar dari itu, pendidikan seni yang bercengkrama secara timbal balik dengan masyarakat umum. Pendidikan seni melingkupi; pembelajaran mengenai sejarah dan filsafat seni, pelatihan dan penguatan metode-metode seni, pada tahap kulminasinya adalah mempraktikan percakapan intersubjektif dengan publik melalui karya.
Diskursus melalui karya dapat ditelusuri dalam karya seni beberapa seniman semasa pandemi. Seniman kontemporer asal Tiongkok, Sun Xun menyampaikan kekecewaannya pada pemerintah Tiongkok yang otoriter memberangus kebebasan informasi bagi masyarakat. Terkait dengan pandemi global, sensor yang dilakukan oleh pemerintah Tiongkok semakin mempersulit transparansi dan akuntabilitas negara dalam menjamin kesehatan masyarakatnya. Sun Xun mengkritik kontrol yang dilakukan pemerintah terhadap media, rumah sakit, dan sekolah. Ia juga menggarisbawahi keterlambatan respon pemerintah yang menyebabkan ribuan nyawa menjadi korban.
Karya terbaru Sun Xun mengambil tema penguasa-penguasa dunia yang berperang menunggangi masa pandemi dan memprovokasi terpecahnya masyarakat global. Menggunakan animasi dan teknik multimedia, Sun Xun secara terampil, metodik, beramunisikan pesan yang tajam, mengajak para audiens melihat narasi tentang Tiongkok melalui matanya. Pemandangan melalui subjektivitasnya menghadirkan makhluk-makhluk mitologis, naga, kuda sembrani, monyet sakti. Ia bahkan menderetkan makhluk-makhluk mitologis mungil di sepanjang tangan Mao Zedong[5]. Apa maksudnya? Ia ingin menunjukkan arsitektur kekuasaan, bahwa kekuasaan bermanifestasi berulang kali melalui mitologi.
Kritik Sun Xun kepada pemerintah Tiongkok juga ia sampaikan dengan kelakar. Karyanya yang berjudul Jing Bang: A Country Based on Whale mengandaikan negara fiksional yang bahasa nasionalnya adalah kebohongan. Warga negaranya harus mematuhi aturan berbahasa bohong sehari-hari. Dalam salah satu wawancara Sun Xun menjelaskan kelindan antara berkarya dan bahaya. Menjadi seniman bukan persoalan menjual lukisan-lukisan yang indah, itu adalah kepalsuan, cetusnya. Karya seni harus membuat penikmatnya penasaran, dibuat resah gelisah dengan pertanyaan-pertanyaan.
Selama menjadi pembelajar filsafat, saya kerap bertanya-tanya mengapa manusia harus dipisahkan berdasarkan struktur; kemampuan pemahaman tentang dunia, dibedakan dengan pengalaman empiris tentang dunia. Padahal melalui seni, manusia dapat melakukan keduanya secara berdampingan. Demikian pula dengan tujuan yang beriringan antara tercapainya emosi personal, dan kesadaran tentang yang universal. Keserempakan ini saya sebut sebagai kemampuan empati. Karya seni yang mendidik saya tentang empati adalah pahatan maestro Dolorosa Sinaga yang berjudul Solidaritas. Melalui karya itu saya belajar tentang kerjasama perempuan untuk keluar dari subjugasi, apa makna kemandirian dan gerakan sosial untuk mengusahakan keadilan gender.
Dalam keheningan pembatasan sosial, saya merenungkan gambar-gambar karya Dolorosa Sinaga seperti; Ombak Liar Dari Timur, Tao Movement, dan Gerak Masa & Ruang. Karya-karya ini berusaha menangkap energi alam yang dinamis. Sekalinya gerakan itu lembut, namun dalam sekejap begitu dahsyat. Virus Corona dalam pandangan umum diumpamakan sebagai monster yang beroposisi dengan manusia, musuh manusia yang harus diberantas. Prasangka manusia memang tidak mungkin dilepaskan dari sikap antroposentrik. Manusia merasa berada di puncak hierarki, sedangkan alam beserta segala makhluk hidup lainnya di bawah kekuasaan manusia.
Menyikapi pandemi yang menimpa manusia, alih-alih kita berusaha menelusuri secara kritis penyebab dari problem, kita tersedot dalam pusaran teori konspirasi. Mengapa pandemi ini terjadi sudah semestinya ditempatkan dalam suatu rantai sebab akibat. Keberingasan manusia menghancurkan ekosistem, mengkonsumsi tanpa peduli pada konsekuensi; limbah, kepunahan spesies, krisis iklim. Manusia kesulitan mendengarkan tuturan alam, gejala-gejala yang sewajarnya diperhatikan, sama sekali tidak diindahkan. Karya seni adalah perantara untuk memahami alam sebagai subjek. Kepekaan seniman menyanggupkan narasi lingkungan hidup tersampaikan.
Rekonsiliasi pertikaian manusia dengan alam pun hanya mungkin dijalankan melalui penghayatan seni. Karya lukis Citra Sasmita yang berjudul The Age of Fire mengilustrasikan kemarahan Ibu Bumi yang menyala menghanguskan segala sesuatu di sekitarnya. Dalam salah satu fragmen karya teranyar Citra Sasmita yang berjudul Ode To The Sun, ia menggambarkan ritual purifikasi api untuk menghentikan wabah. Dalam teks Veda disebutkan mengenai ritual Agnihotra yang bertujuan untuk menyeimbangkan tubuh yang menderita sakit.
III. Seni Sebagai Transfigurasi Magi
Bapak dan Ibu yang saya hormati,
Saya tidak pernah menempuh pendidikan seni secara formal. Pengetahuan saya tentang seni memang ditanamkan dalam diri saya melalui kehidupan sehari-hari sebagai perempuan adat Bali. Masih tersimpan dalam ingatan semasa kanak-kanak keseharian saya dipadati oleh kesenian. Pagi hari saya akan berlatih menari, tari pendet dan tari panyembrama, lalu dilanjutkan dengan matembang dan mekidung, menyanyikan lagu-lagu yang senantiasa menyertai ritual persembahyangan di Pura, menjelang sore hari saya mempersiapkan canang sari, mejejarit, semacam kerajinan tangan menggunakan janur untuk membuat wadah sesaji sebagai sarana persembahyangan.
Wabah menurut pandangan masyarakat Bali adalah wujud dari gumi mebalik, atau dunia yang semrawut. Disekuilibrium ini dapat dipahami menjadi tiga hal; ketidakseimbangan antar manusia, ketidakseimbangan dengan lingkungan hidup dan ketidakseimbangan dengan dunia supernatural. Penawar dari keadaan yang menyengsarakan ini diyakini dapat ditempuh melalui tarian kuno yang disebut dengan tari sanghyang. Tari sanghyang diselenggarakan di desa-desa yang warganya mengalami penyakit. Penyakit yang dimaksud meliputi; penyakit sosial, seperti konflik antar warga desa, maupun penyakit yang menimpa tubuh seperti influenza, disentri, malaria, dan campak.
Tari sanghyang berakar pada kepercayaan animisme yang menganggap bahwa seluruh makhluk memiliki roh yang merupakan bagian dari totalitas jagat ini. Para penari yang terpilih untuk menjalani ritual ini akan mengalami kerasukan atau kesurupan. Ada beragam tari sanghyang; sanghyang jaran, sanghyang dedari , sanghyang penyalin, sanghyang bojog, sanghyang perahu, sanghyang sampat, sanghyang memedi dan lainnya. Meski bertujuan sama, yakni untuk mengeliminir wabah, tetapi forma tariannya berbeda-beda. Pada tarian sanghyang jaran, penari kesurupan roh dewata yang berbentuk kuda yang agung. Oleh karena itu, penari akan menirukan gerakan kuda yang lincah, melompat-lompat, bahkan berlari amat sangat kencang persis mengikuti tindak tanduk seekor kuda liar.
Pada sanghyang memedi, penari dirasuki roh makhluk gaib penunggu sungai, pada sanghyang bojog para penari dirasuki roh monyet yang badung memanjat pepohonan, sementara itu sanghyang dedari, para penari diyakini menjadi tempat bersemayamnya dewi khayangan; Supraba dan Tunjung Biru. Masing-masing tarian sanghyang ini menggunakan tata laksana ritual yang kurang lebih sama, menjadikan tubuh para penari berada di dua realitas, dunia sekala (dunia yang nampak, atau dunia empiris) dan dunia niskala (dunia yang halus, tidak serta merta dapat diobservasi). Ambiguitas ini menjadikan tubuh yang kerasukan memiliki kemampuan magi, mereka berdaya menyembuhkan kembali dunia yang rumpang karena wabah.
Pertama kalinya saya menyaksikan tari sanghyang jaran gading di Desa Geriana Kauh, Karangasem, saya sungguh-sungguh terhipnotis. Desa yang damai itu, yang terletak tepat di kaki Gunung Agung, dikeliling oleh hutan bambu dan sawah yang membentang sejauh cakrawala. Tari sanghyang jaran dipentaskan di depan Pura Pejenengan, roh dewata akan merasuk jika suasana khusyuk, hening tanpa secercah sinar sedikit pun. Saat roh dewata yang agung tiba, penari akan berlarian menginjak bara api yang terdiri atas tempurung kelapa yang dibakar. Penari yang tubuhnya telah dirasuki roh, diyakini memiliki kekuatan super untuk melakukan berbagai atraksi berbahaya tanpa terciderai.
Warga yang duduk di bawah melingkari sanghyang jaran, turut berpartisipasi dalam ritual ini. Mereka menyanyikan mantra[6] pengiring sehingga roh dewata dapat turun ke dunia manusia.
“Ikut nyane kenjir kori
Dangkark dikrik di pasisi
Tepuk api dong ceburin”
“Buntut yang panjang tumbuh di belakangnya,
Ia menari seperti kuda liar di pantai
Saat melihat api, ia melompat ke dalamnya.”
Apakah makna tari sanghyang jaran di dunia yang menganut dromologi, suatu paradigma hidup berlandaskan azas kecepatan? Adakah titik temu antara rasio dan magi, khususnya di masa pandemi? Seperti halnya tubuh penari yang bergerak dalam ambivalensi dua dunia. Tari sanghyang jaran adalah seni yang memudar. Penari sanghyang jaran di dusun Geriana Kauh, yang bernama I Wayan Kisid (65 tahun). Ia adalah penari terakhir di sana, belum ada pewahyuan terkait kepada siapa roh agung itu akan menitis. Selepas merampungkan ritual dan siuman dari kerasukan, saya bertanya pada I Wayan Kisid, apa yang ia rasakan? Ia tidak mengingat apapun, kecuali suatu perasaan bahagia, optimis, dan apapun persoalan yang mendera desa mereka, entah itu wabah penyakit, hama atau friksi sosial akan teratasi. Ritual sanghyang jaran dalam hal ini, menjadi ruang transfigurasi kolektif. Suatu peristiwa katarsis yang mendorong transformasi bersama.
Seni beserta kemanjuran terapetiknya, teramat dibutuhkan saat ini. Seni menjadi konsolasi di tengah-tengah pemberitaan kurva yang membumbung merisaukan. Seni adalah komunikasi antar batin yang mengingatkan manusia mengenai perasaan bahagia yang pernah mereka rasakan. Karya seni adalah mesin waktu yang membolehkan mereka yang telah kehilangan orang-orang yang dicintai, sanak keluarga, teman-teman, dapat berjumpa melalui senandung lagu, atau puisi liris.
Foto-foto para tenaga kesehatan dengan bekas memar di wajah mereka dikarenakan menggunakan masker terlampau lama, atau potret mereka yang tertidur di selasar rumah sakit lengkap dengan alat pelindung diri, membuat kita haru. Oleh sebab itulah, kemanusiaan harus diperjuangkan, kita harus saling menjaga, saling mengasihi. Begitu juga, seloroh para pelawak mengkritisi kebijakan-kebijakan politik semasa pandemi, membuat kita tertawa miris, namun kita harus belajar tetap tertawa, meski situasi terlalu absurd. Bukankah tawa meningkatkan kekebalan tubuh?
Pandemi ini menyimpan lipatan-lipatan yang belum kita ungkap. Seniman berkemampuan untuk menguak lipatan-lipatan itu menggunakan tubuhnya. Seniman meminjamkan tubuhnya ke semesta, membagi dirinya di antara dua dunia, realitas faktual dan realitas transenden demi merangsang keberanian kita untuk terus merangkul lipatan. Seniman adalah suara nurani terdalam yang berbisik,
“jangan sirna gairah, kau harus hidup untuk hari esok.”
Terima kasih.
[1] Virginia Woolf, On Being Ill, Paris Press, Paris: 2002
[2] https://www.nts.live/shows/francesco-fusaro/episodes/tafelmusik-w-francesco-fusaro-9th-march-2020
[3] Gilles Deleuze, The Fold, Leibniz and the Baroque, The Athlone Press, London: 1993
[4] Rene Magritte, Selected Writings, University Minnesota Press, USA: 2016
[5] lihat karya Sun Xun yang berjudul Mythological Time.
[6]Leon Rubin dan I Nyoman Sedana, Performances in Bali, Routledge, USA: 2007
_______
Tulisan ini, termasuk foto-foto, pertamakali dimuat dalam sarasdewiblog.wordpress.com